Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Lahirkan Generasi Rusak


Topswara.com -- Kasus penganiayaan anak pejabat pajak Mario Dandy Satriyo, terhadap putra petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina, David.

Penganiayaan secara brutal oleh Mario ini terjadi di sebuah perumahan di Pesanggarahan, Jakarta Selatan, Senin (20/2) sekitar pukul 20.30 WIB.

Kemudian ada lagi J (14), siswi SMP di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan meninggal usai menjadi korban pemerkosaan beberapa rekannya. Kasus tersebut terungkap saat korban yang tercatat sebagai warga Kecamatan Cenrana mengaku kesakitan di alat vital hingga kesulitan duduk.

Awalnya korban tidak mau berbicara, namun setelah dibujuk oleh orang tuanya, J mengaku diperkosa secara beramai-ramai oleh empat rekan sekolahnya.

Polsek Pasawahan, Polres Purwakarta amankan lima orang pemuda yang melakukan percobaan pencurian dengan kekerasan dan atau penganiayaan. Diketahui, para pemuda tersebut masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Purwakarta.

Selanjutnya, Kapolres Purwakarta, AKBP Edwar Zulkarnain melalui Pelaksana Tugas Kapolsek Pasawahan, IPDA Sulaeman mengatakan kelima pemuda tersebut diamankan lantaran melakukan percobaan pencurian dengan kekerasan (curas).

Kasus diatas merupakan contoh kasus kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh para remaja. Hal ini terjadi karena keluarga dan lingkungannya yang berinteraksi dengan landasan kehidupan sekuler liberal.

Hal ini menyebabkan kehidupan generasi muda menganut gaya hidup bebas dan rentan stres sosial karena mengukur segala sesuatu dengan materi (duit). Inilah pemicu seseorang mudah terpancing amarah hingga hilang akal yang melakukan sesuatu di luar nalar hingga bisa menghilangkan nyawa manusia.

Media massa pun memprovokasi generasi muda dengan berbagai konten “sampah” yang merusak untuk hidup dengan standar gaya hidup materialistis, kering akan idra' silla billah (hubungan dengan Allah Taala).

Sementara itu, berbagai game, iklan, video yang mengandung kekerasan, tidak bisa dihindari. Ditambah pola asuh dan karakter orang tua (yang sekuler dan kering kasih sayang). Hal ini pun memengaruhi generasi muda dalam menyelesaikan masalah dengan jalan serba instan tanpa proses bijak dan penuh kesabaran, serta cenderung main tangan (kekerasan).

Peran negara juga antara ada dan tiada. Paradigma sekuler kapitalistik yang diembannya membuat fungsi strategis negara terkooptasi kepentingan pemilik modal. Alih-alih peduli dengan urusan rakyatnya, kebijakan negara justru menjadi biang munculnya berbagai penderitaan. Diperparah dengan sistem hukum dan hankam yang gagal menjamin rasa aman.

Walhasil, individu dan keluarga hidup tanpa pegangan. Beban ekonomi yang makin berat menjadi alasan mereka masuk dalam berbagai tindak amoral. Sementara itu, masyarakat kehilangan tradisi amar makruf nahi mungkar.

Solusi kekerasan oleh generasi muda ini butuh solusi sistemis, yakni penyelesaian dengan penerapan syariat Islam kaffah (menyeluruh).

Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas berpikir dan beramal bagi seluruh pihak, baik generasi muda, orang tua, masyarakat, maupun negara. Harus mengubah sistem sekuler (dikotomi pendidikan) ke sistem pendidikan dengan metode belajar talqiyan-fikriyan-muatsaran, yaitu proses menjadikan ilmu menjadi pemahaman dengan proses berpikir, bukan sekadar dihafalkan.

Dengan metode ini, belajar akan berpengaruh ke dalam jiwa sehingga mendorong untuk diamalkan. Ini karena Islam bukan hanya teori, melainkan untuk diamalkan.

Adanya sanksi dalam proses belajar, sebagaimana hadis Nabi SAW., “Pukullah jika tidak mengerjakan salat pada usia 10 tahun,” merupakan pemberian pukulan mendidik, bukan dalam rangka menyakiti.

Kedua, penerapan sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir, yaitu mencegah dan memberi efek jera. Dalam Islam terdapat sanksi tegas, di antaranya dijelaskan dalam QS Al-Baqarah: 178—179, yaitu berupa jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan yang mewajibkan kisas (balasan setimpal) atau diat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.

Maksud dari jinayah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS Al-Baqarah: 178).

Meski terdapat dorongan dan motivasi untuk memberi maaf, tetapi setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan sebab ancaman pidananya sangat berat, yaitu kisas ataupun diat yang nilainya besar.

Dalam kisas, terdapat kebaikan. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Maknanya [kisas] adalah kalian memiliki jaminan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan. Ini karena apabila seseorang tahu akan dibunuh secara kisas, jika ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus kepadanya.”

Pemberian sanksi yang tepat akan menjamin keadilan karena berasal dari Zat Yang Maha Adil, yaitu Allah Taala. Selain itu, juga efektif membuat jera pelaku untuk berbuat yang sama pada kemudian hari, serta mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Dalam Islam, perundungan hingga kekerasan bisa terkategori perilaku yang dilarang atau diharamkan.

Islam pun memerintahkan untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama muslim karena Allah Taala.

Untuk menyelesaikan kekerasan generasi muda secara serius, jalan satu-satunya adalah dengan menerapkan syariat Islam oleh individu, keluarga (orang tua), sekolah (masyarakat) dan negara. Untuk mewujudkan ini semua, butuh sistem yang kondusif, yakni sistem Islam.
Wallahu alam bishawab. 


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar