Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bunuh Diri Para Suami


Topswara.com -- Juni tanggal 25. Di Sukoharjo, Jateng, Totok Suroso (45) mengikat leher dua anaknya, Alfia (19) dan JF (12). Menggantung mereka di bagian atap rumah. Setelah itu ia mencoba bunuh diri dengan pisau dapur. Jeritan anak terdengar tetangga, ketiganya pun diselamatkan.

Juli, tanggal 16. Bambang Edi Purwanto (42), warga Demak, Jateng, menghabisi anaknya QRY (7). Setelah itu ia gantung diri. Juli, tanggal 26. Fahrizal (43) terjun bebas dari atas tower di kawasan Condet, Jakarta Timur. Diduga gangguan jiwa. 

Agustus, tanggal 5. Rudi Hermawan (39) dan anaknya DHD (8) ditemukan tewas gantung diri di Bojonggede, Kab. Bogor. Agustus, tanggal 8. Isno (62), warga Kebumen. Ditemukan tergantung di jembatan desa Sungai Sentang, 100 meter dari rumahnya.

Astaghfirullah. Hampir tiap bulan ada yang mengakhiri hidupnya. Ironisnya, kebanyakan pelaku justru bergender pria. Para suami, lelaki yang menjadi pemimpin rumah tangga. Pelindung sekaligus pendidik anak-istrinya. Lebih trenyuh lagi, mereka mengajak anak kesayangannya untuk bunuh diri. Na’udzubillahi minzalik. Ada apa?

Putus Asa Global 

Bunuh diri menjadi fenomena mengerikan di seluruh dunia. Tidak hanya di negara-negara berkembang, bahkan di negara maju. Dalam situsnya WHO menyebut, tahun 2016, sedikitnya 800 ribu orang di seluruh dunia tewas akibat bunuh diri setiap tahun. Artinya, tiap 40 detik atau tidak sampai semenit, ada satu orang bunuh diri. Angka ini terus meningkat setiap tahun. 

Ini fenomena global. Faktanya, 79 persen bunuh diri terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Bunuh diri merupakan pembunuh ke-18 di dunia, karena 1,4 persen kematian di seluruh dunia disebabkan bunuh diri. Bahkan bila lingkup umur dipersempit, yakni kematian usia 15-29 tahun, bunuh diri menjadi pembunuh nomor dua di dunia.

Indonesia menempati peringkat 159 dalam hal tingkat bunuh diri. Tertinggi di dunia adalah Guyana, disusul Lesotho dan Rusia. Korea Selatan di urutan ke-10, Jepang urutan ke-30 dan Amerika Serikat (AS) ke-34. "Ada indikasi, tiap satu orang dewasa mati bunuh diri maka ada lebih dari 20 orang lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri," demikian tulis WHO di situs resminya.

Tampaknya, putus asa tengah melanda warga dunia. Mereka tidak mampu mengatasi tekanan hidup. Tidak punya pegangan untuk bertahan. Tidak punya sandaran untuk mengadu. Terlebih kaum laki-laki, yang sudah terlanjur dinobatkan sebagai makhluk terkuat di dunia.

Seharusnya mereka strong. Struggle dan tidak mudah putus asa. Bukankah mereka lebih mampu berpikir realistis dibanding kaum wanita? Mengapa gampang putus harapan? Masalah apa saja yang melanda kaum pria hingga merontokkan pertahanan hidupnya?

Besaran Tanggung Jawab 

Kaum pria, baik yang jomblo maupun yang sudah menikah, memiliki tanggung jawab besar dalam kehidupan. Baik dalam posisinya sebagai anak, suami, pemimpin rumahtangga, wakil keluarga di masyarakat dan pekerja di lingkungan kerjanya. Beban di pundak ini sungguh tidak ringan. Namun mereka memendam keluh-kesah secara diam-diam. 

Pria bukanlah makhluk seperti wanita yang mampu mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Baik kepada orang tua, pasangan hidup atau sahabat-sahabatnya. Rasa gengsi dan malu memperbesar ketertutupannya. Tidak ada yang menyadari kalau ia sedang memiliki masalah besar. Bahkan orang-orang di sekitarnya, tidak paham dengan kondisi sebenarnya. 

Para pria ini, juga memiliki kebutuhan unik, yang hanya bisa dimengerti oleh dunia mereka. Dari sana muncul berbagai persoalan, yakni bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut secara sempurna. Apa itu? Kebutuhan bersifat jasmani, emosional dan sosial (gharizah baqa’) maupun spiritul (gharizah tadayun). Juga, kebutuhan afeksi alias kasih sayang (gharizah nau’) yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang jika tidak dipuaskan akan menimbulkan keputus-asaan.

Inilah mengapa pria cenderung mencari jalan pintas. Ibaratnya, jika wanita yang sres, marah, dan depresi, ia masih bisa lari ke sahabatnya. Mengadu ke orang tuanya. Kabur dari rumah untuk sejenak mencari ketenangan diri. Lari ke belanja atau ngemil makanan kesukaannya. Pria lebih memilih tindakan tegas dan pintas. Pikiran buntu, langsung bunuh diri.

Masih ingat, bagaimana kasus-kasus bunuh diri di kampus-kampus ternama di Indonesia? Kebanyakan pelakunya juga mahasiswa, bukan mahasiswi. Rata-rata juga anak cerdas, pendiam, dan bukan dikenal sebagai pribadi yang bermasalah. Padahal, ternyata masalahnya ada di kesehatan mental. Inilah yang merontokkan pertahanan hidupnya.

Kejamnya Dunia 

Jika secara personal ada masalah kesehatan mental atau jiwa, secara global, penyebab bunuh diri di negara berkembang adalah persoalan ekonomi. Dunia global yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, telah menebar jaring-jaring kemiskinan dan ketidak-merataan dalam pembagian alat pemuas kebutuhan manusia. 

Betapa banyak pria menganggur, hopless karena tidak bekerja. Banyak jomblo tidak maju-maju melamar, karena belum merasa mapan. Banyak suami yang tidak mampu membawa penghasilan yang mencukupi istri dan anak-anaknya. Banyak pria ditinggal pergi pasangan hidup karena kemiskinanannya. Ditinggal bekerja jauh, atau bahkan diceraikan.

Dunia dalam kehidupan sekular menempatkan pria sebagai mesin uang semata. Di sisi lain ia mengabaikan aspek-aspek sosial dan spiritual. Posisi kepemimpinan baik di ranah domestik maupun ranah publik perlahan tetapi pasti telah diamputasi. Tergeser oleh kaum wanita.

Meningkatnya isu kesetaraan dan keadilan gender, tidak ayal turut mempersempit eksistensi kaum pria. Kesempatan mereka direbut banyak wanita. Bahkan terjadi tukar peran hingga kaum pria merasa direndahkan. Banyak wanita meremehkan suaminya. Menuntut lebih dan tidak lagi menghormatinya. Para suami tak berkutik, juga tak berani bersuara. Sebab tak mau dianggap lemah.

Peran Perempuan 

Seorang istri tentu saja shock begitu mendapati suaminya bunuh diri. Hilanglah sudah sahabat dan pelindung dirinya. Menyesal. Ternyata tidak lama bisa mendampingi hidupnya. Haruskah ia menyusulnya? Tentu saja tidak. Bunuh diri jelas haram dalam Islam. Apapun alasannya. Istri harus kuat. Melanjutkan lembaran hidup baru dengan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

Sementara itu, bagi pasangan yang masih lengkap, wujudkanlah kesehatan mental bersama-sama. Istri punya peran untuk mengerem suami agar tidak putus asa. Tanpa bermaksud menuduh, para istri harus introspeksi. Jangan-jangan ada andil mempercepat keputus-asaan para suami.

Boleh jadi, kekurang-sabaran istri dalam menuntut hal-hal di luar kemampuan suami telah menyebabkan keputus-asaan. 
Terutama para istri yang sudah terjangkit penyakit BPJS alias budget pas-pasan tetapi jiwa sosialitas. Sudah tahu suami kurang mampu, tetapi dia menuntut kemewahan. Bersifat konsumtif dan ingin bergaya hidup mewah. Apalagi, komunikasi kedua belah pihak kurang. Suami lebih suka memendam rasa daripada menghadapi istrinya yang tidak juga mengerti kondisinya. 

Tentu, kita tidak berharap keluarga-keluarga Muslim terpapar fenomena bunuh diri ini. Keluarga Muslim harus bertahan menghadapi kejamnya sistem kapitalisme bersama-sama. Kompak mencari sumber masalah dan memecahkannya bersama. Mendorong suami takwa dan kuat mental. Jika ada tanda-tanda suami mulai pendiam. Murung. Kurang bersemangat. Lebih suka menutup diri daripada bercanda dengan istri. Lebih tertutup dari biasanya. Mungkin dia butuh pertolongan.

Sebaliknya, tugas suami pula untuk tidak segan mengingatkan istri, agar tidak mudah putus asa. Berikan harapan, namun tetap realistis. Ini tataran ideal tentu saja. Tidak mudah, namun jangan abaikan. Tidak hanya itu, umat Islam juga harus segera mengangkat akar masalah bunuh diri di seluruh dunia. Berjuang mencabut sistem sekular bersama-sama. Terapkan sistem Islam agar peradaban materialistis yang membunuh nurani manusia lenyap. Hanya peradaban Islam yang menyelamatkan umat manusia dari fenomena bunuh diri.[]


Oleh: Kholda Najiyah 
Founder Bengkel Istri
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar