Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ada Apa di Balik Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa


Topswara.com -- Beberapa minggu lalu, tepatnya tanggal 17 Januari 2023 di depan gedung DPR RI berlangsung unjuk rasa oleh sejumlah kepala desa yang menginginkan penambahan masa jabatannya. Namun, aksi tersebut menuai polemik. 

Di satu sisi mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan bahwa tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tetapi tidak sedikit juga yang justru mengritiknya. Karena tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dinilai akan berpotensi melanggengkan oligarki. (Tirto.id, 19/1/2023) 

Masih dari laman yang sama, salah satu peserta unjuk rasa di depan gedung DPR, Robi Darwis berpendapat bahwa masa jabatan 6 tahun sebagaimana diatur dalam  Pasal 39 UU No. 6 Tahun2014 masih terlalu singkat sehingga minta penambahan masa jabatan. Menurutnya waktu 6 tahun itu hanya cukup untuk konsolidasi. Benarkah keberhasilan pembangunan desa dinilai dari lamanya masa jabatan? 

Peneliti kebijakan dari Institut for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro, beranggapan indikator keberhasilan pembangunan desa bukan dari masalah lamanya masa jabatan, melainkan soal kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparatur desa mereka. 

Menurutnya, para kepala desa sebaiknya fokus kerja dari pada mengurusi masalah masa jabatan. Ia juga mengingatkan kinerja yang baik tentu akan membawa efek elektabilitas. 

Lebih lanjut, menurut Riko, jika mengacu pada indikator kinerja, maka kebijakan perpanjangan masa jabatan dikhawatirkan akan menjadi upaya mendorong kepentingan politik pribadi. Hal ini diperkuat bahwa tidak ada warga desa yang meminta masa jabatan kades diperpanjang. 

Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dibutuhkan dengan alasan untuk melaksanakan program pembangunan karena waktu enam tahun hanya cukup untuk konsolidasi. Semestinya waktu enam tahun sudah dimaksimalkan untuk melaksanakan berbagai program pembangunan bahkan menyelesaikannya. 

Belum lagi jika dikaitkan dengan banyaknya kepala desa yang tersandung kasus korupsi. Dengan lamanya masa jabatan, bukan tidak mungkin peluang korupsi justru akan semakin besar. 

Namun inilah yang terjadi dalam sistem pemerintahan saat ini yaitu sistem kapitalisme demokrasi yang berasaskan manfaat dan kepentingan. Di dalam sistem demokrasi, kekuasaan atau jabatan kerap dijadikan alat untuk memperkaya diri, menfasilitasi para pengusaha yang sejatinya sebagai penguasa sejati dan untuk meraih tujuannya masing-masing. 

Mahalnya biaya kontestasi pemilu meniscayakan perlu adanya keterlibatan para pemilik modal dan dukungan penuh oligarki. Hal inilah yang memunculkan terjadinya politik transaksional atau jual beli jabatan dan kebijakan yang mewarnai kinerja mereka. 

Maka tidak heran jika kebijakan hanya berputar pada kepentingan para pemilik modal dan oligarki sang pemilik kekuasaan. Sehingga dapat dimungkinkan para pejabat yang lahir dari sistem demokrasi ini sangat minim melayani kepentingan warga. Tetapi sebaliknya lebih untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan kekuasaan sebagai amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas rakyat yang dipimpinnya. 

Tentu lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan. Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang artinya: “Imam adalah raa'in (penggembala), dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Al-Bukhari) 

Seorang pemimpin adalah pengurus dan pengayom rakyat. Ia berkewajiban memenuhi segala kebutuhannya mulai dari sandang, pangan dan papan. Selain itu pelayanan kesehatan, pendidikan juga keamanan pun wajib diberikan oleh negara. Dalam hal ini pemimpin jugalah yang mengurusinya.

Jelaslah bahwa kekuasaan dalam Islam hanyalah untuk menegakkan syariat Allah SWT., mengurus rakyat dan melaksanakan perintah amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah umat. Dengan itu diharapkan tidak akan ada yang namanya kekuasaan diktator, sewenang-wenang dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. 

Adapun terkait masa jabatan seorang pemimpin, dalam pemerintahan Islam tidak dibatasi dalam hal waktu maupun periode. Karena sesungguhnya hukum syariatlah yang membatasinya. Sehingga masa jabatan tersebut bisa sebentar ataupun lama tergantung kondisi pada saat itu. Ia bisa diberhentikan jika melanggar salah satu syarat, tetapi ia juga bisa menjabat sampai akhir hayatnya selama masih taat pada syariat. 

Selama ia memenuhi syarat maka akan terus dipertahankan untuk menjabat hingga ia meninggal ataupun sampai tidak memenuhi salah satu syarat sebagai penguasa kaum muslimin. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ummu Al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah maka ia wajib didengar dan ditaati."

Begitulah Islam dalam menempatkan kekuasaan, benar-benar demi kepentingan rakyatnya, bukan untuk tujuan pribadi atau kelompok tertentu. Apalagi untuk kepentingan para penguasa oligarki yang hanya ingin mengambil keuntungan. Karena Islam dari awal sudah mempunyai konsep yang jelas, yaitu hanya dengan penerapan Islam secara kafahlah kehidupan akan berjalan dengan baik dan sempurna. Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Sri Murwati
Komunitas Rindu Surga dan Pegiat Dakwah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar