Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Impor Beras Wujud Salah Kelola Pangan


Topswara.com -- Jika kita mendengar istilah agraris mungkin hal pertama yang terlintas adalah kata pertanian. Pengertian agraris adalah sektor pertanian atau penduduk yang mayoritas memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian.

Tentu saja sebagai negara agraris, lahan pertanian Indonesia diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Dengan julukan sebagai negara agraris, Indonesia diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan sendiri.

Namun faktanya negara Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris mempunyai permasalahan pangan, bahkan pemerintah sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangan selalu mengandalkan impor besar-besaran.

Pemerintah berencana akan mengimpor beras lantaran stoknya sudah menipis. Berdasarkan data Perum Bulog per 22 November 2022, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) hanya 426.573 ton.

Sementara jumlah stok beras yang harus dimiliki pemerintah hingga akhir tahun untuk ketahanan pangan harus mencapai 1,2 juta ton. Dengan kondisi itu, perlukah Indonesia impor beras? Padahal Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memastikan, stok beras di Indonesia saat ini tidak ada masalah. Bahkan ia tak segan mengatakan dalam kondisi overstock ('banjir' pasokan) alias berlimpah.

Sungguh miris nasib petani di negeri agraris sebesar Indonesia. Untuk sekadar usaha tak rugi saja, sulitnya luar biasa. Apalagi berharap untung besar, rasanya cuma mimpi. Jika dicermati, kebijakan penguasa memang makin tak ramah pada mereka. Di tengah suasana panen raya dan surplus ketersediaan pangan pun, pemerintah bisa tega membuka keran impor produk pangan selebar-lebarnya.

Jika ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan disarankan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal, maka agaknya kebijakan impor justru mengkhianati tujuan murni ini.

Sampai sejauh ini, kita mulai memahami bahwa masifnya impor pangan yang dilakukan pemerintah, makin menunjukkan bahwa rezim ini bukanlah rezim yang berpihak dan serius mengurusi rakyat. 

Rezim neoliberal ini memang tidak punya visi kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor. Padahal faktanya kondisi pemenuhan pangan rakyat tak beranjak menjadi lebih baik. Begitu pula nasib para petani lokal selalu termarginalisasi oleh kebijakan yang neoliberal. 

Akar problem inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintah. Yakni membangun secara serius kedaulatan pangan, sembari menyelesaikan semua hambatan distribusi, hingga semua wilayah bisa tercukupi kebutuhannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sekaligus bagaimana meningkatkan level kesejahteraan masyarakat tanpa kecuali, termasuk melindungi hak para petani lokal sebagai salah satu penentu suksesnya proyek daulat pangan dari kejahatan para spekulan, hingga kesejahteraan merekapun bisa terjamin. 

Hanya saja, upaya-upaya di atas memang akan sulit terwujud dikarenakan negeri ini masih dicengkram oleh rezim kapitalis neoliberal. Negara di bawah rezim seperti ini memang tak disetting untuk menjadi pengurus dan pelindung rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator. Sementara regulasi yang dibuat dipastikan hanya akan menguntungkan para kapitalis yang bersimbiosis mutualisme dengan para pemegang kekuasaan.

Sistem ini yang telah meminggirkan peran negara hanya sebagai regulator, sementara operator diserahkan kepada korporasi. Bahkan bobroknya sistem ekonomi kapitalisme yang mengizinkan kebebasan secara mutlak, menciptakan kapitalisasi korporasi pangan yang terus menggurita. Sistem tata kelola inilah yang menyebabkan ketimpangan kepemilikan aset, penguasaan rantai produksi distribusi pangan, hingga kendali harga pangan oleh korporasi raksasa. Sementara pemerintah ibarat wasit yang juga cenderung berpihak pada korporasi.

Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta sistem ekonomi yang adil bukan ekonomi yang pro kapitalis. 

Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Sistem yang memiliki ketiga hal ini hanyalah sistem Islam yang menjalankan syariah Islam dan di bawah naungan khilafah.

Wallahu a'lam Bishshawab 


Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar