Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gelisah Hidup bagai Makan Kuaci, Mantan Reporter MetroTV Hijrah Menjemput Hidayah

Topswara.com --  Semua sudah ada. Secara kasat mata, kecukupan hidup telah dimiliki Annisa Widayati sejak usia muda. Karir, materi, dan keluarga telah ia miliki. Namun, kemapanan materi tak menjamin kemantapan hati Icha. Ya, ibu tangguh yang satu ini akrab dipanggil Icha.

Kegelisahan akan kehidupan sekian lama mengusik pemikirannya. Pertanyaan tentang mau ke mana dan untuk apa hidupnya, terus bergelayut di benaknya.

Bertahun-tahun menjadi reporter dari sebuah stasiun televisi nasional ternama membuat hari-hari Icha penuh dengan aktivitas. Jam kerja yang luar biasa membawanya pada sebuah konsekuensi, waktunya harus ia relakan untuk kerja. Icha pun kembali terpikir tentang tujuan hidupnya.

Akhirnya, demi keluarga Icha meninggalkan profesi jurnalisnya. Sejak 2012 ia resmi mengundurkan diri dari Metro TV demi keluarganya. Meninggalkan dunia reporter membuatnya agak lega karena terbebas dari jam kerja yang menyita waktunya. 

Namun, terbiasa aktif, ditambah memiliki kemampuan yang menunjang, wanita kelahiran Yogyakarta 9 Februari 1983 ini tak ingin menganggur walau tidak lagi bekerja di sebuah instansi. Cara pandang khas kaum feminis dan meterialistis sepertinya masih mempengaruhi pemikirannya saat itu. Baginya, hidup ini untuk bekerja. Time is money. 

Karena itu, ia memilih freelance. Berbekal kemampuannya dalam berbicara di hadapan publik, Icha menyibukkan diri menjadi penyiar lepas, menjadi trainer public speaking, juga menjadi master of ceremony (MC) di berbagai acara, baik acara nasional ataupun internasional. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai mice (meeteng, convention, exibition), banyak acara terdapat yang membutuhkan MC profesional, tentu menjadi peluang besar untuk karir Icha.

"Saya dulu wanita karir yang dulu mungkin terpengaruh dengan ide-ide feminisme dan materialis. Hidup ini untuk bekerja, time is money. Sehingga saya kelelahan. Sempet terpikir, 'Masak iya hidup ini tuh cuma kerja, terus berusaha agar duitnya enggak habis, tidur, terus besok begitu lagi?'," tutur Icha kepada Topswara.com (24/11/2022).

Mengisi hari-hari dengan terus bekerja pada akhirnya membuat ibu empat anak itu kembali berpikir tentang hidup dan tujuan hidupnya. Ia terpikir, menghabiskan waktu dengan bekerja tak ubahnya memakan kuaci. Ia merasa seperti haus yang tidak pernah terpenuhi. Perasaan itu membuatnya tidak nyaman.

Terlebih baginya, dunia pertelevisian dan entertainment itu kejam. Karena, semuanya dilihat dan diukur dari apa yang terlihat, dari materi. Untuk itu, ia harus belajar keras, harus beradaptasi dengan kerasnya dunia entertain.
 
"Sebenarnya tujuan hidup saya nih, apa sih? Kerja ... kerja ... terus. Kok, rasanya seperti makan kuaci, ya? Kenyang kagak, pegel iya," pikir Icha. Pergolakan batinnya terus berkecamuk saat itu.

Ujian besar pun menerpa hidupnya. Biduk rumah tangganya diterpa ombak. Ujian itu membuat kegelisahan akan hidup makin bergejolak dalam jiwanya. Dia merenung dan bertanya-tanya, "Katanya Islam itu agama yang sempurna. Dan saya ini orang Islam, tapi kok, saya enggak ngerasain kesempurnaan Islam itu dalam kehidupan saya? Apa saya salah belajar?" 

"Katanya menikah untuk ibadah?" sesalnya.

Ujian rumah tangga membuat Icha terus merenung dan mengoreksi diri. Ia berusaha mencari tahu tentang panduan hidup dan cara agar suami istri bahagia. Ia melakukan proses berpikir tentang hidup, juga tentang persiapan kematian. "Semua manusia akan mati. Tapi bukan berarti kehidupan manusia selesai karena manusia akan mempertanggungjawabkan," pikirnya.

Suatu malam di tahun 2015 ia bertugas sebagai MC acara bergengsi, anugerah untuk sejumlah tokoh dari Kemendiknas. Banyak tokoh nasional hadir. Ada pula artis ibu kota. Acara itu disiarkan langsung di salah satu televisi swasta. 

Namun, gemerlap acara ternyata tetap tak bisa menghapus kegundahan hati Icha. Pergolakan batinnya membuncah. Keesokan paginya, ia menjawab kegalauannya itu dengan mendekat pada syariat. Icha memutuskan untuk menutup aurat. 

Memang, di awal hijrah Icha baru mengenakan kerudung (khimar) dengan setelan celana atau rok panjang, belum sempurna dengan jilbab (baju terusan yang menutup seluruh tubuh). Namun demikian, perubahan penampilannya tetaplah menarik perhatian teman-teman dan lingkungannya.

Suatu hari salah seorang teman Icha, sesama wali murid anaknya di sekolah menegurnya. "Mbak Icha, kayaknya kamu berubah, nih. Apa yang membuat Mbak Icha berubah?” tanya teman Icha.

“Enggak tahu. Saya pengen jadi orang sholihah, sih. Enggak tahu, ya, ini hidayah kali,” jawab Icha.

“Bukan, Mbak. Hidayah itu sebenarnya ada tiga, lo. Allah sudah turunkan Baginda Rasul. Allah juga turunkan Al-Qur’an. Kemudian, biasanya orang Muslim kalau udah mau belajar tentang Baginda Rasul, tentang Al-Qur’an, dia akan diberikan kemudahan berupa taufik. Berubah. Jadi mudah untuk berubah,” terang teman Icha.

Penjelasan singkat temannya itu membuat Icha kagum dan penasaran. Ia tertarik mengikuti kajian Islam yang ditawarkan. 

Dengan mengikuti kajian itu, Icha mendapatkan segala informasi tentang Islam dari akar sampai daunnya, termasuk masalah pakaian. Setelah memahami bahwa pakaian syar’i bagi Muslimah adalah kerudung dan jilbab, Icha pun mengubah penampilannya. Ia tak lagi asal menutup aurat. Kerudung dan jilbab syar’i senantiasa melekat ketika ia keluar rumah.  

Di dalam kajian Islam itu pula akhirnya ia menemukan jawaban kesempurnaan Islam. Semua pertanyaan yang selama ini membuatnya gundah tentang kehidupan, terjawab gamblang. Icha pun mantap menapaki jalan hijrah, berjuang di jalan dakwah untuk tegaknya agama Allah. Ia bersyukur, ternyata di jalan dakwah, ia tetap bisa menggunakan potensi yang dia miliki. Kemampuan public speaking-nya kini ia optimalkan untuk jalan dakwah.

"Saya berharap bisa berkontribusi lebih luas lagi di jalan dakwah," harapnya.

Namun, bertahan dalam meniti proses hijrah bukan perkara yang tanpa tantangan bagi Icha. Perubahan hidupnya yang begitu drastis, dianggap sebagian orang radikal. Sebagian orang mengira dirinya telah ikut aliran sesat, hingga mereka pun melontarkan tuduhan dan fitnah-fitnah.

Di samping tantangan dari lingkungan sekitar, Icha pun harus beradaptasi dengan perubahan ekonomi dan lingkungan pergaulannya. Ia harus mengubah gaya hidup, meninggalkan jiwa materialistisnya, menahan diri dari nafsu gaya hidup sekuler. "Suka-suka gue, itu udah enggak bisa lagi," tekadnya.

Semua itu ia lakukan karena ia takut kepada Allah. Namun demikian, ia tak ingin surut dalam menapaki jalan dakwah. Ia punya rasa harap kepada Allah, ia yakin bahwa setiap kesulitan yang ia hadapi, Allah akan ganti dengan kebaikan dan pahala. Ia yakin akan janji Allah (QS An-Nisa: 100) bahwa jika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan gantikan dengan yang lebih baik.

"Rezeki dari Allah selalu ada. Allah akan memberi saya kemampuan untuk bisa bertahan. Berat? Ya tentu saja. Tapi akhirat lebih berat kalau kita enggak belain. Hukuman dari Allah berat kalau kita enggak berlomba dalam ketaatan," pungkasnya.[] Saptaningtyas
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar