Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menggantungkan Nasib Negeri di Meja Konferensi


Topswara.com -- Baru-baru ini di Nusa Dua Bali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 telah selesai digelar. Acara yang diadakan dari tanggal 15-16 November 2022 hanya dihadiri oleh 17 kepala negara, karena pemimpin Rusia, Brasil dan Meksiko berhalangan datang. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden China, Xi Jinping pun hadir mengikuti KTT tersebut

Momen tersebut berhasil mengesahkan pernyataan para pemimpin (leaders declaration) yang menyepakati tentang perlunya menegakkan hukum internasional dan sistem multilateral, penanganan krisis ekonomi, kerjasama kebijakan makro internasional, ketahanan pangan dan energi serta pengadopsian teknologi digital untuk mendorong inovasi. 

Mereka pun berkomitmen untuk mencapai  target pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), mengatasi perubahan iklim juga memperkuat sektor kesehatan. (Antaranews.com Rabu 11 November 2022)

Pada acara tersebut diungkapkan apresiasi dan sambutan baik mereka, terhadap Indonesia yang di tahun ini menjadi Presiden G20 yang telah berupaya menyusun berbagai isu prioritas dan kerjasama internasional yang terkoordinasi dari negara anggota dan undangan, juga organisasi regional dan internasional.

Sikap optimis ditampakkan Presiden RI Joko Widodo pada saat pembukaan KTT G20. Ia menyatakan bahwa semua hal yang dibahas pada acara tersebut harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia, harus berhasil dan tidak boleh gagal. 

Presiden menegaskan bahwa keberhasilan baru akan tercapai, jika seluruh pemimpin dan delegasi berkomitmen, bekerja keras dan mampu menyisihkan perbedaan-perbedaan agar terwujud sesuatu yang konkret dan membawa kemaslahatan.

Jika menilik latar belakang, G20 merupakan sebuah Forum kerjasama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan uni Eropa. Dibentuk pada tahun 1999 atas inisiasi anggota G7 yang kemudian merangkul negara maju dan berkembang untuk mengatasi krisis secara bersama-sama. 

Tujuan pendiriannya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Pada awalnya G20 hanyalah sebuah pertemuan antara Menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral, namun semakin berkembang di tahun 2008, dimana pertemuan tersebut menghadirkan pemimpin dari berbagai negara.

Kepentingan politik secara otomatis melandasi pertemuan G20. Negara-negara penganut kapitalisme demokrasi selalu memfokuskan seluruh aktivitasnya untuk mendapatkan keuntungan. Sebagai contoh: hadirnya AS dalam acara tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingannya untuk mengokohkan cengkeramannya  melalui perusahaan yang ada di negeri ini yaitu Chevron dan Exxon Mobil. Sementara itu, Cina fokus untuk menjadikan negeri ini sebagai objek pasar produk-produk mereka.

Pembahasan investasi pada acara tersebut semestinya ditelaah lebih lanjut. Bisa dipastikan yang berinvestasi adalah negara-negara kapital (pemilik modal). Bentuk investasinya adalah kerjasama dua belah pihak di mana para pemilik modal akan menaruh saham mereka pada pihak yang dianggap bisa memberi keuntungan baik dari budget yang rendah, bahan baku yang murah, SDM tersedia dengan mudah, dan pemasarannya pun cepat. Alhasil negeri tersebut akan menjadi objek pemuas para kapital untuk semakin menambah pundi-pundi kekayaan mereka, dan menancapkan cengkeraman penjajahannya.

Iming-iming investasi harus lebih spesifik lagi karena bisa berbentuk hibah, pinjaman atau yang lainnya. Sebab bagi kapitalis berlaku no free lunch (tidak ada makan siang yang gratis) pasti akan selalu ada kompensasi atas segala yang telah diberikan. Mereka sengaja membidik negara-negara berkembang sebagai target pemberian utang dan mengeruk kekayan alam mereka sebagai imbalannya.

Maka untuk mewaspadainya, memahami bagaimana sudut pandang Islam terkait hal ini, tentu sangat diperlukan. Syariat telah menetapkan bahwa seorang pemimpin ketika melakukan kerjasama dengan pihak luar wajib terikat dengan hukum Allah. Karena selain kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir, melaksanakan politik luar negeri yang independen akan membuat negara tidak dianggap sebelah mata oleh pihak lain.

Tidak ada larangan bekerjasama dengan negara lain selama bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam). Hubungan yang dilakukan juga tidak boleh menyalahi aturan Allah semisal mengadakan transaksi riba ataupun menyerahkan hak milik rakyat (SDA) untuk dikelola oleh pihak asing. Karena semua itu hukumnya haram.

Kekuatan Islam sebagai ideologi akan mampu menjadikannya mandiri dan bebas dari intervensi. Negara akan menjadi kuat dan diperhitungkan serta disegani pihak lain. Sebagai pandangan hidup yang memiliki aturan sempurna. Islam juga memiliki aturan politik dalam negeri dan luar negeri, jika keduanya dilakukan sesuai contoh Rasulullah SAW. maka akan mampu membawa keberkahan dan kedamaian bagi dunia.

Oleh karenanya untuk membawa negeri ini pada kemuliaan dan menyelamatkannya dari kehancuran akibat jeratan kapitalis, sudah seharusnya kita kembali pada Islam dengan penuh keimanan dan ketakwaan menjalankan hukum Allah di berbagai  aspek kehidupan. 

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. al A'raf ayat 96 yang artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Wallahu a'lam Bishawwab


Oleh: Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar