Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jiwa Nasionalisme Menjebakku pada Kebodohan


Topswara.com -- “You can tell me reason for your decision?” kata Miss Joice, seakan mengingatkanku akan keputusanku untuk mengundurkan diri dari office. Aku hanya menggeleng dan hampir menangis karena terharu untuk tidak akan pernah mengatakan apa sesungguhnya yang mengganjal dalam pikiranku, hingga memutuskan untuk keluar dari team office Indonesia. 

Rasa kebangsaan dan jiwa patriotisme yang melekat di kepalaku, tak mampu membuatku untuk jujur, bahwa aku telah diperlakukan tidak adil di antara teman sekantor. 

Berbagai alasan dari manajer Indonesia padaku yang selalu mencari kesalahan pekerjaanku, tetapi tak mampu menemukan kesalahan karena kerjaku.
Kudapati informasi dari temanku satu kamar yang mengatakan sebaliknya, bahwa dia selalu memuji semua pekerjaanku di belakangku. 

Bahkan dikatakan terlalu sempurna katanya saat kuceritkan perihal pengunduran diriku dari office. Akibat semua perlakuannya hanya kulampiaskan dengan mengundurkan diri dari posisi office yang sangat strategis, ke tempat yang penuh tantangan bagiku, yaitu di posisi line production.

Proses pengunduran diriku penuh drama, hingga mengharuskan seorang manajer Singapura harus hadir ke Indonesia demi mempertahankan kedudukanku untuk tetap menjadi bagian kantor Indonesia. 

Namun akhirnya, alasan pengunduran diriku diterima oleh perusahaan. Walau terlihat Presdir tidak menyukainya, karena biasanya segala urusan Presdir jika berada di Batam akulah yang mengurus jadwal kegiatannya.

Itulah cerita yang paling kusesali dalam kehidupan, seakan-akan saat itu, aku yang sangat pemberani harus menghadapi kenyataan harus memilih antara bujukan manajer Singapura atau bertahan dengan manajer Indonesia yang membuat suasana kerjaku tidak nyaman. 

Apapun desakan Miss Joice untuk menceritakan penyebab kemunduranku dari kantor tidak pernah mampu kukatakan. Walau kata teman yang bekerja di rumah para pekerja Singapura, mereka sudah tahu masalahku berkaitan dengan manajer Indonesia, sementara tugas Miss Joice hanya untuk memastikan tentang hal itu, karena masuknya aku di perusahaan memang atas recruitment Singapore yang wawancara secara langsung dengannya dan Presdir Mr. Cheo Chai See.

Memang banyak yang menyayangkan keputusanku saat itu, bahkan para buyer produksi juga teman-teman yang mengincar posisi kantor, apalagi ketika mereka mengetahui bahwa aku memihak pada manajer Indonesia karena rasa nasionalisme yang sangat mempengaruhi pikiranku saat itu.

“Seburuk-buruk manajer Indonesia, dia tetap orang Indonesia, sedang sebaik-baik Miss Joice dia tetap orang luar, bukan dari bangsaku,” kataku saat itu pada teman-temanku walau dengan perasaan sedih dan kecewa. 

Memang setelah keluarnya aku dari office, mendapat posisi yang juga tak bisa dipungkiri sebagai job yang ditakuti para supervisor perusahaan, atas usulan Mr. Nelson sebagai manajer QC (quality control) aku ditarik menjadi bagian team QC. Aku pun mendapat training untuk menjadi trainer perusahaan bagi semua recruitment, baik supervisor maupun employer biasa. 

Tentu  hal itu yang mengharuskan aku harus training ke perusahaan lain untuk menguasai produk terbaru yang akan diproduksi di perusahaan. Adapun produk lama bisa kupelajari langsung di perusahaan, walaupun sebenarnya terjemahan bahasa Indonesia di line production perusahaan memang semua hasil terjemahanku saat itu.

Seseorang yang bukan tamatan sarjana teknik harus menjadi trainer produk elektronik yang memang bukan untuk pasar Indonesia, merupakan sebuah tantangan bagiku untuk bisa menguasainya demi menunjukkan keseriusan keluarnya diriku dari office semata karena bosan, jenuh, dan tak memiliki tantangan. Karena itu yang menjadi alasanku saat harus memberikan alasan kepada manajer singapura.

Kebodohan karena rasa nasionalisme itu benar-benar membuatku buta, bahkan harus berbohong demi hal yang sebenarnya sangat sederhana, namun bisa begitu mengganjal dibenak dan mematahkan keinginan jujur untuk mengemukakan keburukan kerja manajer. 

Dikatakan oleh orang-orang bank swasta tempat perusahaan bekerjasama sebagai manajer bodoh dalam pengurusan administrasi perbankan. Mereka mengatakan kalau mengurus administrasi karyawan begitu lama, sedang setelah kukerjakan hanya dalam hitungan 2 hari semua beres tanpa kesalahan. 

Biarlah itu menjadi catatan dan pengetahuanku saja, pikirku saat itu. Karena bagiku pekerjaan yang kukerjakan sempurna dan memang kesempurnaan kerjaku saat itu juga menarik pihak bank untuk menjadikanku karyawan mereka dengan rekomendasi langsung sang manajer unit pelaksana bagi perusahaan-perusahaan saat itu. Walau kutolak juga, karena rasa idealisme harus menyelesaikan kontrak kerja dua tahun di perusahaan yang menjadi bebanku saat itu.

Semuanya hanyalah bagian cerita kebodohan dari jiwa patriotisme kebangsaan akibat doktrin ketika menjadi pelajar yang selalu menjadi murid pandai, namun tidak mengerti agama.[] Unaini
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar