Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU KUHP: Merdeka Rasa Kolonial


Topswara.com -- #SemuaBisaKena, hastag ini viral bersama video yang diunggah oleh Najwa Shihab di akun instagramnya. Lebih dari seribu pengguna instagram mengunggah kembali video tersebut. Di channel YouTube Najwa Shihab, video berjudul "Awas RKUHP. Semua Bisa Kena, Kecuali Tuannya" itu disukai 21 ribuan pengguna dan telah ditonton sebanyak 234 ribu kali sejak diunggah pada 29 Juni 2022 lalu.

Pembahasan RUU KUHP menjadi ramai diperbincangkan publik menjelang pengesahannya bulan Juli ini. Pasalnya, hingga saat ini, pemerintah belum mau membuka draf RUU KUHP yang baru. Jika masih menggunakan draf yang lama, maka akan ada banyak isu kontroversi di dalamnya. 

Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang lengkap dan terbuka ke publik adalah draf per tanggal 15 September 2019. Presiden Jokowi memerintahkan menunda pembahasannya untuk meredam gejolak publik (cnnindonesiamcom, 21/09/2019). Publik bergejolak tersebab banyaknya pasal bermasalah.

Pemerintah kemudian memperbaiki draf RKUHP. Namun hingga saat ini, pemerintah belum mau membuka drafnya ke publik. Wajar jika publik menaruh curiga dan kekhawatiran atas ketertutupan ini. Khawatir tiba-tiba ketok palu di tengah malam, seperti yang sudah-sudah.

Sebagaimana video yang dibuat oleh Najwa Shihab, semua bisa kena, semua profesi di Indonesia, kecuali "Tuannya". Beberapa pasal di RKUHP bernuansa kolonial. Adanya pasal ancaman penjara bagi yang menghina Presiden beserta para pejabat hingga Ketua RT, menjadi sorotan publik. 

Juga ada ancaman penjara bagi orang yang berunjuk rasa atau demonstrasi di jalanan umum yang menyebabkan kemacetan. Aktivis HAM Asfinawati menjelaskan bahwa pasal penghinaan ini adalah warisan kolonial yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, semestinya udah tak ada lagi di draf RKUHP (detik.com, 02/07/2022). 

Karut Marut Pembuatan Hukum Demokrasi 

Publik pun resah. Aliansi Masyarakat Sipil melakukan demo tolak RKUHP karena dianggap mengancam demokrasi. Mahasiswa pun turun ke jalan menolak RKUHP (cnnindonesia.com, 28/06/2022). Mahasiswa berencana akan melakukan aksi yang lebih besar di seluruh Indonesia.

Aksi demo ini bukan kali pertama. Pada tahun 2019 juga ada aksi tolak RKUHP. Namun pemerintah dan DPR tetap melanjutkan pembahasannya bahkan tanpa membuka draf kepada publik. Hal kontroversi seperti ini bukanlah sesuatu yang baru di sistem demokrasi.

Sistem demokrasi katanya menyerap aspirasi rakyat. Slogannya "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" ternyata hanya isapan jempol. Faktanya pembahasan tetap berlanjut meskipun mendapat penolakan publik.

Karut-marut pembuatan undang-undang bukanlah hal yang baru. Kondisi ini disebabkan karena pembuatan hukum diserahkan pada manusia yang berubah-ubah sesuai kepentingan penguasa. Karena sifatnya yang terbatas, manusia tak mampu menjangkau hakikat. Sehingga, alih-alih menyelesaikan masalah, produk hukumnya justru menimbulkan kekacauan dan dan penderitaan rakyat.

Sebutlah UU Cipta Kerja yang ditolak seluruh elemen masyarakat. Namun tetap disahkan oleh DPR dan pemerintah. Padahal isinya lebih menguntungkan pihak pengusaha dan penguasa namun menyusahkan rakyat. Inilah keniscayaan sistem demokrasi.

Keadilan Produk Hukum Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ini menyerahkan hak pembuatan hukum pada Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Jelas takkan ada kepentingan pribadi manusia yang bermain di produk hukum Islam. Dan Allah SWT. tak memiliki kepentingan atas hukum yang dibuat-Nya kecuali untuk kebaikan manusia.

Ada empat macam sanksi dalam Islam. Pertama hudud. Yaitu sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah SWT. Termasuk kedalam hudud yaitu zina, homoseksual, mendatangi wanita dari duburnya, menuduh wanita baik-baik berbuat zina, meminum khamar, mencuri, membegal, memberontak dan murtad. 

Kedua, jinayah. Yaitu sanksi yang ditujukan atas penganiayaan jiwa (pembunuhan) dan anggota tubuh. Sanksi yang diberikan adalah qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Ketiga, ta'zir. Yaitu sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Allah SWT. Dalam ta'zir, menerima pemaafan dan pengguguran oleh hakim. 

Bentuk kejahatan yang termasuk dalam ta'zir adalah pelanggaran terhadap kehormatan seperti perbuatan cabul. Pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal. Pelanggaran terhadap harta seperti penipuan, penghianatan terhadap amanah harta, penipuan dalam muamalat, pinjam tanpa izin. 

Gangguan keamanan, mengganggu keamanan negara, perbuatan yang berhubungan dengan agama. Untuk sanksi ta'zir, hukumannya diserahkan kepada penguasa dan hakim, boleh sama dengan hudud atau lebih rendah dari jinayah.

Keempat, mukhalafat. Yaitu sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang penguasa. Bentuk sanksinya diserahkan kepada hakim. 

Dalam menetapkan sanksi, para hakim dan penguasa selalu berlandaskan akidah Islam dan merujuk pada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Keempat kategori hukum Islam ini melahirkan keadilan sekaligus mencegah kemaksiatan. 

Sepanjang sejarah kekhilafahan, kriminalitas tak bisa tumbuh dengan subur seperti di sistem saat ini. Salah satu faktornya yaitu adanya sistem sanksi yang tegas. Wallahu a'lam []



Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar