Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bolehkah Berkurban dengan Menyembelih Ayam?


Topswara.com -- Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al Jawi menyatakan bahwa tidak sah hukumnya berkurban dengan menyembelih banteng atau sapi liar, kijang, dan berbagai macam unggas seperti ayam dan bebek.

“Tidak sah hukumnya berkurban dengan menyembelih banteng atau sapi liar (al baqar al wahsyi), kijang (al ghazaal), juga berbagai macam unggas (al thuyuur) seperti ayam, bebek, dan sebagainya,” tuturnya kepada Topswara.com, Senin, (4/7/2022).

Kiai menyebutkan bahwa Jumhur ulama termasuk ulama mazhab yang empat telah sepakat (ijmak), jika yang sah disembelih dalam kurban hanya binatang ternak (bahiimatul al an’aam) seperti unta, sapi, dan domba.

“Jumhur ulama termasuk ulama mazhab yang empat telah sepakat (ijma’) jenis binatang yang sah disembelih dalam kurban hanya binatang ternak (bahiimatul al an’aam), yaitu unta (al ibil), sapi (al baqar), dan domba (al ghanam), baik jantan maupun betina, baik yang dikebiri maupun yang tidak, termasuk kerbau (al jamus) yang disamakan hukumnya dengan jenis sapi (al baqar), dan kambing (al ma’iz) yang disamakan hukumnya dengan domba (al ghanam),” sebutnya.

Kemudian Kiai membacakan dalil syar’i bahwa binatang kurban terbatas pada unta, sapi, dan domba, adalah Al Qur`an surah Al Hajj ayat 32.

”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak (bahiimatul al an’aam) yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka.”

Kiai mengutip, pendapat Imam Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi, XI/44 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan binatang ternak hanyalah unta, sapi, dan domba.

“Imam Qurthubi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, 'Yang dimaksud binatang ternak (bahiimatul al an’aam), hanyalah unta, sapi, dan domba'," jelasnya.

Dalil syar’i lainnya, menurut Kiai adalah As Sunnah Husamuddin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al Udh-hiyyah, halaman 47 yang menyebutkan, jika Nabi SAW hanya menyembelih unta, sapi, dan domba sebagai binatang kurban.

"Adapun dalil As-Sunnah, bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau pernah menyembelihkan binatang kurban selain unta, sapi, dan domba," paparnya.

Menurut Kiai, ada sebagian ulama yang membolehkan berkurban dengan menyembelih ayam, di antaranya adalah Imam Ibnu Hazm yang membolehkan berkurban dengan hewan yang halal dimakan yang berkaki empat dan burung (unggas).

“Memang ada sebagian ulama yang membolehkan berkurban dengan menyembelih ayam. 

Kiai mengutip pendapat Imam Ibnu Hazm Ibnu, dalam Al Muhalla, VI/29 yang mengatakan, Berkurban itu boleh dengan setiap-tiap hewan yang halal dimakan yang berkaki empat dan burung (unggas) seperti kuda (al faras), unta, banteng (baqar al wahsy), ayam (ad diik), dan semua jenis burung (unggas) yang halal dimakan'.

Ia juga mengungkapkan jika dalil–dalil Iman Ibnu Hazm yaitu Al-Quran surah Al Hajj ayat 77 bersifat umum, yang menunjukkan  berkurban itu merupakan perbuatan baik (fi’lul khair) dan bahwa sebagian sahabat Nabi SAW ada yang berkurban dengan selain binatang ternak.

“Dalil-dalil Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, VI/30-31 antara lain, pertama bahwa nash umum dalam Al-Quran surah Al Hajj ayat 77 menunjukkan berkurban itu merupakan perbuatan baik (fi’lul khair) yang boleh dilakukan dengan apa saja selama tidak ada dalil yang melarangnya," terangnya.

Kedua, bahwa sebagian sahabat Nabi SAW ada yang berkurban dengan selain binatang ternak. Bilal pernah berkata, 'Aku tak peduli kalau aku berkurban dengan ayam'.

"Ibnu Abbas pernah membeli daging dan berkata, 'Ini adalah kurbannya Ibnu Abbas'. Namun apa yang disampaikan Imam Ibnu Hazm sangat lemah dan tidak dapat diterima," tegasnya.

Kiai mengungkapkan bahwa dalil-dalil tersebut sangat lemah dan tidak dapat diterima. Karena nash umum dalam Al-Quran surah Al Hajj ayat 77 tersebut telah dikhususkan oleh nash-nash lain bahwa berkurban  hanya terbatas pada binatang unta, sapi, dan domba saja.

Kiai mengakhiri dengan mengungkapkan kaidah ushuliyah yang menyebutkan bahwa  dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya, dan ijtihad sahabat secara perorangan (mazhab al shahabi) bukanlah sumber hukum yang kuat.

“Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz I menyebutkan kaidah ushuliyah, yaitu, al ‘aam yabqa ‘alaa ‘umuumihi maa lad yarid daliil at takhshish, dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya," lanjutnya.

Kiai kembali mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, III/417. "Selain itu ijtihad sahabat secara perorangan (mazhab al shahabi) bukanlah sumber hukum yang kuat (mu’tabar)," pungkasnya.[]Erna
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar