Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hilangnya Rasa



Topswara.com --Sore ini dengan semangat Abdul mengayuh sepeda. Seperti biasa, ia akan ke rumah sang guru bermajelis ilmu. Cucuran keringat membasahi baju bagian punggung, tapi ia hiraukan.
Anak lelaki berusia sepuluh tahun itu sesekali bersenandung kecil.

Perjalanan yang ia tempuh menuju rumah sang guru tidak memakan waktu terlalu lama. Lima belas menit kemudian Abdul telah tiba di depan rumah panggung berdindingkan papan.

Ia melompat dari sepeda, kemudian tersenyum kepada sahabatnya.


"Hai, Dul. Baru tiba kau?"

"Iya, Jang."

"Ke sini cepat?" panggil Ujang seraya meraih kain sarung yang Abdul sampirkan di bahu kurus anak lelaki berambut ikal itu.

"Ada apa kau tarik-tarik aku?"

"Gawat gawat," ujar Ujang serius ketika mereka sudah tiba di bawah pohon cempedak di samping rumah.

"Gawat apa?"

"Aku dengar tadi Rojak mengadu pada Guru kalo kau tidak mau lagi mengaji di sini. Apa benar?"

Ekspresi wajah Abdul berubah pucat. Dari mana pula datangnya info itu, mengapa Rojak mengarang cerita. 

"Tidak!" Abdul menggeleng cepat. "Wallahi aku tidak pernah berkata seperti itu."

Apa yang akan dipikirkan sang guru ketika mendengar hal itu. Hal ini bisa mendatangkan salahpaham jika tidak diluruskan segera. 

Abdul memukul kepalanya pelan. Ia berpikir, apa karena Rojak menyimpan dendam kepadanya. Sebab, kemarin ia memberi tahu Uwak Husna kalau Rojak telah mengambil mangga wanita berusia awal 50 tahun itu. Jelas Rojak kena marah. Mencuri apa pun alasannya tidak dibenarkan.

Rojak datang mencari Abdul dan memukul wajah anak lelaki bermata elang itu. Tapi Abdul tidak menganggap serius, ia pikir Rojak hanya kesal.

Tanpa membuang waktu lebih lama, buru-buru Abdul menaiki tangga menemui sang guru. 

"Guru ... Guru!" 

Seorang lelaki paruh baya keluar dari dapur dengan wajah masam. Dia mengamati Abdul sekilas, lalu melengos.

"Guru mohon maafkan aku. Aku tidak pernah mengatakan seperti apa yang Rojak sampaikan."

"Sudah, sudah, Dul. Mulai sekarang kau jangan lagi datang ke majelis ilmu saya. Kau sudah merasa pandai tidak mau lagi berajar bersama lagi. Ilmu yang sudah kau terima itu aku berlepas dari keberkahannya."

Lalu, sang guru mengarahkan tatapan kepada murid yang duduk melingkar di ruang tamu. Tidak ada satupun yang bersuara mereka takut karena sang guru marah.

"Mulai sekarang, kalian jangan berteman sama Abdul kalau masih mau belajar sama saya?"

"Ta-tapi, Guru." Mata Abdul memerah. Hatinya seperti baru saja disayat pisau dan lukanya disiram cuka.

Hatinya menjerit ketika guru yang ia hormati dan tempatnya menimba ilmu selama ini ternyata tidak mau mendengarkan penjelasannya. Hanya menampung informasi dari Rojak saja dikarenakan Rojak memiliki hubungan kekerabatan.

"Kau itu murid tidak beradab! Tidak tahu diri sudah dikasih ilmu."

Hancur hati Abdul. Dengan air mata bersimbah anak lelaki itu menuruni tangga menuju sepeda yang tadi ia sandarkan di tiang rumah.

"Dul ...." Ujang menyentuh bahu ringkih anak lelaki itu. 

Abdul menyusut hidung dan mencoba tersenyum. "Aku tidak apa-apa."

"Tapi kau menangis?" kata Ujang iba melihat sahabatnya.

"Mengapa Guru tidak mau mendengarkan aku?"

"Ayo kita coba lagi, Dul. Ini hanya salahpaham."

"Guru menyebut-nyebut ilmu yang sudah dia berikan sama aku selama ini. Aku sedih, Jang."

Ujang tahu bagaimana kepribadian Abdul. Mereka bersahabat dari kecil. Abdul memiliki sifat ramah dan ceria. Ia percaya jika yang disampaikan Rojak itu dusta. Namun, hal yang Ujang sayangkan, gurunya menelan mentah-mentah informasi itu tanpa memberi kesempatan Abdul menjelaskan.

Padahal Ujang berharap sang guru bisa lebih bijak dalam menyikapi aduan Rojak. Memberikan kesempatan kepada Abdul bicara.

Butuh waktu saling mengenal, tetapi waktu itu sangatlah berharga.
Terkadang kita salah menilai, dan seseorang hanya perlu diberikan kesempatan untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

End

Oleh: Nelliya Azzahra
(Sahabat Topswara)


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar