Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Problematika Sampah di Dalam Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- Lebaran selalu identik dengan kemacetan. Apalagi tahun ini banyak masyarakat yang pulang kampung karena dua tahun sebelumnya terkendala karena pandemi. Selain masalah kemacetan yang dihadapi masyarakat saat lebaran ternyata ada problem lain yang menjadi tantangan, yaitu sampah.

Di hari lebaran, diprediksi volume sampah meningkat hingga 60 ton. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Dudy Prayudi, jika di hari biasa sampah sekitar 1.200 ton maka di hari lebaran prediksi peningkatan ke 1.250-1.260 ton per hari (Republika.co.id, 2/5/22).

Total sampah nasional menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari data tersebut, sebanyak 17 persen disumbang oleh sampah plastik, yaitu sekitar 11,6 juta ton. Wow, sungguh jumlah yang fantastis!

Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan bahwa peningkatan sampah plastik diakibatkan oleh gaya hidup yang ingin praktis. Dengan demikian, pemakaian plastik sekali pakai pun meningkat.

Selain itu, Direktur Pengurangan Sampah KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno pun mengatakan bahwa peningkatan jumlah sampah plastik di rumah tangga dipengaruhi oleh peningkatan bisnis daring selama masa pandemi Covid-19. Frekuensi belanja online naik menjadi satu hingga 10 kali per bulan yang tadinya hanya sekali sebulan. Ia mengatakan bahwa 96 persen paket belanja daring dibungkus dengan plastik (cnnidonesia.com, 26/2/2022).

Melihat fakta tersebut, apa sesungguhnya akar permasalahan dari problematika sampah ini? Lalu, apa yang harus masyarakat dan pemerintah lakukan? 

Sampah dan Gaya Hidup Konsumtif dari Masyarakat

Problematika sampah ini sejatinya bukan sekadar masalah lingkungan saja. Namun, sangat dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat kita saat ini. Pola hidup konsumtif menyebabkan masyarakat memiliki keinginan untuk terus berbelanja dan mengumpulkan berbagai barang yang tentu akan berdampak kepada meningkatnya jumlah sampah. 

Apalagi jika masyarakat belum memiliki pemahaman dan kesadaran terkait pengelolaan sampah maka akan menyebabkan masalah yang lebih rumit lagi. 

Nah, tentu kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan masyarakat saat ini semakin konsumtif? Semua itu tentu tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di dalam kehidupan. Sebab, dalam sistem kapitalis standar kebahagiaan berorientasi pada profit dan materi.

Oleh karena itu, wajar jika masyarakat terdorong untuk selalu memberi barang merek terbaru. Padahal, barang-barang yang saat ini digunakan masih berfungsi dengan baik. Bahkan, bisa jadi baru dibeli bulan lalu. Alasannya tidak lain karena gengsi. Prestise seseorang seolah dilihat dari tampilan luar, baik pakaian, merek gawainya, hingga makanan yang dikonsumsinya.Dengan demikian, kita bisa melihat tren anak muda yang berganti-ganti merek pakaian.

Seolah ada kebanggaan tersendiri saat mereka bisa mem-posting Outfit of The Day (OOTD) di media sosial pribadinya, yaitu pakaian atau gaya apa yang dikenakan hari ini. Tentu baju tersebut hanya dipakai beberapa kali saja dengan alasan keluar tren terbaru lagi di pasaran.
Bukankah strategi penjajahan ala kapitalisme ini sangat berhasil? Salah satunya lewat food dan fashion pada akhirnya menggiring masyarakat untuk mengorientasikan kebahagiaannya kepada materi. 

Masyarakat seolah tidak puas jika hanya memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Akan tetapi, di sisi lain mereka tidak sadar bahwa kebiasaanya ini berimplikasi langsung terhadap meningkatnya problem sampah di tengah masyarakat.

Dengan melihat problematika sampah di sekitar kita, tentu tidak cukup jika kita hanya merasa prihatin saja. Begitu pun program antisipasi dampak ternyata tidak solutif. Oleh karena itu, diperlukan solusi tuntas untuk mengatasi akar masalah sampah ini. Lalu, apakah berbagai kampanye dan peraturan yang diterapkan saat ini sudah berhasil untuk mengatasi masalah sampah? 

Islam Solusi Tuntas Atasi Problematika Sampah

Islam sejatinya bukanlah sekadar agama yang mengurusi aspek ritual saja. Sebab, Islam adalah sebuah ideologi yang megatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya tentang sampah.

Kesempurnaan syariat Islam menunjukkan hanya dengan bersandar kepada aturan dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta maka berbagai problematika kehidupan bisa diselesaikan. Sebab, jika solusi yang ditawarkan berasal dari aturan buatan manusia maka solusinya hanya tambal sulam saja. Bahkan bisa menimbulkan permasalahan baru lainnya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41 yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." 

Syariat Islam tentu tidak melarang konsumsi karena manusia juga memiliki naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) yang harus dipenuhi. Akan tetapi, yang menjadi pembeda dengan ideologi kapitalisme sekuler, yaitu ideologi kapitalis memenuhi kebutuhan tersebut semaunya alias dengan aturan buatan manusia.

Alhasil standar baik dan buruk serta benar dan salah menjadi relatif dan bisa berubah-ubah sesuai dengan azas manfaat yang ingin diperoleh. Maka, wajar jika kemajuan ekonomi dan industri hanya berfokus kepada profit. Adapun seorang Muslim harusnya menyandarkan semuanya kepada panduan hukum syara.
Berbicara tentang sampah pasti berhubungan dengan keberlanjutan (sustainability) bumi ini. 

Jika para penggiat lingkungan di era kapitalistik ini hanya berorientasi kepada ancaman lingkungan. Namun, bagi seorang Muslim, kepedulian akan masalah sampah ini justru lahir dari dorongan keimanannya sebagai seorang Muslim.

Sebab, bagi seorang Muslim segala aktivitas yang ia lakukan senantiasa akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membeli sesuatu barang maka selain faktor halal dan haram maka ia tidak akan membelanjakan hartanya secara konsumtif.

Islam sendiri bahkan secara detail mengatur bagaimana gaya hidup masyarakat. Masyarakat didorong untuk mengonsumsi sesuai kebutuhan. Selain itu, Islam juga melarang menumpuk barang tanpa pemanfaatan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 31 yang artinya, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. 

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” 
Selain dari tatanan individu, problematika sampah ini juga tentu membutuhkan kepekaan dari masyarakat. Oleh karena itu, Islam sudah mewajibkan kita untuk melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk kontrol sosial di tengah masyarakat. 

Begitu pun yang lebih penting, yaitu adanya peran negara yang menerapkan Islam secara kafah di dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian negara bisa menerapkan peraturan baik preventif maupun kuratif untuk mengatasi problematika sampah ini dengan panduan hukum syara.

Maka, ketika aturan negara diterapkan di tengah masyarakat maka ada dorongan untuk saling mengingatkan jika ada yang melanggar. Sebab, sistem aturan yang diterapkan berlandaskan atas ketaatan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, masyarakat bukan sekadar takut akan denda jika membuang sampah sembarangan. Justru dimunculkan kesadaran bahwa setiap perbuatannya akan dihisab di akhirat kelak.

Khatimah

Untuk menyelesaikan problematika sampah hingga ke akarnya maka diperlukan solusi sistemik, yaitu penerapan ideologi Islam di dalam kehidupan. Sebab, problematika sampah hanyalah problematika di hilir yang muncul akibat problematika yang terjadi di hulu, yaitu diterapkannya ideologi kapitalisme sekuler.

Problematika di hulu ini tentu tidak cukup jika hanya dengan melakukan kampanye atau edukasi berupa selebaran terkait pengelolaan sampah. Namun, diperlukan tata kelola oleh pemerintah yang bersandarkan kepada syariat Islam secara kafah.[]



Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar