Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme, Lahirkan Ibu Depresi


Topswara.com -- Sekejam-kejamnya harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, rupanya peribahasa ini berbanding terbalik pada ibu muda di Brebes yang tega menggorok ke tiga anaknya. Ia mengaku tidak gila, “sebelum saya mati, saya cuma ingin menyelamatkan anak-anak, biar enggak dibentak-bentak. Mending mati saja, tidak perlu merasakan sedih. Harus mati biar enggak sakit kayak saya, enggak ada yang tahu, saya memendam puluhan tahun.” Dalam pengakuannya di balik jeruji tahanan.

Kasus pembunuhan sadis dengan pelaku seorang ibu muda berinisial KU (35 tahun) di Tonjong, Brebes, Jawa Tengah yang menggorok leher anak kandungnya yang berusia 6 tahun, dan melukai 2 anak kandung lainnya menggegerkan masyarakat. Sebab, ibu muda yang dikenal pendiam di antara para tetangganya ini tega menghabisi darah dagingnya sendiri dengan sadisnya. (Republika.co.id, 30/3/2022).

Masih dari laman yang sama Republika.co.id, (30/3/2022) kasus serupa juga pernah terjadi di Jabar seorang ibu meracuni ketiga anaknya. Salah satu penyebab pelaku melakukan tindakan sadis tersebut kepada anaknya karena alasan ekonomi dan kesulitan hidup. Sedangkan menurut ahli Psikologi Forensik Reza Indra Giri Amriel kemungkinan ada kondisi psikologi abnormal tertentu pada pelaku.

Fenomena ibu yang depresi di tengah sistem demokrasi bukanlah yang pertama kali terjadi, beberapa kasus yang sama kerap terjadi. Yang menjadi pertanyaan kita bahwa mengapa kasus-kasus semacam ini terus berulang, tentu saja kita harus melihat akar persoalannya. Rata-rata yang membuat depresi ibu rumah tangga adalah akibat dari sulitnya kehidupan ekonomi mereka.

Faktor yang mempengaruhi kejiwaan seorang ibu adalah tidak adanya perhatian dari keluarga, salah satunya sosok suami. Suami bertanggungjawab sebagai kepala keluarga untuk menafkahi anggota keluarganya, suami seharusnya menjadi tempat ternyaman istri untuk berkeluh kesah, saling berbagi kesulitan, tempat mencurahkan segala kepenatan hidup sehingga terjalin keharmonisan dalam keluarga. 

Sebagaimana Rasulullah SAW dari lisannya yang mulia pernah bersabda : “sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Faktor lain yang menjadi pemicu seorang ibu mengalami depresi adalah abainya peran negara. Pasalnya banyak kebijakan yang membuat depresi tingkat tinggi seperti melambungnya harga sembako, harga BBM mahal, tarif listrik naik, juga mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan ditambah lagi minimnya lapangan pekerjaan yang berakibat banyak kepala keluarga yang menganggur sehingga tidak bisa menafkahi keluarganya.

Fenomena ibu depresi tidak cukup terselesaikan dengan perbaikan kejiwaan individu pelakunya tetapi problem ini seharusnya mendorong negara menghapus semua faktor sistemis yang memicu masalah kejiwaan ibu.

Seharusnya hal yang memilukan semacam ini tidak perlu berulang kali terjadi ketika negara memang memperhatikan keadaan ekonomi masyarakatnya. Bukankan orang-orang miskin dan terlantar itu harus dipelihara negara? Dipelihara dalam arti diayomi, dipenuhi kebutuhan hidupnya. 

Negara bertanggung jawab mengurusi kebutuhan rakyatnya, memberikan perlindungan dan pelayanan kepada setiap warga negaranya tetapi semua itu tidak dapat di jumpai dalam sistem sekuler kapitalis yang diemban oleh negara saat ini.

Dalam pandangan Islam pemenuhan kebutuhan masyarakat baik sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan merupakan kewajiban dari penguasa. Sungguh Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa setiap penguasa akan dimintai tanggung jawab terhadap setiap orang yang ada dalam kuasanya.

Dalam Islam peran ibu adalah pendidik dan pengatur rumah tangga bukan pencari nafkah. Adapun yang berperan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup dibebankan kepada suami atau wali. Jika suaminya tidak memiliki pekerjaan, tugas negaralah yang memfasilitasi mereka untuk bekerja sehingga nafkah untuk keluarga tetap ada. Tetapi Jika tidak memiliki suami atau wali maka urusan nafkah terhadap perempuan beralih pada negara.

Sungguh kita semua berharap bahwa hal semacam ini tidak akan pernah terulang kembali. Itu hanya dapat terwujud ketika negara ini menerapkan aturan Islam secara kaffah.

Wallahu a'lam bisshawab

Oleh: Nahmawati 
(Pegiat Opini)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar