Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perlakuan Hukum Atas Nyawa Didiskriminasi, Bukti Rapuhnya Keadilan Versi Demokrasi




Topswara.com -- Pada dasarnya manusia sejak lahir diberikan hak atas hidup, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Tidak boleh merampas hak hidup seseorang secara sewenang-wenang. Sama saja hal nya tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap seseorang. Jika itu terjadi, maka negara harus berupaya menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi tegas tanpa diskriminasi. 

Namun berbeda dengan kasus penembakan enam anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. Terdakwa Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella dinyatakan bebas dari hukuman pidana berdasarkan putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Padahal tindakan melawan hukum terdakwa adalah merampas nyawa orang lain. Meskipun beralasan membela diri, tetap saja perbuatan tersebut melampaui batas (Republika.co.id, 18/03/2022).

Sebagaimana dengan tuntutan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, bahwa terdakwa dijerat hukum enam tahun penjara. Namun di sisi lain hakim menyatakan alasan keduanya tidak dapat dijatuhi pidana karena pembenaran dan pemaaf. Sementara itu jaksa penuntut umum diperintahkan untuk melepaskan terdakwa dan memulihkan hak-hak terdakwa (cnnindonesia.com, 18/03/2022).

Betapa banyak laporan tindak kejahatan dituntut ke pengadilan yang tidak menemui keadilan. Ketidakadilan semakin terpampang di hadapan mata dengan berbagai masalah pembunuhan secara sistematis hingga tuduhan teroris, tetapi tak kunjung ada solusinya. Bukan karena mengalami jalan buntu, lebih pada ambiguitas proses hukum yang dijalankan. Sementara itu, penetapan kebijakan tidak sesuai dengan implikasi yang diterima korban.

Meskipun semua pelanggaran hukum dan sanksi sudah tercatat dalam undang-undang. Hanya sebatas tinta hitam di atas kertas putih yang tidak memberikan pengaruh apa-apa. Seolah undang-undang atas hak asasi manusia yang disuarakan bisa dinegoisasi dan manipulasi sesuai kepentingan. Wajar saja jika terjadi jurang kesenjangan yang memihak pada kalangan elit.

Padahal penegakan hukum atas pemenuhan hak asasi manusia seharusnya diberlakukan kepada siapapun, tanpa terkecuali. Terbukti bagaimana sistem kapitalis sekuler tidak mampu memberikan solusi koheren bagi umat manusia. Keadilan yang diserukan tidak mengakui kebenaran dan kepalsuan secara objektif. Keadilan versi demokrasi dijadikan cara sebagai kebenaran relatif dari setiap kebijakan tertentu, berdasarkan musyawarah. Demokrasi selalu akan memihak yang kuat daripada yang lemah, karena itulah cara rancangan sistem.

Sejatinya keputusan pengadilan sering lebih tunduk terhadap pihak-pihak yang memberikan harga lebih tinggi. Tidak memperhatikan lagi rasa keadilan yang sesungguhnya terhadap masyarakat. Padahal hukum hakikatnya dibuat untuk melindungi warga dari tindak kezaliman dan kejahatan. Urusan keadilan terhadap perlindungan nyawa pun seolah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Model putusan pengadilan semacam ini jelas tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Alur peradilan yang berbelit-belit dapat memutarbalikkan kebenaran, mematahkan berbagai argumentasi dan mencari celah hukum yang membuat para terdakwa bisa lolos dari jerat hukum. Proses yang lama membuat kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang mengajukan tuntutan. Justru panjangnya jenjang pengadilan memberikan kesempatan para mafia peradilan mendapatkan keuntungan.

Lagi-lagi sistem kapitalis demokrasi memberikan peluang kemenangan amat kepada para pemilik modal. Dengan begitu, penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan tidak akan jera atau takut. Akibatnya, angka kriminalitas terus meningkat karena kegagalan negara dalam menjamin keadilan dan perlindungan setiap persoalan. Apalagi nyawa manusia yang begitu penting harus dijaga.

Islam sangat menjaga dan melindungi nyawa setiap manusia. Karena nyawa adalah anugerah yang diberikan Allah untuk dipelihara dengan baik. Maka Allah menetapkan pembunuhan satu nyawa tidak berdosa sama dengan menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Begitu pun Al-quran menjelaskan, "Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia" (TQS. Al-Maidah :32).

Islam mengharamkan tidak hanya masalah pembunuhan, tetapi juga perkaran menimpakan bahaya dan kesusahan kepada sesama. Apalagi jika pelakunya adalah penguasa yang menimpakan kesusahan dan bahaya, bahkan mengancam jiwa rakyatnya. Karena darah dan jiwa mahal untuk ditumpahkan.

Bahkan Rasulullah SAW mengingatkan kaum Muslim untuk berhati-hati saat meluncurkan anak panah ke tengah kerumunan. Seperti di dalam pasar, agar tidak melukai orang lain meski tidak disengaja. Dalam sebuah riwayat Bukhari menjelaskan, "Jika salah seorang di antara kalian melewati masjid kami, atau pasar kami, sedangkan ia membawa anak panah, hendaklah ia memegang (menutup) mata anak panahnya atau memegang dengan tangannya agar tidak sedikit pun melukai salah seorang Muslim pun."

Begitu berharganya nyawa seorang Mukmin, bahkan kehancuran dunia jauh lebih ringan dibandingkan dengan hilangnya nyawa Mukmin tanpa haq. Seperti hal nya mengarahkan senjata tanpa niat mencelakakan saja diharamkan, apalagi secara sengaja menakut-nakuti dan mengancam orang beriman dengan senjata hingga menghilangkan nyawa.

Di dunia, para pembunuh kaum Mukmin saat ini memang bisa lolos dari jerat hukum. Belum lagi mendapatkan pembelaan dan perlindungan hukum dari para penguasa. Namun, tidak demikian di akhirat nanti. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Pembunuh dan korban yang dibunuh akan didatangkan pada Hari Kiamat dengan menenteng kepala temannya (pembunuh). Disebutkan riwayat lain bahwa: Dia (korban) membawa sang pembunuh, sementara urat lehernya bercucuran darah. Lalu dia berkata, “Ya Allah, tanya orang ini, mengapa dia membunuh saya” (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, Islam memberlakukan sanksi yang keras berupa hukuman qishash kepada pelaku pembunuhan. Qishash merupakan tuntutan hukuman mati atas pembunuh karena permintaan keluarga korban. Tentunya hukum ini memberikan rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan, sekaligus menjadi pencegah tindakan kejahatan yang sama.

Namun jika keluarga korban tidak menghendaki qishash, bisa juga menuntut diyat atau denda pada para pelaku pembunuhan. Adapun diyat yang dikenakan sebanyak 100 ekor unta, 40 di antaranya dalam keadaan bunting. 

Terbukti begitu mulianya syariah Islam dalam melindungi nyawa manusia. Tidak membedakan tanpa terkecuali siapa pun pelakunya. Sebagaimana sejak Nabi Muhammad SAW menegakkan negara Islam di Madinah. Kemudian tetap dilanjutkan oleh Khulafa’ ar-Rasyidin, kaum Muslim mendapatkan perlindungan yang luar biasa. Tidak boleh setetes pun darah tumpah melainkan ada pembelaan dari Negara Islam. Bahkan para pelaku kriminal pun masih mendapatkan perlindungan hingga terbukti bersalah di pengadilan dan layak mendapatkan hukuman setimpal, seperti hukuman mati.

Demikianlah sistem sekular dengan konsep HAM versi demokrasi yang diterapkan saat ini telah gagal melindungi kehormatan dan nyawa manusia. Sudah saatnya umat kembali pada sistem yang memuaskan akal, sesuai fitrah, dan memberikan ketenangan. Tentunya melalui penerapan syariah Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan oleh negara.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Yeni Purnamasari, S.T.
(Muslimah Peduli Generasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar