Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menggoreng Radikalisme, Membungkam Ulama Kritis?


Topswara.com -- Isu radikalisme tak pernah padam dari pemberitaan. Belakangan muncul kembali bahkan viral rilis nama 180 penceramah yang katanya terkategori radikal. Di antara 180 nama penceramah tersebut, ada banyak nama penceramah yang sudah dikenal luas di tengah masyarakat, yakni Ustaz Felix Siaw, Ustaz Abdul Somad, Ustaz Hanan At-Taqi. Bahkan dalam rilis yang katanya dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut juga menyertakan imbauan agar tidak mengundang mereka berceramah.

Padahal secara langsung, pihak BNPT mngonfirmasi bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan rilis nama-nama tersebut, melainkan hanya mengeluarkan rilis ciri-ciri penceramah radikal pasca disinggung Presiden Jokowi dalam rapat TNI-Polri beberapa waktu lalu. Lantas siapa yang mengeluarkan rilis tersebut? Tentu saja pemerintah perlu mengusutnya secara tuntas, sebab beredarnya informasi tersebut di kanal-kanal media sosial merupakan sebuah bentuk pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter terhadap penceramah yang namanya masuk ke dalam daftar.

Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Ulama Indinesia (MUI), Anwar Abbas, dalam Catatan Demokrasi TVOne (Rabu, 9 Maret 2022). Beliau menyatakan bahwa seharusnya ada tabbayun (klarifikasi) sebelum nama-nama tersebut tersebar luas. Beliau juga mengatakan perlu dicari orang yang pertama kali membuat rilis nama-nama tersebut.

Radikalisme Bias Makna

Tak dimungkiri, isu radikalisme yang selalu di blow up ke permukaan dan digoreng sedemikian rupa oleh media, menjadikan islamofobia di tengah masyarakat kian menguat. Masyarakat awam akhirnya takut untuk mendalami Islam secara kaffah karena diisukan radikal. Apalagi, radikalisme pun kerap kali dikorelasikan dengan jihad dan khilafah yang notabenenya ajaran Islam.

Dengan demikian, perlu ada pelurusan makna terkait radikalisme. Jangan sampai justru radikalisme dimaknai suka-suka sesuai kepentingan penguasa. Demi menjegal kebangkitan Islam dan membungkam suara kritis ulama, radikalisme pun disematkan kepada mereka yang vokal mengkritik kebijakan  penguasa termasuk mereka yang menyodorkan syariat Islam dan Khilafah sebagai solusi persoalan  yang ada. Tentu hal tersebut sangat berbahaya, membuat umat Islam terbelah menjadi dua kubu, moderat versus radikal.

Mirisnya framing negatif justru dialamatkan kepada kubu radikal, yakni ulama yang menyuarakan ajaran Islam yang sempurna, menyuarakan penerapan syariat Islam dalam institusi negara, tegas menolak pemimpin kafir, menolak legalisasi LGBT, menolak paham sesat liberalisme, dan ketegasan lainnya yang disampaikan berdasarkan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka yang berislam sesuai selera Barat justru dilabeli moderat, yakni wajah muslim yang ramah dan layak dijadikan contoh. Demikianlah, politisasi di balik isu radikalisme yang tak habis-habisnya dijajakan di tengah umat.

Teguh di Jalan Islam Kaffah

Setiap muslim telah Allah perintahkan untuk berislam secara kaffah, bukan setengah-setangah. Artinya, Allah memerintahkan setiap muslim untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari urusan personal, masyarakat, hingga bernegara. Sebab, Islam diturunkan Allah sebagai sistem kehidupan bagi manusia, tak hanya agama ritual.

Adapun syariat Islam hanya bisa diterapkan  secara sempurna dalam naungan Khilafah islamiah yang merupakan institusi warisan Rasulullah saw. Oleh karena itu, keberadaan Khilafah wajib adanya, maka umat Islam wajib memperjuangkannya yakni dengan mendakwahkannya ke  tengah-tengah umat.

Sejatinya dakwah merupakan kewajiban yang Allah perintahkan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun hal-hal yang perlu didakwahkan adalah semua ajaran Islam, termasuk soal jihad dan Khilafah. Adapun mengoreksi penguasa juga merupakan bagian dari aktivitas dakwah, yakni amar makruf nahi mungkar. Bahkan Rasulullah saw mengatakan, "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Daud)

Sungguh Islam mendorong umatnya untuk kritis terhadap segala kebijakan penguasa, apatah lagi bagi seorang ulama yang merupakan pion-pion perubahan di tengah umat. Tentu mereka harus kritis menyikapi segala fenomena yang ada dengan sudut pandang ideologi Islam. Hal tersebut semata-mata agar penguasa yang diamanahi mengurus urusan rakyat dapat tetap berada dalam koridor syariat. Apa jadinya jika penguasa dengan terang-terangkan menzalimi rakyatnya, namun rakyatnya hanya diam saja? Tak ada pula ulama yang berani mengingatkan, karena para ulama lebih disibukkan dengan dakwah kepada perbaikan akhlak semata. Jika dibiarkan, tentu saja kehancuran dan kekacauan akan terjadi.

Butuh ada ulama-ulama kritis di tengah-tengah umat, yakni mereka yang dakwahnya menyentuh pada segala hal yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan umat, baik urusan skala individu sampai urusan berpolitik. Demikianlah esensi dari kaffah (sempurna) yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim dalam menjalankan agamanya.

Allah Swt berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Wallahu'alam bish shawab
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar