Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jika Digenggam Menyakitkan, Mengapa Tidak Dilepaskan?



Topswara.com -- Jika digenggam menyakitkan, mengapa tidak dilepaskan? Sesuatu yang menyakitkan, tetapi memiliki cara pandang yang berbeda akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Sudut pandang pertama, digenggam menyakitkan, sehingga dilepaskan. Bisa jadi yang memilih untuk melepaskan, karena kebahagiaan bisa ia dapatkan ketika melepaskan. Ini adalah respons yang benar. Sudah tahu faktanya menyakitkan, menyedihkan, buruk, mengapa masih digenggam? Memang seharusnya dilepaskan. 

Lumrah sebagai seorang manusia mampu membedakan mana yang menyenangkan dan menyedihkan. Pun demikian membedakan mana baik dan buruk. Harapannya, dari sini kita mampu memetik kebaikan dari yang kita hindari. Mengulik lebih dalam soal makna senang-sedih, baik-buruk, suka-duka, tentu standar seorang Muslim pakem. 

Nah, apabila kita memahami kehidupan dunia ini hanya sementara dan semuanya akan ada masa pertanggungan jawaban, tentu Muslim harus menyandarkan standar kehidupannya kepada syariat Islam. Dengan begitu, ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. 

Tapi, hidup ternyata tak semudah itu. Terkadang ketaatan itu berat dilakukan, kemaksiatan mudah sekali dilakukan. Bahkan, berusaha untuk taat malah dituduh macam-macam, giliran maksiat malah didukung dan disponsori. Inilah gambaran kehidupan sekarang. Zaman seolah-olah kembali ke masa jahiliah, masa Islam belum datang. Di sini, umat Islam harus jeli, keyakinannya kepada Islam benar-benar diuji. 

Karena, banyaknya narasi negatif yang dialamatkan kepada Islam, tak boleh mempengaruhi keyakinannya. Begitu juga dirinya harus senantiasa haus dengan ilmu untuk menambah tsaqafahnya dan istiqamah berdakwah di jalan Islam. 

Sudut pandang kedua, untuk kasus digenggam menyakitkan, tetapi tetap saja digenggam. Boleh jadi, orang yang melakukan hal tersebut telah menganggap rasa sakit yang ia terima adalah sebuah kebahagiaan. Jadi, sekalipun menyakitkan, tetap digenggam erat. Sebagaimana analogi, menggenggam Islam di zaman akhir itu bagaikan menggenggam bara api. Seolah-olah memang panas dan ingin dilepaskan, tetapi kita tidak boleh melepaskan. Karena jika sampai dilepaskan, justru kita yang bisa terjerumus ke pedihnya siksa api neraka. Astaghfirullahal'adzim na'zubillah. 

Dari dua sudut pandang di atas, memang sikap kita ditentukan oleh pemahaman yang kita miliki. Apapun yang akan kita lakukan, tergantung dari apa yang kita pikirkan. Bagaimana jika perbuatan itu tanpa pikir, bisa jadi perbuatan tersebut hasil dari luapan hawa nafsu. Tentunya yang menuruti nafsu, itu tidak baik dan membahayakan. Oleh karena itu, sebagai Muslim, jadilah Muslim berakal yang senantiasa berpikir dengan melandaskan perbuatannya dengan ketakwaan. Karena hakikinya, hanya ketakwaan yang mampu mengantarkan kepada kebahagiaan sejati. Wallahu a'lam.[] Ika Mawarningtyas
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar