Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menuntaskan Kejahatan Seksual Tanpa Masalah Baru


Topswara.com -- Hari-hari belakangan ini, media diwarnai dengan pemberitaan kasus predator seksual asal Garut. Berkedok sebuah pesantren, Harry Wirawan (HW) sang guru, memperkosa 12 santriwati berusia 13-16 tahun hingga hamil, 9 diantaranya sudah melahirkan (kompas.com, 12/12/2021). 

Kasus pemerkosaan itu sudah berjalan sejak 4 tahun lalu dan baru terungkap di bulan Mei 2021 saat salah satu keluarga korban melaporkannya ke Polda Jabar. Sengaja ditutup kasusnya oleh Polda, tidak diangkat ke media untuk melindungi korban. Saat ini, HW sudah berstatus terdakwa karena sudah menjalani persidangan. 

HW melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), jo Pasal 76.D UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, ancamannya pidana 15 tahun. Statusnya sebagai guru, memberatkan hukuman HW menjadi 20 tahun. Namun banyak pihak yang bersuara agar HW dihukum kebiri.

Di sisi lain, dari dalam gedung parlemen, terdengar terburu-buru hendak mengesahkan RUU TPKS. Delapan fraksi sudah menyetujui, tinggal PKS yang belum. Penangguhan pengesahan tak hanya dari PKS, namun juga dari luar gedung parlemen. Tiga belas Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) meminta DPR meninjau kembali isi RUU dan tidak terburu-buru mengesahkannya.

Beberapa catatan dari MOI tentang draft RUU TPKS. Pertama, menghimbau agar DPR menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dan kerangka berpikir feminist legal theory. Terlihat dengan tetap dipertahankan diksi ‘kekerasan seksual’, ‘secara paksa’, ‘keinginan seksual’, ‘pemaksaan hubungan seksual’, dan ‘pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi’, sebagaimana pasal 1, 4, 5, 6, 7, dan 8. 

Kedua, menolak redaksi yang hanya membatasi pada perspektif HAM. Padahal tidak semua HAM sejalan dengan perspektif agama dan Pancasila. Intinya, mengajak DPR untuk mempertimbangkan agama dalam pembuatan RUU TPKS. 

Tak Cukup dengan UU

Kekerasan seksual laksana gunung es. Yang terungkap di permukaan hanya sedikit dibandingkan jumlah sebenarnya. Kasus HW contohnya, jika tidak muncul ke media, mungkin tidak menjadi perhatian dan dicatat sebagai kasus kejahatan seksual. 

Dari tahun ke tahun, kasus ini terus meningkat. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466. 

Adapun tahun 2020 ini terkesan menurun sebab separo dari angket yang disebar tak kembali sehingga yang tercatat hanya 299.911 kasus. Demikian keterangan yang ditulis di komnasperempuan.go.id, dalam CATAHU 2020. Memang sulit dipercaya jika ada penurunan kasus. Kondisi pandemi memicu krisis ekonomi dan berimbas pada meningkatnya kriminalitas termasuk kejahatan seksual. 

Penuntasan kejahatan seksual masih berkutat di ujungnya, tanpa melihat pangkalnya. Merumuskan hukuman kejahatan tanpa melihat pangkalnya ibarat memotong cabang pohon. Pohon akan tetap tumbuh tersebab akarnya masih ada. 

Sistem kehidupan sekuler mendistorsi orientasi hidup manusia. Yang dikejar hanyalah kebahagiaan jasadiah dan materi. Melahirkan tingkah laku yang liberal demi mencapai kebahagiaan semu itu. Sistem ini lahir dari ideologi kapitalisme. 

Negara bersistem kapitals sekuler hadir untuk menjamin kebebasan individu. Tanpa memandang apakah kebebasan tersebut sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma sosial di masyarakat. Tak heran, konten pornografi dan pornoaksi bertebaran di mana-mana, bahkan di gedung bioskop serta televisi. Jangan tanya di dalam gawai dengan dunia cybernya. 

Peraturan yang lahir dari negara sekuler kapitalis jelas peraturan yang mengakomodir kebebasan. RUU TPKS dengan paradigma sexual consent merupakan semangat liberalisasi hak guna atas tubuh. Mendefinisikan kekerasan seksual dengan frase "tanpa persetujuan korban", membawa implikasi jika saling setuju maka boleh. Hal ini semakin membuka lebar perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual. 

Alih-alih menyolusi, RUU TPKS malah menambah masalah baru. Dan jika zina sudah merebak, maka akan mendatangkan masalah sosial, meningkatnya kriminalitas dan rusaknya generasi, bahkan mengundang azab Allah SWT.

Solusi Tuntas Kejahatan Seksual

Sistem Islam kafah memiliki solusi komprehensif. Solusi yang tidak menyisakan masalah dan tidak menambah masalah baru. Pondasi akidah Islam menjadi kunci dari selesainya semua persoalan manusia. Termasuk kejahatan seksual. 

Dari akidah Islam ini lahirlah aturan-aturan kehidupan yang mendatangkan kebaikan bagi manusia dan alam semesta. Sebab peraturannya bersumber dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan Pengatur alam semesta. Ada tiga pilar yang melaksanakan aturan Allah, yaitu individu, masyarakat, dan negara. 

Individu yang berakidah Islam menjadi pribadi yang bertakwa. Ia akan menyesuaikan segala tingkah lakunya dengan aturan Allah SWT. Tujuan hidupnya adalah mencari ridha Allah. Individu seperti ini takkan mendatangkan kerusakan bagi manusia lain. Kesadarannya tentang hari pertanggungjawaban membuatnya menjadi manusia bermanfaat. Dirinya sibuk beramal shalih, dan tak sempat mengerjakan hal yang tak berguna apalagi yang mengandung maksiat.

Saat akidah Islam menjadi asas masyarakat, jadilah masyarakat Islam yang selalu beramar makruf dan nahi mungkar. Takkan membiarkan kemaksiatan terjadi di lingkungannya. Apatah lagi perzinaan yang merupakan perbuatan buruk dan keji. 

Pilar ketiga, negara Islam yang menerapkan syariat Allah SWT secara kafah. Sistem sosial mengatur interaksi antara pria dan wanita, mewajibkan menutup aurat, menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sistem pendidikan akan mencetak individu yang berkepribadian islam, sejalan antara pola pikir dan pola sikapnya.

Industri hiburan yang dikelola oleh daulah khilafah, tak bertentangan dengan syariat islam. Takkan ada produksi hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Tidak pula untuk konten yang bisa menggerus akidah dan merusak akhlak.

Sistem sanksi di khilafah terkenal tegas dan adil. Seorang pezina akan dihukum rajam hingga mati jika si pezina telah menikah. Sedangkan untuk yang belum menikah, hukuman jilid atau cambuk pun menantinya. Melihat begitu keras hukumannya, jika dia berakal tentu akan berpikir ribuan kali untuk berzina.

Demikan penjagaan sistem Islam untuk menjaga eksistensi manusia. Agar seutuhnya menjadi manusia, tak jatuh pada derajat hewani. Dan tak mengundang azab Allah SWT. Kehidupan manusia pun akan tentram jauh dari rasa was-was akan hadirnya predator seksual. Wallahu a'lam []


Oleh: Mahrita Julia Hapsari 
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar