Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Potensi Blok Wabu Dikuasai Korporat, Rakyat Tercekat


Topswara.com -- Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) berlimpah. Setiap pulaunya menyimpan manfaat luar biasa demi kelangsungan hidup rakyatnya. Idealnya, Indonesia tumbuh dan berkembang menjadi negara dengan kedaulatan penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA tersebut. Di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 merupakan landasan filosofi pengelolaan SDA di Indonesia, menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Pada faktanya pengelolaan SDA di bumi pertiwi ini telah berpindah tangan ke pihak asing dan korporat bermodal besar. Tanpa sungkan dan ragu malahan cenderung berlebihan dalam mengeksploitasi pengelolaan SDA. Mengeruknya sampai tidak menghasilkan manfaat berupa materi lagi di dalamnya. Kemudian ditinggalkan begitu saja bekas-bekas penambangan atau pemanfaatan SDA tersebut. Tanpa berusaha untuk memperbaiki kerusakan akibat eksploitasi tersebut agar masyarakat sekitar dapat memanfaatkan tanah atau lahannya sesuai peruntukannya. 

Blok Wabu Dikuasai Korporat
 
Salah satu pengelolaan SDA berlimpah oleh pihak asing yang berafiliasi dengan negara adalah PT Freeport Indonesia (PTFI) , afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. dan PT  Indonesia Asahan Aluminium (Persero)(Inalum). PT Freeport ini menguasai eksplorasi tambang emas di Papua. Sejak jaman Orde Baru hingga sekarang masih diberi kewenangan dalam mengelola emas tersebut. Ada dua blok yang dieksplorasi, lalu dieksploitasi, yaitu Blok A dikenal dengan Blok Grasberg dan Blok B di luar wilayah Grasberg, yakni Blok Wabu. 

Blok Grasberg ditetapkan sebagai wilayah yang dieksploitasi penuh oleh Freeport. Berbeda dengan Blok Wabu yang kemudian dilepaskan oleh Freeport. Ramai diperbincangkan publik beberapa pekan ini tentang Blok Wabu yang berada di Intan Jaya, Papua. Di mulai dari konflik antara Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti. Di mana Haris Azhar menggugah video di YouTube pribadinya, 20 Agustus lalu, disebutkan di dalamnya ada permainan penguasaan tambang. 

Berdasarkan laporan yang diluncurkan oleh YLBHI, WALHI  Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATQM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia, bahwa ada empat perusahaan yang teridentifikasi menguasai konsesi lahan tambang di Blok Wabu. Satu di antaranya adalah PT Madinah Qurrata’Ain ( PTMQ) yang diduga terhubung dengan Toba Sejahtera Group. Di mana Luhut Binsar Pandjaitan masih memiliki saham perusahaan Toba Sejahtera Group, melalui anak usahanya, PT Tobacom Del Mandiri, disinyalir memiliki sebagian saham PTMQ. Blok Wabu menjadi perhatian dalam bahan pembicaraan publik hingga sekarang. (bisnis.tempo.com, 24/9/2021).

Tidak dapat dipungkiri sistem kapitalis-liberalis yang merupakan asas dari demokrasi yang diusung negara ini, telah menempatkan para pemilik modal besar yang mampu memberi keuntungan bagi penguasalah yang akhirnya memiliki kesempatan besar dalam mengeksploitasi SDA berlimpah. Perbincangan tentang permainan penguasaan tambang seakan membuka mata bagaimana pengelolaan SDA selama ini terlepas dari negara. Padahal jelas dalam aturan negara seharusnya dikuasai oleh negara bukan korporat apalagi yang berafiliasi dengan pemegang kekuasaan. Sungguh ironis, SDA berlimpah tapi hasilnya tidak untuk kesejahteraan rakyat.  

Potensi Blok Wabu Melimpah 

Dilansir dari media ekonomi.bisnis.com, Rabu (25/9/2021) menyatakan Blok Wabu ini diduga memiliki potensi kandungan emas yang lebih besar dari Tambang Grasberg, Freeport Indonesia. Berdasarkan data kementerian ESDM 2020, Blok Wabu menyimpan potensi sumber daya 117,26 ton bijih emas rata-rata kadar 2,16 gram per ton (Au) dan 1,76 gram per ton perak. Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengatakan nilai potensi ini setara dengan US $14 miliar atau nyaris Rp 309 trilium dengan asumsi harga emas US $1,750 per troy once. Sementara itu, setiao 1 ton material bijih mengandung logam emas sebesar 2,16 gram. Menurut Ferdy dikutip dari Tempo bahwa kandungan logam emas material bijih Grasberg milik Freeport Indonesia yang setiap ton materialnya hanya mengandung 0,8 gram emas.

Sungguh hasil tambang yang luar biasa potensinya jika dikelola dan dieksploitasi  dengan optimal oleh negara. Maka hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki perekonomian nasional yang sedang terseok-seok. Hanya saja, ketika Blok Wabu ini dilepaskan, pemerintah justru tidak berinisiatif untuk mengelolanya secara langsung. Seakan menanti kepastian campur tangan pihak swasta di dalamnya.  

Buktinya sebelum tahun 2018, Blok Wabu sudah diserahkan tapi pemerintah baru menetapkan wilayah Freeport hanya 9.900 hektare, yang dulu dikenal dengan Blok A melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 21 Desember 2018. Akhirnya Blok Wabu ini menjadi incaran para korporat besar, dan jelas keuntungan yang diperoleh untuk para korporat berdasi dan punya kekuasaan, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Dengan kata lain, menyerahkan aset publik untuk diambil hasilnya oleh swasta/pihak asing. Negara tidak mendapatkan hasil dan manfaat yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyatnya agar terpenuhi kebutuhan dasarnya. 

Aturan Islam Tegas dan Jelas 

Sejatinya Islam memiliki sistem ekonomi yang berimbang dan tepat dalam kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Ketiga hal ini menjadi basis ekonomi Islam. Untuk kepemilikan terbagi menjadi tiga aspek yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Pengelolaan kepemilikan berdasarkan aspek kepemilikannya sehingga terwujud kemaslahatan umat. Distribusi kekayaan terlaksana dengan baik karena Islam mewajibkan distribusi bagi seluruh rakyat. Berkaitan dengan kebijakan ekonomi dalam pandangan Islam bahwa ekonomi diorientasikan untuk manusia (bukan individu tertentu) dan masyarakat (bukan komunitas tertentu).

SDA yang berlimpah dalam negara di bawah kekuasaan Islam, khilafah, diatur dalam kepemilikan umum, di mana pemanfaatannya untuk bersama-sama. Memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, barang yang merupakan hajat hidup orang banyak/rakyat, jika negara tidak mencukupinya, maka rakyat dapat menuntutnya. 

Kedua, bahan-bahan tambang tidak terbatas, melimpah keberadaannya. Ketiga, barang yang secara alami tidak mungkin didominasi oleh individu tertentu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Kaum Muslim mempunyai kepentingan bersama dalam tiga perkara, yaitu padang, air, dan api. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

Jelas dalam Islam ditegaskan bahwa barang tambang atau SDA yang tidak terbatas jumlahnya, termasuk milik umum. Tidak boleh dimiliki secara pribadi. Maka pengelolaannya harus  dilakukan oleh perangkat negara yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Tidak diserahkan kepada pihak lain, swasta/asing. Karena hasil yang diperoleh dari tambang ini adalah untuk kemaslahatan rakyat. Menjadi salah satu sumber pemasukan tetap negara dari hak milik umum.

Dalam Islam pun ada larangan pemangku kebijakan negara untuk terlibat dalam bisnis. Apalagi yang menyangkut hak kepemilikan umum. Karena keberadaannya harus fokus terhadap urusan negara, tidak boleh terpecah-pecah pemikirannya untuk hal lain. Sehingga tidak akan terjadi kemelut seperti di sistem demokrasi yang membolehkan pejabat negara terlibat dalam bisnis-bisnis yang melibatkan kepemilikan umum di dalamnya. Seperti yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. 

Khalifah Umar dikenal sebagai pemimpin yang sederhana, adil, dan amanah, selalu mengawasi harta yang diperoleh bawahannya. Beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya karena hartanya bertambah, dan diketahui bertambahnya bukan di dapat dari gaji yang telah diberikan oleh negara.

Seperti yang menimpa gubernur di Thaif, Atabah bin Abi Sofyan ra. Dicopot jabatannya dikarenakan bertambahnya harta. Diceritakan pertemuan dengan Khalifah Umar setelah di bebas tugaskan, terlihat Atabah membawa uang sebesar 30 ribu dirham. Atabah menyangkal bahwa uang diperoleh adalah hasil usahanya selama menjabat sebagai gubernur di Thaif. Maka Khalifah Umar menegaskan bahwa harta yang dihasilkan pejabat selama berkuasa, selain gaji yang diberikan oleh negara, tidak ada jalan lain kecuali diserahkan ke baitul maal (lembaga yang menangani harta umat, baik pendapatan maupun pengeluaran negara).

Islam telah menetapkan segala urusan rakyat secara terperinci. Tidak ada aturan ab-abu di dalamnya. Maka sistem Islam satu-satunya yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia. Karena jelas aturannya berasal dari Sang Khalik, Allah SWT.
Melihat fakta yang ada apakah kita akan bertahan dengan sistem buatan manusia yang terbukti tidak mampu mengelola sumber daya yang ada?

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Ageng Kartika S.Farm.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar