Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kisah Hijrah Ibrahim An-Nakha'i


Topswara.com -- Sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, juga oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahdzîb at-Tahdzîb, Ibrahim an-Nakha’i bernama lengkap Abu Imran Ibrahim bin Yazid bin Qais an-Nakha’i al-Kufi. Ia adalah seorang ulama besar dan mulia dari kalangan tâbi’in yang tinggal di Kufah.

Ibrahim an-Nakha’i berguru kepada banyak ulama antara lain: Masyruq, Alqamah bin Qais, Ubaidah as-Salmani, Abu Zur’ah, al-Bajali, Khaitsamah bin Abdurrahman, Rabi’ bin Khutsaim, Abu Sya’tsa’ al-Muharibi, Sahm bin Minjab, Suwaid bin Ghaflah, Qadhi Suraih, Suraih bin Arthah, Abu Ma`mar Abdullah bin Sakhbar, Ubaid bin Nadhalah, Umarah bin Umair, Abu Ubaidah bin Abdullah, Abu Abdurrahman as-Sulami, Abdurrahman bin Yazid, Hammam bin al-Harits dan beberapa guru dari kalangan tâbi’in senior.

Ia pun memiliki banyak murid antara lain: Hakam bin Utaibah, Amru bin Murrah, Hammad bin Abi Sulaiman, Simak bin Harb, Mughirah bin Miqsam, Abu Ma’syar bin Ziyad bin Kulaib, Abu Husain, Utsman bin Ashim, Manshur bin Mu’tamar, Ubaidah bin Muattib, Ibrahim bin Muhajir, Harits al-Uklai, Sulaiman Al-A’masi, Ibn Aun, Atha’ bin Saib, Abdurrahman bin Sya’tsa’, Abdurrahman bin Syubramah, Ali bin Mudrak, Fudhail bin Amru, Washil bin Hayyan, Zubaid al-Yami, Muhammad al-Khalid, Muhammad bin Suqah, Yazid bin Abi Ziyad, dll.

Ibrahim an-Nakha’i adalah ulama yang memiliki kepribadian menakjubkan. Hal ini disandarkan dari beberapa sanjungan para ulama kepada dirinya. Thalhah bin Musharri, misalnya, berkomentar, “Tidak ada seorang pun di Kufah yang lebih aku kagumi daripada Ibrahim dan Khaitsamah.”

Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dan seorang ahli dalam bidang fikih (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 4/520-529).

Terkait itu, Ismail bin Abi Khalid berkata, "Suatu ketika Asy-Sya'bi, Ibrahim an-Nakha'i dan Abu adh-Dhuha berkumpul di sebuah masjid untuk mengkaji hadis. Jika mereka mendapatkan hal-hal yang tidak diketahui, mereka biasa mengarahkan pandangan kepada Ibrahim an-Nakha'i."

Tidak hanya menguasai ilmu, khususnya hadis, Ibrahim juga ulama yang ahli ibadah. Ia dikenal rajin berpuasa Nabi Dawud. Setiap malam, Ibrahim pun biasa khusyuk melaksanakan qiyâmul-layl. Setiap kali hendak shalat malam di masjid, Ibrahim selalu mengenakan pakaian terbaik dan memakai wewangian. Begitu asyiknya qiyâmul-layl, Ibrahim tidak pernah meninggalkan masjid kecuali setelah fajar menjelang.

Semangatnya dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an pun sangat luar biasa. Ia biasa membaca dan men-tadaburi Al-Qur'an hampir setiap waktu.

Ibrahim an-Nakhai juga seorang ulama yang berakhlak mulia. Ada satu kisah menarik yang menunjukkan betapa mulianya akhlak Ibrahim an-Nakha'i.

Sebagaimana diketahui, Ibrahim an-Nakha'i adalah seorang ulama yang buta sebelah matanya. Ia memiliki murid yang penglihatannya juga lemah. Namanya Sulaiman bin Mahran.

Imam Ibnul Jauzi mengisahkan dalam kitabnya, Al-Muntazham, suatu hari keduanya berangkat dari rumahnya masing-masing menyusuri jalanan Kota Kufah untuk mencari sebuah masjid. Saat keduanya bertemu di jalan yang sama, Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Sulaiman, bisakah kamu melewat jalan yang berbeda dengan jalanku? Sebabnya, saya khawatir bila kita melewati jalanan yang sama dan bertemu dengan orang-orang bodoh, mereka akan menggunjingkan kita, "Ada orang buta sebelah menuntun orang yang lemah pandangannya." 

Sulaiman lalu berkata, “Abu Imran, memangnya mengapa dengan Anda jika Anda mendapat pahala, sedangkan mereka mendapat dosa?"

Ibrahim an-Nakha'i menjawab, "Mahasuci Allah. Jika kita selamat dan mereka juga selamat, itu jauh lebih baik daripada kita mendapat pahala (karena digunjingkan) , sedangkan mereka mendapat dosa (karena menggungjing). (Ibn al-Jauzi, Al-Muntazham fî at-Târîkh, 7/15).

Di antara kemuliaan akhlak Ibrahim an-Nakha’i adalah sikap tawadu'-nya. Terkait itu, dikisahkan bahwa pernah ada seorang pemuda yang mendatangi Ibrahim untuk bertanya mengenai sesuatu hal, namun Ibrahim balik bertanya, "Apakah engkau tidak mendapatkan seseorang untuk ditanyai selain diriku?" Padahal beliaulah ulama yang paling alim pada zamannya. 

Demikianlah kemuliaan Ibrahim an-Nakha’i hingga akhir hayatnya. Ketika ajal menjelang, Ibrahim menangis. Para kerabat yang ada di sekitarnya berkata, "Apa yang membuat Anda menangis?" 
Ibrahim menjawab, "Bagaimana aku tidak menangis. Saat ini aku sedang menantikan utusan Allah (malaikat) yang akan memberi kabar; apakah surga ataukah neraka." (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliya', 4/224).

Ibrahim an-Nakhai’ wafat pada usia 50 tahun. Semoga seluruh perilaku dan akhlak beliau bisa kita teladani. Amiin. 

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyyah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar