Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harta Pejabat Meroket di Masa Pandemi: Kepak Syahwat Oligarki Kuasai Negeri


Topswara.com -- Naik-naik harta pejabat naik, tinggi-tinggi sekali. Kiri-kanan kulihat saja, banyak rakyat sengsara. Ironis memang. Di tengah pandemi yang kian tak bertepi, tersiar kabar jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen. Data ini berdasarkan analisis KPK terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) selama setahun terakhir (tirto.id, 13/9/2021).

Dilansir dari data LHKPN, harta kekayaan Jokowi naik sekitar Rp 8,9 miliar dalam setahun terakhir.  Harta Menteri Keuangan Sri Mulyani naik Rp 5,7 miliar. Sementara kekayaan Luhut Binsar Pandjaitan naik Rp 67,7 miliar selama pandemi. Adapun harta kekayaan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas naik Rp 10 miliar (beritasatu.com, 13.9.2021).

Naiknya harta kekayaan pejabat di tengah krisis tak ayal menjadi sorotan publik. Betapa tidak? Sebuah realitas yang bertolak belakang dengan keadaan rakyat secara umum. Berdasar data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.

Kepak syahwat oligarki seakan tak bisa dihindari. Kekayaan pejabat meningkat, sementara rakyat kian sekarat akibat kondisi pandemi. Jika hal ini terus terjadi, salahkah jika rakyat kecewa, memudar kepercayaannya, hingga berpotensi memunculkan pembangkangan sosial terhadap pemerintah? Bak lingkaran setan, inilah ironi yang nyata terjadi dalam penerapan sistem demokrasi kapitalistik. Yang kaya dialah sang penguasa. Dengan kekuasaannya, ia makin kaya. Begitu seterusnya.

Syahwat Oligarki

Kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat, sejatinya bukan hal baru. Dan pandemi memicu kesenjangan ini kian nyata. Kesenjangan ekonomi (juga sosial) merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalistik. Yang wajah penerapannya kian ambigu tersebab penerapannya telah bergeser menuju format oligarki.

Dalam teori Thomas Aquinas, istilah oligarki dapat disimpulkan berupa kekuasaan kelompok kecil. Penguasa oligarki adalah orang-orang yang memiliki harta kekayaan melimpah (Suhelmi, 2001). Ciri-ciri negara penganut sistem pemerintahan oligarki yakni kekuasaan dikendalikan oleh kelompok masyarakat kecil, terjadi kesenjangan material yang cukup ekstrem, uang dan kekuasaan merupakan hal tak terpisahkan, serta kekuasaan dimiliki demi mempertahankan kekayaan.

Setelah oligarki ala Soeharto pergi, kini aromanya justru kian menyengat di Indonesia kontemporer. Serta terus bertransformasi dengan warna politik kapitalistik. Meski rezim sering mengklaim demokrasi sebagai harga mati yang terkesan mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Lantas, mengapa oligarki politik eksis dalam demokrasi? 

Demokrasi memang memberikan jalan lapang pada apa yang disebut kedaulatan rakyat. Membuka jalan lebar bagi aspirasi rakyat. Saat rakyat berdaulat, ia bisa menentukan yang terbaik baginya. Secara teori inilah yang diinginkan dan diangankan oleh pendukung demokrasi. Tetapi secara fakta tidak demikian. 

Sebagaimana secara teoretis kapitalisme juga memberikan kesempatan sama kepada setiap anggota masyarakat, namun kenyataannya bersifat diskriminatif. Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi, atau kekuasaan saja yang mendapatkan kesempatan. Sebagai akibatnya, muncul sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi.

Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, mudah ditebak bahwa kelompok sangat kaya (baca: pengusaha industri  strategis) tak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha meraih kekuasaan demi menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.

Dengan kata lain, demokrasi secara alami akan bertransformasi menjadi oligarki. Yaitu sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat dan untuk konglomerat. “Of the 1%, by the 1%, for the 1%. (Dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen orang).” (Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi)

Selain itu, transformasi ini tak lepas dari watak demokrasi itu sendiri. Meski teorinya yang berdaulat adalah rakyat, tetapi faktanya rakyat hanya dijadikan vote getter (pengumpul suara) dalam pemilu. Setelahnya, peran rakyat hilang karena dia diwakili oleh wakilnya dari partai politik (parpol). Sementara yang berkuasa dalam parpol adalah pemilik dan pengurusnya. 

Pada perkembangannya, parpol didirikan tidak selalu merupakan perwujudan kehendak rakyat. Meski idealnya partai didirikan oleh rakyat karena kesamaan pikiran dan aspirasi politik. Tetapi karena mendirikan partai apalagi sampai pada capaian tertentu tidak murah, maka hanya elit politik berkemampuan finansial raksasa yang sanggup “memiliki” partai. 

Bahkan tak jarang, dalam sistim oligarki politik, partai dikelola seperti perusahaan keluarga. “Wajar” jika saat menjadi wakil rakyat atau penguasa, keputusan lebih mengacu pada kehendaknya sendiri. Bukan pada kehendak rakyat. 

Tepat jika Jefrey Winters menegaskan demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia kian jauh dari cita-cita serta tujuan menyejahterakan masyarakat. Kekayaan hanyalah milik yang berkuasa dan berharta. Bukan bagi jelata yang harusnya menjadi tanggung jawab untuk dipenuhi kebutuhan mendasarnya.

Meniadakan Kesenjangan

Dominasi oligarki tak hanya tak dikehendaki dalam alam demokrasi. Oligarki juga tidak sesuai dengan sistem Islam yang begitu peduli dan memperhatikan urusan masyarakat. Namun bukan berarti, sistem Islam sepakat dengan demokrasi. 

Titik kritis perbedaan keduanya terletak pada siapakah pemilik kedaulatan alias pemegang hak membuat aturan (undang-undang).  Demokrasi mengakui kedaulatan di tangan rakyat. Sementara Islam sepenuhnya menyerahkan kedaulatan di tangan syara’. Meski fenomena semacam oligarki mungkin terjadi dalam sistem Islam, namun tetap dibatasi oleh syariat dan sanksi tegas jika terjadi pengabaian terhadap hak umat maupun kezaliman lainnya. 

Dalam rentang sejarah, selama 1300 tahun penerapan khilafah islamiyah telah menorehkan tinta emas kebaikan. Meski memang di beberapa periode kepemimpinan, terdapat penyimpangan. Namun secara umum, umat Islam merasakan jaminan perlindungan, keamanan dan capaian kesejahteraan yang signifikan. Hal yang sulit dirasakan oleh sebagian besar rakyat yang tinggal di negara "paling demokratis" ini.

Sistem ekonomi Islam merupakan jaminan kesejahteraan masyarakat. Meskipun Islam tidak mengharuskan persamaan kepemilikan kekayaan, namun ia tidak membiarkan kesenjangan kekayaan terjadi. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan primernya secara menyeluruh.

Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah SWT berfirman, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. al-Hasyr: 7)

Secara umum, ada dua mekanisme distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, mekanisme pasar. Yakni mekanisme yang dihasilkan dari proses tukar-menukar oleh para pemilik barang dan jasa.

Terkait mekanisme pasar, Islam melarang tindakan yang mengakibatkan deviasi harga dan merugikan pelaku jual-beli. Misalnya: melarang penimbunan barang, pematokan harga, praktik penipuan harga dan komoditas, dan lain-lain. 

Berbagai hukum Islam tersebut jika dipraktikkan akan menciptakan pasar yang bersih. Kompetisi sehat dan fair akan mewarnai mekanisme pasar. Para produsen dan penjual yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi dan menjual barang berkualitas. Bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya.

Kendati telah tercipta pasar bersih dan fair, tetap saja ada orang-orang yang tidak mampu bersaing dan tersingkir dari mekanisme pasar itu. Hal itu bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun nonfisik, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian, tidak memiliki modal, tertimpa musibah, dan sebagainya. Sehingga mereka tidak memperoleh pendapatan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Terhadap mereka, Islam menciptakan mekanisme kedua, mekanisme nonpasar. Yakni mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa, namun berupa aliran barang dan jasa dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme ini dilakukan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan.

Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat, sedekah, hibah, hadiah, dan wasiat, serta pemberian negara pada individu yang membutuhkan. Dengan dua mekanisme tersebut, penguasa dalam sistem Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer rakyat.

Jika politik ekonomi ini diterapkan, maka problem kesenjangan ekonomi dapat diatasi. Bahkan melalui penerapan hukum Islam secara totalitas, problematika itu dapat diantisipasi sejak awal dan keadilan sosial ekonomi dapat ditegakkan. 

Dengan demikian, sistem ekonomi Islamlah  solusi bagi kesenjangan kekayaan. Bukan sistem demokrasi kapitalistik, pun oligarki. Dan keunggulan ini hanya akan mewujud secara sempurna jika ada khilafah islamiyah yang menerapkannya. Anda ingin sejahtera? Mari memperjuangkan tegaknya. []

Oleh: Puspita Satyawati 
(Analis Politik dan Media)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar