Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wariskan Ghirah pada Mereka


Topswara.com -- Saya masih ingin menulis tentang momen indah 4 November 2016 lalu. Jutaan Islam turun ke jalan membela kesucian Al-Qur'an dari lisan penistanya.

Momen itu bagi saya merupakan kebenaran ilahiyah bahwa Al-Qur'an adalah furqan (pembeda) terhadap umat manusia. Saksikanlah, agenda membela kehormatan Al-Qur'an 4 November lalu telah "membagi" umat Islam sesuai kubu pembelaan mereka, membela Al-Qur'an atau pembela penista Al-Qur'an.

Di tengah gemuruh ghirah umat membela kehormatan wahyu Allah, kita melihat mendengar dan menyaksikan segelintir Muslim yang justru sinis, nyinyir, bahkan menuduh yang bukan-bukan pada perjuangan ikhlas umat. Ada guru besar kampus negeri di Jakarta yang mempertanyakan aksi kemarin, "Apa benar Allah selemah itu sehingga harus dibela?" Ini beneran logika absurd dan tak berpijak dari keimanan titik keabsolutan. Itu menunjukkan takaran asli pemahaman agama sang guru besar.

Ada juga seorang tokoh Muslim pensiunan ketua ormas Islam yang menuduh para ulama yang menggerakkan aksi tersebut sebagai ulama penjilat penguasa dengan fatwa-fatwa murahnya. Waliyyadzu billah!

Di level grass root, ada saja kita dengar ungkapan Muslim yang menyesalkan aksi tersebut, bikin macet, rusuh, tak bermanfaat, sampai menyatakan itu adalah persoalan sepele!

Aneka pandangan yang sinis dan cenderung melecehkan aksi tulus umat, menandakan bahwa kita umat Muslim, punya persoalan dengan ghirah. Kecemburuan dan pembelaan pada agama.

Umat hari ini kebingungan di mana harus meletakkan ghirah. Dan mereka hampir-hampir tak meletakkan ghirah pada agama. Sehingga di saat semestinya mereka marah, justru mereka bungkam malah mencibir mereka yang marah. Bayangkan, untuk marah saja umat harus belajar bagaimana kapan dan pada persoalan apa. Sungguh sebuah musibah besar.

Kebingungan itu telah dimulai dari sejak kaum Muslimin berusia anak-anak hingga mereka dewasa. Banyak anak-anak dan pemuda Muslim yang tak tahu bahwa marah dalam urusan agama yang terlanggar atau ternistakan adalah wajib!

Anak-anak dan remaja kita lebih mudah marah ketika tidak dibelikan gadget atau sepatu baru, ketika tim sepak bola kesayangannya kalah, ketika sekolahnya dilecehkan pelajar lain, atau ketika pacarnya direbut atau di lirik lelaki lain. Marah mereka bisa meledak sejadi-jadinya.

Tapi untuk urusan agama? Generasi muda kita kebingungan.

Bandingkan dengan kisah dua remaja belia Mu'adz bin Amru bin al-Jamuh dan Muawwad bin Affan- semoga Allah meridhai keduanya yang berdiri di batas medan perang Badar, dan salah seorang di antara mereka telah bersumpah pada ibundanya tak akan pulang sebelum membunuh Abu Jahal. Mereka mendengar Abu Jahal adalah sosok yang sering menyakiti orang kecintaan mereka, Rasulullah SAW.

Lalu keduanya pun dipertemukan dengan Abu Jahal untuk kemudian bertarung habis-habisan. Muawwadz bin Affan berperang hingga kehilangan sebelah tangannya. Semua karena alasan membela agama. Bukan kemarahan yang sia-sia apalagi tercela, tapi kemarahan yang berujung kecintaan dari Allah dan Rasulnya.

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulnya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya. Dan dimasukkannya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap limpahan rahmatnya mereka itulah golongan Allah ketahuilah bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (TQS. Mujadilah: 22)


Bersambung...

Ditulis kembali oleh: Munamah

Disadur dari buku: DNA Generasi Pejuang (Bagian Pengantar Penulis), Bogor, Cetakan ke-1, Maret 2017.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar