Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sengkarut GKI Yasmin Buah Standar Ganda Demokrasi?


Topswara.com -- Sengkarut 15 tahun lahan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor memasuki babak baru. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menjelaskan, bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor telah mengeluarkan kebijakan untuk menghibahkan lahan baru, untuk pembangunan rumah ibadah GKI di Cilendek Barat.(detik.com, 8/8/2021).

Sebagaimana diketahui publik, relokasi ini merupakan jawaban atas sengkarut lahan GKI Yasmin, yang berlangsung selama 15 tahun lamanya. Kasus GKI Yasmin awalnya muncul sebab penolakan warga, karena diduga ada pelanggaran hukum dalam proses pembangunan rumah ibadah tersebut.

Penolakan warga ini didasari oleh beberapa alasan kuat, yakni pembangunannya tidak memiliki pendapat tertulis dari pihak Kepala Departemen Agama setempat; tidak memenuhi minimal pengguna sejumlah 40 Kepala Keluarga yang berdomisili di wilayah setempat; dan tidak mendapatkan rekomendasi tertulis dari MUI, Dewan Gereja Indonesia (DGI), Parisada Hindu Dharma, MAWI, Walubi, dan Ulama/Kerohanian,(lead.co, 26/5/2019).

Sejatinya, berhentinya pembangunan GKI Yasmin pada tahun 2008, berasal dari pihaknya sendiri. Keberadaan GKI Yasmin tidak memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB). Bahkan diduga, pihak GKI memanipulasi tanda tangan warga di sekitar, agar pembangunannya berjalan dengan lancar. 

Alasan-alasan tersebut yang menyebabkan warga sekitar mengajukan permohonan agar IMB dibatalkan. Namun, alasan yang dikemukakan warga sekitar yang mayoritas Muslim, tidak dibenarkan oleh pegiat HAM dan aktivis kebebasan beragama. Pegiat HAM dan aktivis kebebasan beragama menganggap bahwa penolakan tersebut merupakan bentuk dari intolerasi mayoritas kepada minoritas.

Inilah bukti bahwa toleransi dalam naungan demokrasi memiliki standar ganda. Tidak konsisten dan berat sebelah. Sekali lagi, demokrasi telah gagal mewujudkan toleransi antara minoritas dan mayoritas untuk saling menghargai. Semestinya, tidak hanya mayoritas yang dituntut untuk mempunyai sikap toleransi, tetapi juga minoritas.

Ironisnya, label intoleran sering sekali dilekatkan kepada umat Islam sebagai mayoritas. Narasi ini terus digiring, seolah-olah mayoritaslah yang  salah, tidak mau mengalah, dan tidak mau menghargai. Namun, apabila menyangkut kepentingan minoritas dengan mudahnya mengucapkan toleransi dan saling menghargai. Alhasil, demokrasi tidak pernah berpihak kepada kepentingan umat Islam. HAM dan toleransi yang digembar-gemborkan hanya utopia belaka jika menyangkut kemaslahatan umat Islam.

Kondisi ini jelas berbeda jika dalam naungan Islam, sebab Islam merupakan agama yang rahmatan lil 'alamin. Islam datang ke bumi tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim saja, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Ini bukan berarti warga nonmuslim harus masuk Islam. Sebab dalam ajaran Islam tidak ada paksaan bagi nonmuslim agar masuk Islam, mereka cukup didakwahi tentang Islam. Jika mereka menolak terkait Islam maka tidak dipaksakan. Namun, nonmuslim diberikan kebebasan melaksanakan ibadahnya sesuai aturannya, dan ketika mereka merayakan hari raya agamanya pun dibolehkan, selama merayakan bukan di tempat umum.

Jadi, dalam Islam toleransi yang diterapkan bukanlah toleransi yang bebas tanpa batas atau toleransi yang mencampuradukkan masalah hak dengan yang batil. Toleransi dalam Islam telah tercantum di dalam surah Al-Baqarah ayat 256 

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya:“Tidak ada paksaan dalam (memasuki)  agama (Islam), sesungguhnya telah jelas  (perbedaan) antara jalan yang benar  dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Inilah potret buram sistem saat ini. Standar ganda demokrasi tidak akan pernah membela kepentingan Islam dan umatnya. Kebebasan HAM dan toleransi hanya utopia belaka. Hanya Islam yang mampu mewujudkan rahmat untuk seluruh manusia dan alam semesta. 
Wallahu a'lam bishshawab

Oleh: Nisaa Qomariyah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar