Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Memutus Ketergantungan pada Pajak, Mungkinkah?


Topswara.com -- Rencana pemerintah untuk menerapkan pajak atas beberapa kebutuhan masyarakat telah memunculkan polemik. Rencana penetapan pajak ini berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menanggapi isu ini pihak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan bahwa penetapan pajak tersebut baru berupa wacana ke depan. Pemerintah saat ini masih memberikan fokus pada pemulihan ekonomi dan penanganan pandemic Covid-19 (cnnindonesia.com,12/6/2021).

Rencana penetapan pajak atas kebutuhan masyarakat dinilai semakin menambah beban ekonomi mereka. Menurut Ketua MPR RI rencana ini akan memunculkan kenaikan harga kebutuhan tersebut, seperti sembako dan sektor pendidikan (antaranews.com,13/6/2021). 

Selain itu ancaman inflasi juga dapat terjadi jika pemerintah tidak segera mengantisipasi dampak kebijakan terkait. Karenanya pemerintah diharapkan dapat mencari sektor alternatif yang dapat menghasilkan pemasukan bagi negara ketimbang menetapkan pajak pada kebutuhan rakyat.

Pembiayaan pembangunan negeri ini seolah mustahil untuk lepas dari pajak. Karena pajak menjadi instrumen penting demi bergeraknya roda pembangunan di tengah masyarakat. Tidak saja pada sektor usaha dan industri, pajak juga mengena pada ranah yang sangat dekat dengan penghidupan masyarakat. Melalui pajak pemerintah berharap dapat memperoleh sumber pemasukan tetap bagi negara. Dari sumber pemasukan ini akan berjalan pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur. Keberadaan pajak tidak terlepas dari kondisi APBN karena proporsi pajak dalam anggaran negara mencapai lebih dari 80 persen (kompas.com,29/12/2018). 

Membahas pajak dalam perspektif ideologi kapitalisme sangat berbeda dengan ideologi Islam. Dalam pandangan kapitalisme pajak merupakan bagian pungutan yang wajib atas rakyat. Bahkan salah satu kutipan mashyur dari seorang Benjamin Franklin menyebut bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak. 

Melalui kutipan ini pula kita dapat menyimpulkan pajak sebagai perkara yang tidak dapat dihindari, bahkan pasti sebagaimana kematian. Akhirnya regulasi yang dijalankan di dalam masyarakat mengarah pada terbukanya akses pungutan berupa pajak. Kondisi semacam ini sangat bertolak belakang dengan bagaimana ideologi Islam mendudukkan pajak.

Di dalam pandangan ideologi Islam pajak bukanlah sumber pendapatan tetap dan pemasukan utama negara. Dalam negara khilafah sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke baitul maal adalah fai’, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang yang murtad. Sumber pendapatan tetap ini dijadikan sebagai sumber pembiayaan utama negara dalam memenuhi kebutuhan umat. Di dalam pos sumber pendapatan tetap ini kita tidak menemukan adanya pos pajak. Ya, sebab pajak atau dharibah masuk ke dalam sumber pendapatan tidak tetap.

Pemberlakuan pajak dalam Islam hanya dilakukan saat kondisi kas baitul maal kosong. Pajak atau dharibah juga hanya dibebankan kepada kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta. Pajak merupakan bagian fardhu kifayah atas kaum Muslim agar pemenuhan kebutuhan umat dan penyelenggaraan kewajiban baitul maal tetap tertunaikan. 

Di antara perkara yang wajib ditunaikan negara dengan kondisi ada ataupun tidak ada kas dalam baitul maal adalah biaya jihad, industri perang, pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibnu sabil, pemberian gaji bagi tentara, dan semua pihak yang bertugas sebagai pegawai negara, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum serta penaggulangan bencana dan yang semisalnya.

Demikianlah cara syariat Islam menyokong pemenuhan kebutuhan rakyat tanpa bergantung hanya pada pajak. Islam mampu menjadikan penyelenggaraan negara berjalan melalui sumber pendapatan tetap dan pemasukan utama negara berdasar ketentuan asy-Syari’.  Melalui pengaturan semacam ini negara dapat fokus mengelola sumber pendapatan dengan pos-pos yang telah ditentukan. Proses berjalannya pembangunan dapat berjalan dinamis dan tidak membebani rakyat melalui pungutan-pungutan seperti pada pengaturan dalam sistem kapitalisme hari ini. Saatnya kita memutus ketergantungan pada pajak dengan berpijak pada pengaturan Islam yang paripurna.
Wallahu a'lam

Oleh: Resti Yuslita
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar