Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Marital Rape Produk Sekuler Pendukung Gender dan Sekularisme


Topswara.com -- RUU KUHP meluaskan definisi pemerkosaan termasuk pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape) di mana suami bisa dipenjara. Merespons hal itu Komnas Perempuan (KP) mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami. Ketua komisioner KP Theresia Iswarini pada hari Senin (14/6) mengatakan bahwa berdasarkan catatan tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan suami terhadap istri mencapai 100 kasus pada 2020. Di tahun 2019 mencapai 192 kasus. Laporan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran istri akan pemerkosaan di dalam rumah tangga. (Detiknews, 15/6/2021)

Aturan marital rape masih terdengar asing di telinga masyarakat. Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin berpendapat, marital rape itu ada dalam kehidupan rumah tangga. Tetapi sebagian kalangan menganggap tidak ada pemerkosaan dalam rumah tangga. Selama ini dianggap ada dan tiada. Ketidakpahaman masyarakat tentang konsep marital rape terjadi karena dipengaruhi oleh kultur dan hukum perkawinan di Indonesia. (CNBCIndonesia, 18/6/2021)

Menelusuri isi yang tercantum dalam perluasan RUU KUHP yang menyangkut PKDRT dengan istilah marital rape sengaja digaungkan secara kontinu. Hal ini mewakili para aktivis gender dan pemuja sekuler untuk melegalisasikan tujuan mereka dalam mengeliminasi aturan Islam, yaitu menyerang hukum-hukum Islam tentang hak dan kewajiban suami istri. Serta melemahkan lembaga perkawinan Islam. 

Kalangan sekuler dan gender berusaha meyakinkan publik tentang bahaya yang ditimbulkan dari pemaksaan dalam berhubungan intim. Menjadikannya sebagai KDRT yang harus ditindak dengan tegas dan jelas aturannya. Karena banyak kasus terjadi, istri babak belur atau kesakitan, dan mendapat penularan penyakit seksual akibat pemaksaan yang dilakukan suami. Maka delik pemerkosaan menjadi tameng untuk memenjarakan perlakuan buruk seorang suami terhadap istrinya dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya tersebut. 

Adakah Pemerkosaan dalam Rumah Tangga?

Pemerkosaan merupakan tindakan pemaksaan seseorang baik dengan ancaman kekerasan ataupun tindakan  kekerasan. Maka pemaksaan suami terhadap istri terkategori pemerkosaan. Demikian dalih yang dikemukakan. Tanpa melihat kembali konteks hubungan suami istri dan hak/kewajiban yang dibebankan kepada suami istri.

Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hal ini akan menyebabkan hukuman bagi pelakunya berupa had yang telah ditetapkan aturannya dalam perbuatan berzina. Zina dibebankan kepada orang yang tidak terikat pada lembaga perkawinan. Atau pada orang-orang yang berhubungan intim bukan dengan pasangan sahnya dalam pernikahan. Perbedaan istilah ini menyiratkan bahwa tidak ada pemerkosaan dalam kehidupan berumah tangga.

Pada faktanya, di dalam rumah tangga antara suami istri adalah mahram.  Suami terikat akad nikah dengan istri. Maka adanya tindakan memaksa dalam berhubungan badan bukanlah tindakan zina. Tetapi bentuk hak suami dan kewajiban istri dalam berhubungan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Jelas pemerkosaan bukanlah istilah yang bisa diterapkan dalam kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Solusi hukum yang ditetapkan bagi pelaku zina dan pelaku tindakan kekerasan jelas berbeda. Rencana penetapan hukuman pidana bagi pelaku marital rape akan menimbulkan kerugian bagi keluarga. Karena penyokong dan penanggung jawab kebutuhan yang harus difungsikan oleh suami, hilang dengan mendekamnya suami di dalam penjara selama 12 tahun. Otomatis istri berjuang seorang diri untuk keluarganya. 

Sekularisme-liberalisme menyebabkan KDRT berkembang. Hal ini karena Minimnya ilmu dan pemahaman suami istri dalam menjalankan biduk rumah tangga. Menikah bukan hanya memuaskan hasrat seksual saja tetapi tentang banyak hal yang menyangkut kehidupan berumah tangga yang kompleks. Menjalin komunikasi aktif suami istri akan mempermudah menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Sayangnya pada saat ini, menikah tidak diiringi dengan ketaatan pada Sang Khalik. Rumah tangga hanya dibekali dengan pemenuhan kebutuhan materi dan keinginan duniawi saja. 

Kekerasan dalam rumah tangga ini terjadi karena landasan rumah tangga dan negara tidak berdasarkan Islam. Sehingga solusinya bukan dengan menghapus hukum-hukum Islam tapi justru dengan menjadikan Islam sebagai landasan berkeluarga dan bernegara. Umat harus sadar dan waspada terhadap agenda-agenda kaum gender/feminis dan kalangan sekuler yang selalu berusaha menghapus sisa-sisa hukum Islam dengan dalih pembelaan terhadap hak-hak perempuan melalui jalur legalisasi.

Naungan Islam bagi Kehidupan Suami Istri 

Islam memiliki aturan yang menyeluruh terkait hubungan dalam kehidupan suami istri. Seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang makruf. Begitupun sebaliknya. Islam berperan dalam keharmonisan keluarga. Dalam kitab Sistem Pergaulan dalam Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang istri adalah sahabat (shahibah) suami. Pergaulan di antara keduanya dalam konteks persahabatan yang dapat memberikan kedamaian satu sama lain.

 Allah SWT berfirman yang artinya:
"Dialah yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, lalu dari jiwa itu Dia menciptakan istrinya agar dia merasa tenteram (senang) kepadanya.” (TQS al-A'raf [7]: 189)
Pernikahan menjadikan suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya, begitu pun sebaliknya. Dalam konteks ini, syariat Islam telah menjelaskan hak suami terhadap istri dan hak istri terhadap suaminya.
وَ لَهُنَّ مِثلُ الِّذِي عَلِيْهِنَّ بِا لْمَعرُوفَ                                               
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS al-Baqarah [2]: 228)

Jika suami istri berkomitmen menjalin pergaulan dan persahabatan maka akan menciptakan ketenteraman dalam jiwa dan kedamaian dalam hidup. Pergaulan suami terhadap istri seyogyanya lebih dari sekadar kewajiban, yakni memenuhi hak istri berupa mahar dan nafkah. Tetapi berlemah lembut, tidak bertingkah keji dan kasar terhadap istrinya.

Ibn ‘Abbas juga bertutur:
Artinya: “Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka."

Allah SWT telah menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyàdah al-bayt) berada di tangan suami, dan menjadikan suami sebagai qawwâm (pihak yang bertanggung jawab) atas istrinya. 
وَ لَهُنَّ مِثلُ الِّذِي عَلِيْهِنَّ بِا لْمَعرُوفَ وَ لِلرَّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةَ                                              
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, kaum pria (para suami) sederajat lebih tinggi atas mereka.” (QS al-Baqarah [2]: 228)

Seorang istri diperintahkan untuk memberikan ketaatan kepada suaminya. Abu Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Jika seorang istri menolak ajakan suaminya untuk menuju ke tempat tidur, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali (bersedia).” (Muttafaq'alaih dari jalur Abu Hurairah)

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda sebagai berikut:
Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa, sementara suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izinnya. Tidak halal pula baginya memberikan izin masuk (kepada orang lain) di rumahnya, kecuali dengan izin suaminya. Sesungguhnya harta yang dibelanjakannya tanpa seijin suaminya harus ia kembalikan kepadanya separuhnya.”

Ketaatan ini disertai dengan pengetahuan dari istri bahwa suaminya memiliki hak lebih tinggi dibandingkan haknya terhadap kedua orang tuanya. Hak suami setelah hak istri terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW. Suami diberi wewenang untuk memberikan pelajaran terhadap istrinya jika ia melakukan perbuatan dosa, dengan memisahkan tempat tidurnya, dan memberi pukulan yang tidak membahayakan. Akan tetapi ketika istri menaati suami, tidak diperbolehkan suami mencari jalan untuk menyusahkan istri. Hal ini disebabkan suami sebagai qawwâm, yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengurusan rumah tangganya.

Tetapi bukan dalam hal kekuasaan dan hak memerintah di dalam rumah tangga. Sehingga istri berhak menjawab ucapan suami, berdiskusi, dan membahas apa saja yang dikatakan suami. Karena suami istri adalah dua orang sahabat. Sebagaimana Rasulullah SAW di dalam rumahnya. Beliau seorang sahabat karib bagi istri-istrinya, walaupun beliau adalah kepala negara sekaligus seorang nabi.

Jelas tergambar, penerapan Islam dalam rumah tangga dan negara dipastikan akan mencegah segala bentuk kekerasan baik di dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Disebabkan semua interaksi berdasarkan hukum syara. Ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW menjadikan kehidupan rumah tangga ada dalam kedamaian. Dalam keluarga akan tegak mu'asyarah bil makruf, dengan jaminan sistem yang mengokohkan oleh negara. Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Ageng Kartika S.Farm
(Pemerhati Sosial)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar