Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketika Isoman Selalu Menjadi Pilihan, Tepatkah?


Topswara.com -- Kondisi pandemi masih berkecamuk. Menurut data Worldometers per data Jumat, 23 Juli 2021 pagi, secara global, terdapat 193.429.183 orang telah terinfeksi sejak pertama kali ditemukan pada Desember 2019 lalu. Total kematian sebanyak 4.151.729 dan sembuh 175.741.160. Dalam data tersebut, ada 5 negara dengan kasus total terbanyak yaitu Amerika Serikat dengan jumlah kasus Covid-19 sebanyak 35.213.594, disusul India (31.91.704), Brasil (19.524.092), Rusia (6.054.711), dan Prancis (5.933.510). Posisi Indonesia menurut data Jumat (23/7) turun peringkat ketiga di dunia untuk penambahan kasus baru perhari (pikiran rakyat, 23/7/2021). 

Melansir data Satgas Covid-19, hingga Jumat (23/7) ada tambahan 49.071 kasus baru yang terinfeksi corona di Indonesia. Sehingga total menjadi 3.082.410 kasus positif Corona (Kontan.co.id, 23/7/2021).

Kasus Covid-19 yang kembali meningkat ini tiada terlepas dari adanya varian baru yaitu Delta yang kabarnya memiliki rentang penularan lebih cepat. Jarak penularan tanpa masker kabarnya hitungan detik. Maka wajar gelombang kedua Covid-19 ini data penambahan korban lebih cepat. 

Disusul dengan kolapsnya rumah sakit dan nakes terkait persediaan ruang dan fasilitas kesehatan seperti obat dan oksigen. Otomatis hal ini menimbulkan kepanikan publik di tengah deraan penambahan korban dan beratnya gejala penderita yang di ada di lapangan. Akhirnya kita di suguhi berbagai berita kematian penderita Covid-19 maupun non Covid-19 yang tidak tertampung di rumah sakit. Sungguh menyesakkan.

Menghadapi kondisi sedemikian dan penyebaran Covid-19 yang sudah tidak memiliki pola ini banyak masyarakat yang memilih isoman. Apakah hal itu satu-satunya alasan? Jika di petakan dalam masyarakat ketika menjalani isoman ada dua klasifikasi: menjalani isoman dengan pemahaman yg berarti ada pengecekan dan pendampingan nakes setelah hasil di dapat. Atau memilih isoman karena adanya ketidakpercayaan terhadap kebijakan penguasa saat ini. 

Alasan kedua ini bisa terjadi karena adanya kabar hoaks yang sudah di terima masyarakat dan menjadi sesuatu yang dipercaya. Maka bisa jadi masyarakat terkena gejala ringan atau gejala mengarah Covid-19 tapi takut di covidkan jadi tidak mau di periksa lebih lanjut. Akhirnya proses kesehatan tidak ada yang dijalani. Terjadilah isoman tanpa pengawasan dan pendampingan.

Padahal program 3T (Tracing, Test, dan Treatment) ini tugas pemerintah yang harus di jalankan nakes untuk menopang skala dan cakupan wilayah sebaran. Tapi jika tidak ada kesadaran,  kemauan dan keterusterangan dari masyarakat bagaimana hal ini bisa berjalan? Maka bisakah isoman selalu dilakukan? Ataukah ini wujud pelarian masyarakat dari ketidakpercayaan proses penanggulangan pandemi?? 

Isoman sebagai alternatif pilihan masyarakat saat ini sebenarnya tidak salah asalkan ditopang dengan pemahaman dan adanya pengawasan nakes. Bahkan untuk yang hanya bergejala ringan ketika deteksi swab atau PCR antigen positif nakes akan menganjurkan untuk isoman. Hal ini tentu saja bertujuan mengurangi beban dan antrian rumah sakit. Tanpa deteksi pun adakalanya masyarakat melakukan isoman ketika mengalami parosmia (hilang penciuman) atau anosmia (hilang perasa). Bahkan untuk masyarakat yang memahami kondisi tidak fit seperti demam, batuk dan pilek bisa juga menjadi alasan isoman. Demi kehati-hatian dan penjagaan kondisi hal ini bagus juga di lakukan. 

Masalahnya saat isoman apa saja yang boleh dan tidak dilakukan, lalu obat dan supplemen yang harus dikonsumsi ini tidak bisa sembarangan. Aneka ragam kondisi dan situasi pengetahuan masyarakat terkait isoman menjadikan aktivitas yang tidak tepat seperti isoman tapi masih masuk kerja atau keliling komplek dengan alasan bosan di rumah. Berbagai masalah inilah yang membutuhkan pengurusan negara.

Jika hanya satu, dua atau tiga orang bisalah ini di anggap masalah individu. Tapi bahkan sekarang banyak menjadi fenomena. Apalagi jika alasannya adalah faktor ekonomi. Isoman tapi tidak ada stok bahan makanan dan obat yang dikonsumsi sama dengan bunuh diri. Juga adanya gejala yang menjadikan orang yang isoman harus mencari pertolongan medis. Ini juga butuh sosialisasi dan edukasi yang benar dari negara. 

Ketika sudah sistemik maka tugas untuk menyelesaikan masalah ini ada pada negara. Maka penting adanya pemastian langkah dan tahap yang dilakukan lalu di singkronkan dengan kebutuhan rakyat oleh negara.

Bagaimana dengan adanya krisis kepercayaan yang ada di masyarakat ketika memilih isoman? Maka ini menjadi PR negara untuk di selesaikan. Karena pandemi Covid-19 membawa akibat ikutan yang timbul dan itu bisa jadi tidak masuk kesehatan seperti politik dan ekonomi.

Atau juga masih berkaitan seperti kebijakan vaksin yang saat ini kurang di topang adanya kesadaran bahkan muncul ketakutan. Ini tidak bisa dituntaskan dengan ancaman pidana dan denda serta menjadi syarat berbagai kondisi yg membutuhkan administrasi negara. Pemaksaan sistem justru menjadi bumerang ketika ada efek samping vaksin setelah di suntikkan. Ada juga efek yang muncul setelah deteksi dan pengobatan penyakit. Ketika ketakutan dan keraguan masyarakat terjawab maka mengajaknya bersinergi melawan Covid-19 bukan lagi masalah besar.

Pertanyaanya apakah penguasa rezim ini mau melakukan ataukah tidak edukasi dan sosialisasi serta pendampingan pada masyarakat ? Rekam jejak penguasa rezim ini membebek pada kapitalisme yang membuat mereka tidak mau bersungguh-sungguh berjuang meraih hati rakyat. Program formalitas yang sudah berjalan membuktikan ketidakseriusan dan kegagalan demi kegagalan untuk menanggulangi Covid-19. 

Ketidakpercayaan rakyat yang terjadi hari ini juga buah keabaian penguasa pada sektor informasi yang benar. Sikap denial, menyalahkan rakyat atas penyebaran Covid-19 alih-alih membuat mereka sadar bahwa kebijakan TKA dan membebek asing ini salah. Justru negara adidaya sekaliber AS juga tidak mampu menahan pandemi Covid-19, lalu kenapa negara ini harus mengikutinya?

Sungguh solusi apapun yang dilakukan rakyat seperti isoman ini hanyalah sementara. Karenanya negara ini pun butuh solusi mendasar agar lepas dari segala jeratan kapitalisme. Hal itu  hanyalah dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah.
Wallahu a'lam

Oleh : Retno Asri Titisari., S.Si., Apt.
(Aktivis Dakwah, Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar