Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wabah Makin Betah, Solusi Harus Diubah


Topswara.com -- Wabah Covid-19 rupanya masih betah menjelajahi dunia. Bahkan variannya pun terus bertambah. Terakhir varian B1617 ditemukan di India. Varian yang membuat India juga dunia heboh ini, masuk ke Indonesia sekitar sebulan yang lalu, yaitu pada bulan April.

Awalnya hanya 10 orang yang terinfeksi, namun kini setelah sebulan, kasus positif akibat varian baru tersebut semakin bertambah. Teranyar, sebanyak 13 anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Filipina yang melakukan bongkar muatan di Cilacap, Jawa Tengah, dinyatakan terpapar varian Covid asal India itu. (CNN Indonesia, 22/5/2021)

Sifat Kapitalis Pemicu Solusi yang Ambigu

Tentu kita masih ingat, statement sejumlah pejabat di awal kemunculan virus Covid-19 di Wuhan, Cina. Ada yang mengatakan Indonesia merupakan negara yang bebas Covid-19. Pernyataan tentang kebalnya orang Indonesia terhadap Covid-19 karena sering makan nasi kucing. Juga pernyataan-pernyataan nyeleneh lainnya. Entah sifat yang terlalu optimis atau memang dari awal pemerintah sudah tidak peduli (masa bodo) dengan wabah ini. Benar-benar, "tong kosong nyaring bunyinya".

Namun saat hari itu tiba, ketika Covid-19 masuk ke Indonesia, pemerintah justru menunjukkan kegelisahan dan kepanikan. Beberapa masyarakat yang termakan oleh statement-statement tadi akhirnya juga ikut panik. Panik dan bingung, seperti tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Kebingungan terkait lockdown atau tidak. Penanganan akan diserahkan pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Bahkan diketahui pejabat terkait ternyata tidak pandai berkomunikasi dengan publik, sampai akhirnya menunjuk jubir khusus.

Ternyata drama ambigu mencari solusi tepat penanganan Covid-19 tiak berhenti sampai disitu. Selanjutnya pemerintah membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang kemudian akhirnya diganti dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Juga reshuffle Menteri Kesehatan yang dilakukan Presiden Jokowi, dari Terawan Agus Putranto akhirnya diganti oleh Budi Gunadi Sadikin. Apakah reshuffle tersebut membuat angka positifnya menurun? Tentu tidak.

Pada tanggal 10 April 2020, PSBB di Jakarta mulai diberlakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Di tanggal 5 Juni 2020, diberlakukan PSBB transisi. Aktivitas ekonomi mulai diizinkan berjalan secara terbatas dan bertahap. Mudik lebaran 2020 dan 2021 dilarang oleh Presiden Joko Widodo. Namun transportasi, pilkada, masuknya TKA, mall, pasar, konser amal, dan pariwisata tidak dilarang. Kemudian PSBB yang diganti dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang akhirnya berubah lagi dengan nama PPKM berskala mikro. Juga pernyataan yang tersohor yaitu berdamai dengan Covid-19.

Jelas terlihat bahwa yang dipikirkannya adalah cara untuk memulihkan ekonomi. Kebijakan terus diubah-ubah agar roda perekonomian tetap bisa berjalan. Itulah watak asli sistem kapitalisme. Dimana ada maslahat dan keuntungan, disitulah muncul peraturan yang menyatakan keberpihakan. Para pengusaha lebih berkuasa dari penguasa itu sendiri. Kebijakan penguasa disetir oleh pengusaha yang ingin mencari keuntungan walau akhirnya nyawa rakyat yang dikorbankan.

Lengserkan Kapitalis Sekuler

Keruwetan mengatasi wabah Covid-19 tidak hanya dialami oleh Indonesia. Seluruh dunia merasakannya. Anehnya, negara-negara adidaya seperti Amerika tidak mampu mengatasinya. Justru yang ada malah kebalikannya. Setelah menyatakan diri pada dunia sebagai negara yang berkomitmen mendukung kepemimpinan global yang tak tertandingi dalam penanganan Covid-19, justru disaat yang bersamaan Amerika menjadi pusat persoalan Covid-19.

Dengan adanya pandemi ini telah membuka mata kita semua bahwa sistem kapitalis sekuler telah menelanjangi dirinya sendiri. Sistem ini terbukti tidak mampu menyelesaikan pandemi. Ruh yang selalu dipegang oleh sistem ini adalah keuntungan materi. Materi lebih penting dibandingkan dengan nyawa rakyat. Tidak heran, jika sakit atau bahkan sekarat, administrasi tetap harus dijalankan dalam sistem kesehatannya. Kalau pun gratis, prosesnya lama dan ribet.

Kebijakan lockdown tidak akan diambil oleh sistem kapitalis sekuler karena akan merugikan sektor perekonomian. Ketika lockdown tidak diberlakukan, sektor ekonomi tetap saja tidak mengalami pertumbuhan dan kemajuan. Perlu digarisbawahi bahwa sektor ekonomi, kesehatan, dan semua sektor yang diatur dalam sistem kapitalis sekuler telah menunjukkan kerusakan dari sebelum adanya pandemi. Yakni sejak diterapkannya sistem kapitalis ini. Namun kerusakannya amat jelas terlihat ketika adanya pandemi. Bagaimana negara-negara di dunia dibuat kocar-kacir menghadapinya. Inilah fakta dari sistem buatan manusia yang akalnya terbatas.

Solusi Harus Diubah

Lockdown merupakan satu-satunya solusi untuk mengakhiri pandemi. Solusi ini terbukti ampuh karena diberikan langsung oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya, "jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)

Namun seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya, lockdown tidak akan pernah diterapkan oleh sistem kapitalis sekuler. Untuk itu, perlu sistem lain yang menerapkannya, yaitu sistem Islam yang dikenal dengan istilah khilafah. Lalu, jika khilafah memberlakukan lockdown, bagaimana dengan sektor ekonominya?

Sistem perekonomian dalam negara khilafah sangat jauh berbeda dengan kapitalis sekuler. Jika dalam sistem kapitalis sekuler, ekonomi ditopang oleh pajak, riba, dan investasi asing. Maka, lain halnya dengan khilafah. Ekonomi dalam khilafah murni dihasilkan dari produksi dalam negeri.

Khilafah menjadikan industri, pertanian, perdagangan, dan jasa sebagai penopang ekonomi. Pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber devisa negara, melainkan sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan kebahagiaan rakyat. Sehingga jika sektor ini mengalami penurunan akibat dihantam pandemi, tidak masalah bagi perekonomian negara.

Dalam khilafah juga tidak akan ada praktik riba. Karena riba jelas diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman-Nya, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya" (TQS Al Baqarah [2] : 275).

Sedangkan soal pajak, dalam khilafah, itu adalah opsi terakhir. Ketika kas negara (baitul mal) kosong, maka disitulah baru akan diberlakukan pajak. Itupun ketika dilakukan penataan terkait pengeluaran yang urgen dan belum urgen dilakukan. Sebelum diberlakukan pajak, negara akan mendorong rakyat yang kelebihan harta terlebih dahulu untuk membantunya.

Karena rakyat dalam negara khilafah dibangun dengan keimanan yang kuat, yang pasti memiliki kemauan untuk membantu sesamanya apalagi negara yang selama ini telah mengurusinya. Perlu digarisbawahi juga bahwa pajak dalam khilafah hanya akan diambil kepada laki-laki muslim yang kaya saja. 

Maka ketika terjadi pandemi seperti saat ini, khilafah akan mengunci (lockdown) semua wilayah zona merah dan membuka atau membiarkan rakyat yang berada di zona hijau untuk melakukan aktivitas seperti biasanya guna menopang perekonomian negara.

Sungguh, tidak ada yang bisa kita harapkan dari kapitalis sekuler. Untuk itu, jika kita ingin pandemi ini berakhir, solusi yang harus diubah adalah mengubah sistem yang diberlakukan sekarang (kapitalis sekuler) menuju sistem Ilahi yakni khilafah.
Wallahu a'lam.


Oleh: Zidniy Ilma
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar