Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negeri Bertabur Pajak: Inikah Gejala Premanisme ala Penguasa Kapitalistik?


Topswara.com -- "Kebijakan tidak adil dan tidak manusiawi. Langkah blunder yang kejam dan tidak berperasaan. Di mana moral pemerintah? Tarik dan revisi! Seharusnya pemerintah berpijak pada filosofi kemaslahatan rakyat. Agar lebih berpikir strategis dan kreatif." 

Demikian beberapa kritikan terhadap  rencana pemerintah menarik pajak berbagai barang dan jasa, khususnya sembako dan sekolah. Kecaman datang dari berbagai kalangan: emak-emak, petani tebu, buruh, pendidik, pengusaha, ormas, LSM, hingga legislator. 

Rencana ini mengemuka diduga akibat bocornya draft revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan  (KUP) sebelum dibahas bersama DPR. Dalam draft UU itu, Pasal 7 Ayat 1 mengatur kenaikan tarif PPN, dari 10% menjadi 12%. Adapun dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok dihapus dari daftar barang tak kena PPN, alias sembako bakal kena PPN. Pun dalam Pasal 4A Ayat 3, jasa pendidikan (sekolah) dihapus dari jasa yang tidak dikenakan PPN. Artinya, jasa pendidikan akan dikenai pajak (finance.detik.com, 11/6/2021).

Buru-buru merespons kritikan berbagai kalangan, Kementerian Keuangan melalui Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menegaskan, pemerintah tidak akan menarik PPN untuk sembako dan sekolah tahun ini karena fokus memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 (kompas.com, 11/6/2021).

Tentu masyarakat masih menanti, apakah rencana penarikan pajak sembako dan sekolah ini betul-betul ditunda atau bahkan dibatalkan. Akankah menjadi sekadar narasi penenang di tengah kegalauan masyarakat, atau justru bentuk pencitraan bak pahlawan kesiangan?

Gejala Premanisme Kapitalistik

Penegasan bahwa pemerintah tidak akan menarik pajak sembako dan sekolah tahun ini, terdengar bak angin segar. Namun, bisa jadi kesegaran sesaat. Kemungkinan hanya ditunda dan ditarik di lain waktu yang lebih memungkinkan. 

Andai sembako dan sekolah tak jadi ditarik pajak pun, masih ada rencana menaikkan PPN dan mengenakan pajak pada berbagai barang lainnya. Jika rencana tersebut juga batal, toh rakyat telah dikenai aneka pajak selama ini. 

Jadi, baik penundaan maupun pembatalan pajak sembako dan sekolah, sejatinya tak akan menghapus beban rakyat membayar pajak. Rakyat masih akan terus membayar berbagai macam pajak, meski merasa berat dan tak rela.  

Upaya pemerintah menggenjot sektor pajak karena ia merupakan sumber pendapatan utama negara ini. Selama ini, sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak terbagi dalam tujuh sektor, yaitu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk dan cukai.

Penerapan pajak di berbagai barang dan jasa tentu membebani perekonomian. Salah satunya, menyebabkan harga-harga naik. Pun, menjadikan pajak sebagai sumber utama devisa negara, akan berdampak besar bila negara mengalami krisis ekonomi. 

Kondisi dilematis akan terjadi. Menaikkan pajak akan membebani rakyat tapi menutupi defisit anggaran negara. Pun sebaliknya. Maka, langkah logis yang kemudian diambil adalah berutang. Selain itu, mengurangi/menghapus subsidi, mengurangi anggaran untuk rakyat, dan privatisasi BUMN demi liberalisasi ekonomi. 

Ironis. Negeri gemah ripah loh jinawi, sebutan bagi Indonesia yang kaya sumber daya alam (SDA) ini, ternyata tak berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Kekayaan alam yang hakikatnya menjadi kepemilikan umum (masyarakat), diprivatisasi sesuai kehendak kelindan penguasa dan para kapital. Jadilah, rakyat sebagai pemilik SDA hakiki hanya bisa gigit jari menyaksikan para cukong menari di atas lubang bekas galian batubara yang tetap menganga, banjir bandang, retakan jalan, dan petaka lainnya. 

Dan saat negara kehilangan pendapatan, pajak diberlakukan. Ketika utang negara banyak, rakyat jugalah yang harus melunasinya dengan membayar aneka pajak. Lantas, salahkah jika rakyat merasa dipalak? Alias merasa diganggu, diperas, atau diminta paksa? 

Pajak merupakan konsekuensi logis penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan individu (private proverty) dan pemilikan negara (state proverty). Bukan hal aneh bila badan usaha atau sumber-sumber kekayaan milik negara bebas diperjualbelikan dan dimiliki individu bermodal besar.

"Wajar" jika kekayaan alam seperti barang tambang dan infrastruktur strategis (jalan tol, bandara, pelabuhan, dan lain-lain) boleh dikuasai oleh segelintir pengusaha. Negara hanya mendapatkan tetesan kekayaan alam tersebut dari pajak atau bagi hasil yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan sang cukong.

Patut diduga, inilah gejala premanisme ala penguasa kapitalistik. Dalam sistem kapitalisme sekularistik, penguasa bukanlah pelayan rakyat. Ruh melayani hanyalah demi para kapital, kaum pemilik modal. Tersebab inilyang akan menjaga pundi-pundi keuntungan mereka. 

Maka, perselingkuhan penguasa-pengusaha adalah keniscayaan. Sementara rakyat tetaplah warga kelas dua, bahkan kerap jadi korban. Tak berwenang memiliki apa yang menjadi haknya seperti SDA, justru mesti membelinya dengan harga tak murah. Harta milik sendiri, beli sendiri, pun mesti membayar pajaknya. Lantas, di mana keadilan dan kesejahteraan berada?

Negeri Tanpa Pajak, Mungkinkah?

Pajak dinilai sebagian kalangan tak ubahnya seperti palak. Bersifat memaksa dan memeras. Rela atau tak rela, harus membayarnya. Andai telat pun, terkena denda. Berdalih untuk biaya pembangunan, namun faktanya dana pajak banyak dikorupsi. Rakyat didoktrin dengan slogan "Orang bijak taat pajak," namun yang terjadi,  penguasa tak bijak memaksa rakyat bayar pajak. 

Lantas, adakah cara agar sebuah negeri terbebas membebani rakyat dengan pajak? Terlebih dalam Islam, pajak haram secara syar'i, berdasarkan hadis Rasulullah SAW,

Ù„َا ÙŠَدْØ®ُÙ„ُ الْجَÙ†َّØ©َ صَاحِبُ Ù…َÙƒْسٍ

"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak."

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (2937), Imam Ahmad (4/143, 17426), Ad Darimi (1666), Ibnu Khuzaimah (2333). 

Sedangkan Al Hakim meriwayatkan dengan matan (redaksi),

لا يدخل صاحب مكس الجنة

"Tidak akan masuk pemungut pajak (kedalam) surga."

Dalam Islam, pajak yang dipungut sebagaimana terjadi saat ini, haram secara syar'i. Sebab,  pungutan tersebut tidak memiliki dasar legitimasi baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Adapun dharibah, memang pungutan sejenis pajak yang dapat diambil dalam negara khilafah, dengan syarat:

Pertama, pajak diambil karena adanya kekosongan kas negara di Baitul Mal. Sehingga, jika kas Baitul Mal sebagai sumber APBN khilafah ada anggaran, maka haram bagi khalifah mengambil pajak.

Kedua, pajak diambil karena adanya kebutuhan syar'i yang dapat dijadikan sandaran legitimasi untuk memungut pajak, seperti untuk memberi makan fakir miskin, menangani bencana, dan membayar gaji pegawai negeri. Haram memungut pajak untuk proyek infrastruktur, membangun pabrik, bandara, dll.

Ketiga, pajak diambil untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat insidentil bukan kebutuhan tetap. Artinya, jika di Baitul Mal telah ada anggaran yang masuk dari pemasukan selain pajak, atau masalah fakir miskin telah tertanggulangi, maka pengambilan pajak dihentikan.

Keempat, pajak hanya diwajibkan kepada warga negara khilafah yang beragama Islam. Ahludz dzimmah tidak dikenakan pajak, kecuali jizyah yang ditetapkan setahun sekali.

Kelima, pajak hanya dikenakan kepada agniya' (orang kaya), orang miskin atau yang hanya punya harta untuk mencukupi kebutuhan primernya, tak boleh ditarik pajak.

Demikianlah realitas pajak dalam Islam yang berbeda dengan pajak dalam sistem sekuler. Dalam sistem sekuler, pajak diambil dari seluruh rakyat, kaya atau miskin, Islam atau non-Islam, bersifat permanen (bukan insidental), karena menjadi sumber pemasukan utama bagi APBN.

Adapun dalam sistem khilafah, sumber pemasukan kas negara khilafah terdiri dari:

Pertama, bagian fai' dan kharaj. Terdiri dari: bidang ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai', dharibah.

Kedua, bagian kepemilikan umum. Terdiri dari: bidang minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan air mata air, hutan dan padang rumput gembalaan, tempat khusus (yang dipagari negara dan dikuasai negara).

Ketiga, bagian shadaqah. Terdiri dari: bidang zakat mal dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat unta, sapi dan kambing.

Tiga sumber utama penerimaan negara khilafah di atas sangat mencukupi untuk membiayai pemerintahan dan melaksanakan kewajiban negara melayani dan memenuhi hajat rakyat. Sehingga, tak lagi diperlukan penarikan pajak, apalagi sampai mengenakan pajak atas sembako dan sekolah sebagai kebutuhan pokok rakyat. 

Dari bagian kepemilikan umum saja, seluruh tambang dan kekayaan alam yang disediakan Allah SWT, jika semua dikelola oleh negara (swasta dan asing tak boleh memiliki), maka hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negara. 

Dengan demikian, jika mendamba keadilan dan kesejahteraan, terhindar dari pajak dan pungutan menyengsarakan, maka syaratnya adalah kembali pada aturan Allah SWT yang hanya bisa diterapkan total dalam sistem khilafah islamiyah. Jadi, mungkinkah sebuah negeri tanpa ada pajak? Mungkin, dalam sistem khilafah islamiyah. Saya merindu hadirnya dan tengah turut memperjuangkan tegaknya. Anda? []


Oleh: Puspita Satyawati
(Analis Politik dan Media)

Pustaka:

Khilafah, Negara Islam yang Mengelola Pemerintahan Tanpa Pajak, Ahmad Khozinudin
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar