Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengkritisi Produk Impor Banjiri Toko Online dan Potensi Mengancam UMKM


Topswara.com -- Mau tidak mau, memasuki revolusi industri 4.0, pelaku usaha harus beradaptasi dengan berkembangnya ekonomi digital. Platform lokapasar (marketplace) yang menyandang gelar unicorn mulai digandrungi pelaku usaha. Tak hanya itu, unicorn juga difasilitasi dengan transaksi lintas batas negara melalui dagang-el (e-commerce).

Kekhawatiran Produsen Lokal

Dagang el (e-commerce) telah menimbulkan kekhawatiran dan menjadi tantangan langsung bagi produsen produk lokal, terutama skala kecil dan menengah. Bagaimana tidak? Adanya transaksi ini telah membuat produk lokal harus bersaing dengan produk luar yang berani menawarkan dengan harga banting atau harga murah. Walhasil, adanya unicorn justru malah dibanjiri produk impor yang cenderung murah. 

Dikutip dari bisnis.com (24/2/2021), data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi e-commerce sepanjang 2020 mencapai Rp253 triliun dan diperkirakan bisa mencapai Rp337 triliun pada 2021. Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Perekonomian Rizal Edwin Manangsang mengatakan, pertumbuhan ini sejalan dengan perubahan perilaku konsumsi masyarakat akibat Covid-19.

Ditambah pandemi Covid-19 belum usai, penawaran produk via unicorn memang tidak terelakkan. Hanya saja, jika harus bersaing dengan produk impor, ini bisa mematikan produk lokal, apalagi skala kecil atau menengah, seperti UKM atau UMKM. 

Hal itu tidak dipungkiri oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro dua tahun yang lalu. Ia mengingatkan, barang impor masih menguasai produk e-commerce yang dijual di marketplace Indonesia. Ini menjadi salah satu penyebab impor barang konsumsi sepanjang tahun 2018 melonjak hingga 22,03 persen year-on-year (yoy).

"Jangan sampai bangga unicorn, ternyata impor," kata Bambang dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Selasa, 12 Maret 2019, dikutip dari Tempo.co. 

Begitu pula, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, 90 persen dari produk yang dijual di seluruh marketplace perdagangan online atau e-commerce Indonesia adalah barang impor. 

Walhasil, meski industri e-commerce tumbuh pesat, peran dari produk lokal ternyata masih sangat kecil. "Produk dalam negeri hanya 10 persen," kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih saat ditemui di acara 9.9 Super Shopping Day di Jakarta Pusat, Selasa, 4 September 2018.

Saat ini yang dilakukan pemerintah hanyalah mengutamakan produk lokal dengan cara menerapkan kebijakan, pungutan pajak yang diberlakukan normal atau tidak ada batas ambang bawah.

“Saya rasa ini bisa menjadi buffer untuk masuknya produk luar negeri ke dalam negeri. Selain kebijakan tarif, peningkatan kapasitas produksi pelaku UMKM juga perlu diperhatikan karena bagaimanapun konsumen mencari barang yang murah,” sambung Nina Mora.

Paparan di atas telah menoreh kekecewaan para pelaku usaha lokal, baik UKM maupun UMKM. Bagaimana tidak? Tidak ada upaya dari pemerintah untuk menghentikan banjirnya produk impor di unicorn-unicorn ternama di negeri ini. 

Tak bisa Menolak

Sebenarnya hal itu terjadi,  karena keberadaan unicorn telah mendapatkan suntikan dana investasi asing. Sehingga, mereka tidak mampu menolak produk-produk impor membanjiri marketplace, ditambah lagi dengan harga cenderung lebih murah dari produk lokal.

Berdasarkan penelusuran Bisnis.com dua tahun yang lalu (19/2/2019), keempat unicorn asal Indonesia mendapat suntikan modal dari sejumlah perusahaan asing.

Dalam data yang terdapat di Crunchbase.com, diketahui bahwa investasi asing yang masuk ke Bukalapak di antaranya berasal dari Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Ant Financial Services Group, GREE Ventures, dan investor asal Singapura yaitu Government of Singapore Investment Corporation (GIC).

Bukalapak sudah melakukan setidaknya enam tahapan pendanaan. Nilai pendanaan terakhir sebesar US$50 juta dan disampaikan pada 17 Januari 2019.

Untuk Traveloka, hingga saat ini nilai pendanaan yang diterima dan disampaikan kepada publik adalah US$500 juta. Pendanaan ke unicorn itu terakhir masuk 27 Juli 2017.

Investor asing yang menanamkan dana ke Traveloka adalah Expedia, JD.com, Global Founders Capital, East Ventures, Hillhouse Capital Group, dan Sequoia Capital. East Ventures adalah modal ventura lokal, sisanya berasal dari Amerika Serikat, Jepang, dan China.

Untuk Tokopedia, total pendanaan yang masuk dan disampaikan ke publik mencapai US$2,4 miliar. Pendanaan terakhir kali masuk pada 21 November 2018.

Investasi asing yang masuk ke Tokopedia berasal dari Alibaba Group, Softbank Vision Fund, Softbank Telecom Corp, Softbank Ventures Korea, Beenos Partners, CyberAgent Ventures, dan Sequoia Capital India.

Pada Go-Jek, nilai investasi yang sudah masuk hingga kini diketahui sebesar US$3 miliar. Pendanaan terakhir diterima perusahaan tersebut pada 30 Oktober 2018.

Ada 23 investor yang tercatat menanamkan modal di Go-Jek. Investor-investor tersebut di antaranya Google, Tencent Holdings, JD.com, Warburg Pincus, KKR & Co, PT Astra International Tbk., Temasek Holdings, Hera Capital, dan Sequoia Capital India.

Coba dibayangkan, suntikan dana investor asing ini, telah membuat unicorn tidak mampu menolak produk-produk impor. Lumrah, jika dikatakan hampir 90 persen, marketplace unicorn dibanjiri produk asing yang berakibat produk lokal tersisihkan. 

Diakui atau tidak, pembeli pasti memilih barang yang lebih murah. Hal itulah, yang mematikan produk lokal. Apalagi praktik dagang dumping sering dilakukan oleh produsen luar negeri. Contohnya yang sering kita temui adalah produk-produk Cina. Dengan kualitas yang hampir sama, produk-produk dari Cina mampu memberikan harga murah. Justru inilah yang membuat produsen lokal kalah bersaing, bahkan terancam bangkrut. 

Bagaimana Seharusnya?

Sebagai pelaku UKM atau UMKM, tidak putus asa adalah kunci keberhasilan. Tetapi, hal itu harusnya didukung dengan kebijakan pemerintah yang pro produsen lokal. Bagaimana bisa produsen lokal terus berproduksi, jika disandingkan dengan barang impor yang harganya lebih murah? Bukannya untung, tapi malah buntung, karena kalah bersaing.

Sekalipun, pemerintah menggelontorkan dana untuk membantu pelaku usaha kecil atau menengah. Jika laju produk-produk impor tidak dibatasi, tetap saja mereka akan kesusahan menjajakan produknya. Apalah inovasi yang mereka kembangkan masih sederhana. Berbeda dengan produk asing, yang murah dan dikemas apik. 

Oleh karena itu, hal ini seharusnya mampu menyadarkan, diterapkan ekonomi yang pro kapitalis telah menciptakan berbagai kebijakan yang hanya mendukung para kapitalis, terutama kapitalis asing. Selain itu, diabaikannya syariat Islam sebagai pengatur kehidupan telah menciptakan berbagai kerusakan di berbagai lini. Sebagai pelaku UKM atau UMKM, selain terus berinovasi memasarkan produknya, sembari mengajak untuk kembali kepada syariat Islam. Karena sejatinya hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah berbagai kesenjangan ekonomi dapat diatasi dan kesejahteraan dapat terwujud.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
(Analis Muslimah Voice)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar