Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme, Memalak Rakyat Lewat Pajak


Topswara.com -- Belum usai derita rakyat yang terdampak pandemi, sehingga menyebabkan perekonomian terpuruk bahkan ambruk seiring dengan adanya gelombang PHK besar-besaran, pemerintah malah ingin menambah lagi derita rakyat. Sebagaimana diberitakan oleh Geloranews.com (09/06/2021) bahwa pemerintah berencana akan mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk sembako, mulai dari beras, jagung, kedelai, garam hingga daging. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

Jadi, dalam revisi UU tersebut, terjadi perluasan objek pajak. Barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan tersebut berarti barang itu akan dikenakan PPN.

Jenis-jenis barang kebutuhan pokok masyarakat dan tidak dikenakan PPN itu sendiri sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Adapun barang tersebut meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud seperti emas, batubara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.

Bahkan di dalam draft tersebut juga pemerintah memasukkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon (carbon tax). Sebagaimana tertuang dalam pasal 44G bahwa pajak karbon akan dikenakan pada individu atau korporasi yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang mengeluarkan karbon. 

"Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," tulis ayat (3) Pasal tersebut. (cnnindonesia, 08/06/2021) 

Negara Tersandera Utang, Rakyat Jadi Korban

Dengan adanya kebijakan perluasan objek pajak tersebut, otomatis nasib rakyat kian tercekik. Lebih-lebih jika pajak terhadap sembako benar-benar direalisasikan, harga sembako akan melonjak naik. Imbasnya daya beli masyarakat kian melemah. Padahal sembako merupakan kebutuhan primer rakyat yang pemenuhannya tentu tak dapat ditunda. Sungguh kapitalisme memalak rakyat lewat pajak, menambah derita rakyat dan membuatnya terperosok ke ambang kebinasaan. 

Begitulah watak sistem kapitalisme, senantiasa mencari celah dari segala aspek yang dapat menghasilkan keuntungan dan manfaat. Lebih-lebih perekonomian negara saat ini sedang sekarat akibat dihantam pandemi dan utang luar negeri yang membumbung tinggi. 

Sebagaimana dilansir oleh Bisnis.com (27/04/2021) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat  posisi utang pemerintah per akhir Maret 2021 mencapai Rp6.445,07 triliun atau setara dengan 41,64 persen dari PDB Indonesia. Menyikapinya hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira pun mengatakan bahwa Indonesia diperkirakan belum bisa melunasi utangnya bahkan hingga tahun 2050. Betapa tidak, utang Indonesia terus bertumbuh setiap bulannya, seiring dengan adanya skema bunga utang di dalamnya. 

Wajar jika kemudian terjadi debt overhang atau overhang utang, yaitu kondisi ketika utang semakin berat sehingga membuat ekonomi sulit tumbuh tinggi. Inilah potret yang terjadi di negeri ini. Tersandera utang ribawi sehingga menyebabkan pemerintah tersengal-sengal dalam membiayai kebutuhan rakyat, karena APBN tersita untuk membayar utang. Sungguh ironis! 

Akibatnya, rakyatlah yang justru dibebani pembiayaan dalam segala hal, termasuk dalam aspek-aspek yang semestinya menjadi tanggungan negara, seperti pendidikan, kesehatan, serta keamanan. Rakyat harus merogoh kocek teramat dalam demi mendapatkan fasilitas memadai dalam pelayanan publik. Maka, meme "orang miskin dilarang sekolah" adalah benar adanya di sistem kapitalis hari ini. Ditambah lagi dengan adanya pajak ini itu, sungguh memberatkan kehidupan rakyat hari ini. 

Oleh karena itu, wacana pengadaan PPN bagi produk sembako tentu memukul rakyat dan bukan tak mungkin membuat perekonomian rakyat semakin terpuruk di tengah pandemi yang belum tahu kapan berakhirnya. Inilah wajah buram sistem kapitalisme, memalak rakyat lewat pajak. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara, dipungut secara persisten dan massif kepada semua kalangan masyarakat. Sungguh sangat zalim

Sistem Islam Tidak Membebani Rakyat dengan Pajak

Jika kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan yang menopang perekonomian negara, lain halnya dengan Islam. Sistem Islam dalam naungan khilafah menjadikan sumber pemasukan dari pengelolaan harta kepemilikan umum. 

Dalam Islam, pajak dikenal dengan dharibah. Dalam implementasinya, pajak dalam sistem Islam berbeda dengan pajak dalam sistem kapitaliame. Pajak (dharibah) dalam Islam tidak dikenakan secara terus-menerus, melainkan hanya diambil dalam keadaan darurat saja, yakni saat negara membutuhkan dana segera sementara kas negara di Baitul Mal mengalami kekosongan. 

Adapun kondisi darurat yang dimaksudkan adalah kondisi ketika negara tidak memungut pajak maka akan menghambat pemeliharaan terhadap urusan umat (ri'ayatus su'unil ummah). Bahkan akan menimbulkan kemudharatan, misalnya untuk keperluan pembiayaan jihad, pembiayaan bagi orang-orang fakir dan miskin, pembiayaan gaji pegawai, tentara, hakim, guru, serta untuk membiayai jika terjadi bencana alam. Selain untuk kondisi-kondisi darurat tersebut, negara haram memungut pajak dari kaum Muslim. 

Selain itu, dharibah tidak dipungut kepada semua masyarakat, melainkan hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan finansial saja. Jika mereka miskin, maka tidak dipungut pajak darinya. Selanjutnya pajak tidak boleh diambil melebihi nilai yg dibutuhkan negara. 

Sungguh Islam melaknat siapa saja, baik individu, kelompok, maupun negara untuk mengambil harta orang lain tanpa kerelaan dari pemiliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Ù…َÙ†ْ ظَÙ„َÙ…َ Ù‚ِيدَ Ø´ِبْرٍ Ù…ِÙ†ْ الْØ£َرْضِ Ø·ُÙˆِّÙ‚َÙ‡ُ Ù…ِÙ†ْ سَبْعِ Ø£َرَضِينَ
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.”(HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, jika negara saat ini mewajibkan pajak atas rakyatnya, maka jelaslah bahwa hal tersebut merupakan sebuah kezaliman yang nyata. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai".(HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud)

Dengan demikian, sangat nyata bahwa kepemimpinan di bawah sistem kapitalisme hanyalah menambah kesengsaraan rakyat yang tak berkesudahan. Sebab segala kebijakan lahir dari kepentingan dan hitung-hitungan manfaat. Lantas, masihkah kita kuat bertahan dalam sistem kehidupan kapitalisme hari ini?
Wallahu a'lam


Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar