Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kontroversi Perempuan Haid Berpuasa, Beraroma Liberalisme


Topswara.com -- Mustahil mencampur kebenaran dengan kebatilan. Sebab, hal itu seperti mencampur air dengan minyak. Namun, tetap saja ada orang yang berusaha keras melakukannya.  

Seorang kyai mengunggah di akun Instagram @mubadalah.id. bahwa seorang perempuan boleh berpuasa saat haid (detik.com, 03/05/2021). Ia Imam Nakhai. Seorang Komisioner Komnas Perempuan, yang juga tercatat pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo-Situbondo, Jawa Timur.

Sontak komentar penolakan datang dari berbagai kalangan termasuk  Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi. Ia menegaskan bahwa perempuan dilarang melaksanakan puasa Ramadan saat datang bulan atau haid. Ketentuan itu sudah dijelaskan dalam hadis Nabi dan ijma atau konsensus ulama seluruh dunia (02/05/2021).  Masduki menambahkan bahwa pandangan boleh berpuasa bagi perempuan adalah pandangan yang menyimpang dari ijma ulama. Ia juga menekankan hadis yang melarang perempuan berpuasa saat haid adalah sahih.

Mengapa upaya mengubah syariat umat Islam terus terjadi? Bagaimana cara menjaga dan melindungi syariat Islam?

Liberalisme Bergabung dengan Islam, Mungkinkah?

Sebenarnya kasus Nakhai bukan yang pertama, setahun sebelumnya Tokoh Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta, Yulianti Muthmainah menyatakan hal yang sama (ibTimes.id, 04/05/2020).  

Begitu juga tulisan salah satu Tokoh Jaringan Islam Liberal Abdul Moqsith Ghazali yang di lansir pada media beraliran liberal swararahma  pada tanggal 3 Mei 2021.  Ia menuliskan bahwa intelektual Islam kontemporer seperti Dr. Ahmad Imarah dari Mesir dan Prof. Dr. Abdul Aziz Bayindir dari Universitas Istanbul Turki pun berpendapat serupa. Artinya, bukan hanya di Indonesia tapi ada gerakan global yang mengusung liberalisme agama. Kelompok ini membantah pendapat para ahli fikih beribu tahun sebelumnya. 

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu (Wikipedia). Dari sini muncul liberalisme agama yang memandang bahwa manusia bebas menafsirkan agamanya masing-masing dengan segala penerapannya di dalam kehidupan.  Paham ini sangat mengagungkan akal. Akibatnya,mereka merasa berhak menafsirkan dan mengubah syariat agama Islam.

Perlu ditekankan kembali bahwa liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini sangat kontradiktif dengan Islam. Di sisi liberalisme, hubungan kehidupan dengan agama dinafikan sama sekali. Sementara Islam justru mengharuskan tidak ada pemisahan agama dari kehidupan. Bagi liberalisme semua aturan tunduk pada akal. Sebaliknya Islam meyakini ada Zat Maha Pencipta dan Maha Pengatur dunia dan seisinya, termasuk manusia. Dialah satu-satunya tuhan yang layak dipatuhi. Jika liberalisme menganggap semua agama sama saja, maka Islam mengklaim setelah melalui proses berpikir mendalam hanya Islam satu-satunya agama yang benar.

Sehingga wajar jika fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa tanggal 11 Jumada Akhir tahun 1428 H, menyatakan bahwa menganut liberalisme  adalah sebuah kekufuran. Sebab, mereka banyak menentang dalil-dalil syariah yang sudah baku, bahkan membuangnya.  Namun anehnya, kelompok jaringan liberal terus saja ingin mengabungkan liberalisme dengan Islam. 

Kembali ke Dalam Naungan Sistem Islam

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin saat memberikan ceramah di depan peserta Muktamar XIII Persatuan Islam (Persis) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (3/8/2005), liberalisme agama tidak mungkin terjadi terhadap agama yang memiliki kitab suci berdasarkan wahyu. Liberalisme agama hanya mungkin untuk agama yang tidak mendasarkan kekuatan pada kitab suci karena tidak mampu menjamin serta mempertanggungjawabkan otentisitas kitab suci mereka. 

Namun, fakta saat ini sebaliknya. Umat Islam mulai goyah. Setiap hari mereka dikepung liberalisme dari berbagai arah. Wacana hasil penafsiran syariat secara liberal membanjiri setiap sudut kehidupan.  Seperti persoalan waris, poligami, jihad, kerudung, menolak ajakan suami, haji, berzina suka sama suka, LGBT dan kali ini perempuan haid, terus dihembuskan di tengah-tengah kaum muslim di seluruh dunia. Mereka ingin nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum Muslim. Bukan hanya cara-cara nonformal, bahkan formal yakni digulirkan lewat kurikulum pendidikan dan kebijakan di bidang lain.

Selanjutnya, ide-ide kebebasan dibiarkan memporakporandakan ajaran Islam. Umat Islam didorong bebas berbuat, berkata, meyakini, dan berhukum tanpa dibatasi oleh syariat Allah. Umat Islam diyakinkan bahwa manusia bisa menjadi tuhan untuk dirinya, menjadi penyembah hawa nafsunya. Pun,  umat Islam diyakinkan bahwa manusia bisa terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Kalau dulu, orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran Islam akan murtad atau tetap dalam kekafirannya. Maka saat ini, upaya kaum liberal tidak mengharuskan umat Islam keluar dari agamanya. Walaupun, sejatinya mereka sudah tidak meyakini dan ragu terhadap agamanya sendiri. 

Berarti tidak cukup melawan liberalisme agama hanya dengan otentisitas kitab suci. Sebab sangat jelas, liberalisme agama didukung penuh oleh sistem kehidupan sekarang, demokrasi sekuler. Jika benih tanaman akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, maka liberalisme agama berkembang pesat pada sistem demokrasi sekuler.  

Inilah bukti, ternyata umat membutuhkan sebuah sistem yang mampu melindungi aqidah dan syariat Islam. Sebab, seolah saat ini umat hidup di rumah orang lain. Tidak ada pelindung bagi umat. Bahkan, umat justru didorong dan dipaksa mengikuti aturan yang tidak sesuai dengan aqidah dan syariat-Nya. 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wa jalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)

Hadis di atas menunjukkan bahwa hanya sistem Islam dengan pemimpin yang bertakwalah pelindung umat Islam. Ia memerintahkan agar umat Islam bertakwa. Pemimpin dalam sistem Islam juga mengurusi akidah dan tsaqafah kaum muslim agar kuat dan tidak mudah digoyahkan oleh pemikiran liberal. 
 
Pun, dalam sistem Islam pelaku atau kelompok yang berusaha merusak akidah dan syariat Islam akan mendapatkan sanksi yang berat.  Sebagaimana di masa kekhilafahan Abu Bakr.  Kelompok orang yang tidak mau membayar zakat, diperangi setelah menolak nasehat yang diberikan.

Khatimah

Sistem Islam adalah sistem yang sempurna.  Di dalamnya ada aturan yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia.  

Persoalan puasa, termasuk dalam ranah hubungan manusia dengan Allah. Masuk dalam wilayah ibadah.  Panduannya jelas. Diantaranya siapa saja yang diharuskan puasa Ramadan dan dilarang puasa. Sumber hukumnya pun jelas, yakni Al-Quran, sunah, ijma sahabat dan qiyas.  Begitu pula metode baku penggalian hukum fikihnya adalah ijtihad, bukan yang lain. Telah terbukti 1300 tahun terjaga dengan baik dalam naungan sistem Islam. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya umat Islam sadar. Mereka harus ikut serta berjuang bersama mengembalikan sistem Islam yakni khilafah. Sebab, terbukti hanya sistem Islamlah yang mampu menjaga akidah dan syariat Islam dari serangan berbagai pemikiran menyimpang termasuk liberalisme. Ia adalah rumah yang sesungguhnya bagi umat Islam sedunia. 

Wallahu a’lam


Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar