Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jihad vs Radikalisme


Topswara.com -- Pernyataan "tidak mudik itu sama dengan berjihad" sungguh membuat kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang rela tidak mudik. Sayangnya pernyataan itu datang dari lisan pemuja demokrasi kapitalisme, yang standarisasi ucapan, perbuatan bahkan kepribadian saat ini apakah sesuai dengan kepentingan rakyat, atau segolongan orang?

Sedangkan, terkait paham radikal Menag Fachrul  menyatakan, "Cara masuk mereka gampang, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz, mulai masuk, ikut-ikut jadi imam, lama-orang orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus masjid. Kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide yang tadi kita takutkan," (detik.com, 7/9/2020).

Hal ini menjadikan sebagian waspada akan  dekatnya mereka dengan ajaran agama Islam, kesalihan, ketampanan anak, saudara, bahkan teman mereka yang memiliki ciri yang disebutkan. Lagi-lagi pernyataan ini keluar dari lisan pemuja demokrasi kapitalisme di mana sangat jelas asasnya manfaat yang disetir oleh kepentingan.

Di sisi lain mengambil kata "jihad" demi memuluskan kehendak agar ucapnya diikuti oleh umat muslim dan di sisi yang berbeda menggunakan kata "radikal" untuk membenci dan mempengaruhi umat muslim agar meninggalkan ajarannya. Ini pemikiran dangkal. Gampang ditebak pemilik otaknya. Siapa lagi kalau bukan dia si pemilik akliyah (pola pikir) demokrasi dan nafsiyahnya (pola sikap) juga demokrasi yang akhirnya bersyakhsiyah (kepribadian) demokrasi. Lantas layakkah didengar?

Jihad vs radikal tentu bertolak belakang dalam makna. Namun keduanya selalu disematkan pada Islam, pada ajarannya, pada umatnya dan pada idiologinya. Padahal kita tau, sulit sekali menyatakan Organisasi Papua Merdeka sebagai teroris yang jelas keradikalannya. Namun sangat mudah bagai membalik telapak tangan menyatakan ketegasan bahwa, pengeboman yang terjadi di area rumah ibadah yang dilakukan oknum adalah sebab ajaran jihad dalam Islam.

Lebih lanjut, jika tidak mudik dikatakan berjihad, lantas ketika benar-benar ingin melakukan jihad justru dikatakan radikal. Jadi membingungkan. Maka cerdaslah menyikapi pernyataan-pernyataan pemuja sistem demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai pintu menguntungkan diri sendiri dan segolongan elit.

Kebebasan berpendapat, menjadi point penting dalam alam demokrasi. Sehingga, dengan alat ini, penistaan agama dengan mudah dilakukan. Deradikalisasi menjadi gorengan yang renyah untuk disajikan di publik, alhasil akan menjadi sulit untuk dihentikan. Framing media turut menjadi andil dalam penyelewengan makna yang sebenarnya tentang jihad dan radikalisme.

Maka, perlu adanya sistem yang memiliki standar yang memuaskan akal, menenangkan jiwa serta berasal dari sang pencipta. Sistem Islamlah solusi semua problem kehiduapan umat. Tiada kepentingan lain selain kepentingan umat, mengurusi urusan umat menjadi prioritas yang berasaskan Islam. Sehingga narasi-narasi yang menyesatkan tak mudah masuk dalam benak dan pikiran umat.

Sistem Islam sangat jelas, dalam mengelompokkan mana yang haq dan mana yang bathil. Tidak boleh mencampurkan keduanya dengan alasan apapun. Jihad dalam Islam memiliki tempat tersendiri dalam dakwah Islam. Kewajiban jihad dilakukan oleh negara Islam. Olehkarenanyalah negara memfasilitasinya dan mendirikan departemen jihad tersendiri. Jihad adalah kemuliaan, tentu tak elok jika ini dimaknai radikalisme yang berkonotasi negatif dengan pemaknaan ala barat.

Sudah selayaknya, kita berpihak dan mengambil Islam sebagai idiologi sempurna untuk mengatur kehidupan di lingkup individu, masyarakat, dan negara agar rahmatan lilalamin dapat dicapai. Selain itu akan menumbuhkan kesadaran dalam memahami jihad sebagai jalan dakwah ketika negara Islam ada. Wallahu alam bishawab


Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
(Penulis dan Pemerhati Generasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar