Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bab Akidah Ahlussunah Wal Jamaah (tentang Ma'rifatullah)


Topswara.com-- Yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia adalah mengenal diri kita, untuk apa manusia diciptakan, yakni untuk beribadah. Jadi jika ada manusia tidak beribadah maka ia tidak mensyurukuri nikmat penciptaannya. Allah berfirman: "Wamaa kholaqtul jinna wa insa illaliya'buduun". Yang artinya: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku". 

Lalu apa hak Allah dan hak kita? Hak kita terhadap Allah: menyembah dan tidak menyekutukannya. Hak Allah terhadap hambanya: tidak menyiksa selama manusia beriman dan bertakwa tidak syirik.
Bagaimana cara kita mengenal  Allah? 

Ada tiga sisi manusia dapat mengenal Allah: 

Pertama, dari sisi pendengaran: kita mendengar tentang zat Allah, nama-nama baik Allah (asma'ul husna). Bahkan manusia ketika lahir supaya diazani dan diiqomati di telinganya supaya sejak awal mengenal Allah. Al Qur'an menyebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama baik atau asmaul husna. 

Dalil yang menyebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama terbaik (asmaul husna) misalnya tercantum dalam ayat ke-8 surat Thaha dan ayat ke-24 surat Al Hasyr. Berikut terjemahan dalilnya,

“Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik).” (QS. Thaha: 8) 

“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, bagi-Nya nama-nama yang baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana.” (Q.S. Al Hasyr: 24).

Selain memiliki dalil yang bersumber dari Al-Qur'an, dalil asmaul husna juga diperkuat lewat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Begini bunyi hadisnya: “Sesungguhnya Allah mempunyai Sembilan puluh Sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghapalkannya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari). 

Kedua, dari sisi pengenalan diri kita sendiri. Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Allah. Ketika manusia memandang kelemahan dirinya, tidak dapat menarik manfaat dan menghindar dari marabahaya. Allah yang memberi kemampuan kepada kita. Lahaula walaa quwata illa billahil'aliyil'adhiim

Dalam Qur'an ditegaskan bahwa manusia diciptakan bermula dari sari pati tanah. Kita perhatikan ayat dari Al-Qur'an yang memberikan petunjuk ilmiah. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu, Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal daging, dan segumpal daging itu, Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Q.S. Al-Mu'minuun: 12-14). 

Ketiga, dari sisi akal. Allah menganugerahkan kepada manusia, berupa akal. Tidak diberikan kepada hewan. Akal untuk memahami ciptaan Allah. Allah mencipatakan sesuatu tidak dengan sia-sia. Kita renungkan betapa maha kuasa Allah bagaimana menciptakan tumbuhan, hewan, manusia. Siapa yang menciptakan? Pasti ada yang menciptakan dan mengatur semua. 

Al-Qur'an menyebutkan bahwa manusia yang menggunakan akalnya untuk berpikir tentang ciptaan Allah disebut sebagai ulil albab. Siapakah ulil albab sesungguhnya? 

Ulil Albab adalah orang-orang yang berakal yang selalu berdzikir kepada Allah SWT. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 190-191,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (١٩٠) 

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١) 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali Imran: 190), yaitu، orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran: 191) 

hadis menyebutkan bahwa tafakurlah terhadap ciptaan Allah jangan terhadap dzat Allah. 

Ketika manusia tidak menggunakan akalnya, maka manusia akan menjadi seperti binatang ternak bahkan lebih rendah dari pada itu. Punya mata, hati dan telinga tidak dipakai untuk memahami ciptaan Allah. Sungguh Allah telah mengingatkan kita dalam QS: Al A’raf: 179: 

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ 

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” [QS: Al A’raf: 179]

Dalil akal yang menjelaskan adanya Allah juga bisa kita renungkan pada prinsip bahwa: "Tidak mungkin ada bangunan tanpa ada yang membangun. Tidak mungkin ada kemah panjang jika tanpa ada yang mendirikannya. Semua ini ada yang menciptakan." 

Allah menantang manusia untuk berpikir, apa manusia tidak melihat bagaimana unta diciptakan? Gunung, bumi, langit diciptakan? Semua ciptaan Allah itu bertasbih kepada Allah. Hal ini ditegaskan Allah melalui firman-Nya: 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS Al Ghaasyiah [88]: 17-20).  

Adanya Allah juga berdasar dalil akal sebagai berikut: "Adanya kotoran unta, pasti ada untanya. Jika ada bekas kaki, maka pasti ada yang lewat. Adanya alam semesta menunjukkan ada penciptanya." 

Suatu saat Abu Hanifah berdialog dengan kaum ateis: "Apakah masuk akal ada perahu yang berlayar di lautan dalam dan dihempas oleh ombak besar dan angin kencang kemudian dapat (tegak berdiri) selamat tanpa ada pengendalinya?" 

Orang ateis menjawab: "Tidak masuk akal!" 

Maka tidak mungkin perahu itu tanpa nahkoda. Begitu pula dengan alam semesta ini, pasti ada yang mengaturnya dan mengendalikan agar terjaga keteraturan tata surya. 

Siapa yang memandang langit dan bumi lalu dia tidak meyakini sang pencipta berarti akalnya fidak sehat dan hatinya tertutup. 

Alkisah ada dialog antara seorang ateis dengan seorang ulama dengan tujuan untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah, sebagai berikut: 

Orang ateis bertanya: 

Pertama, adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, kalau begitu Allah ada pasti ada yang menciptakan, bukan?
Kedua, di syurga itu penghuninya tdk buang hajat, apa ini nalar? Bagaimana penghuni syurga membuang kotorannya?
Keempat, syetan itu akan disiksa dalam neraka, api. Apa iblis akan sakit padahal terbuat dari api? 

Jawaban ulama yang meyakinkan berikut ini dapat dipakai sebagai dalil, yakni: 

Pertama, kamu tahu angka 1, ia dapat menciptakan angka yang lain. Angka 1 ada dengan sendirinya? Tidak membutuhkan angka yang lain. Begitu pula Allah, ia bisa menciptakan tanpa membutuhkan yang lainnya. 

Kedua, ketika dalam kandungan ibumu, apakah kamu buang hajat? Bayi makan dari saripati makanan yang dimakan ibu. Begitu pula di syurga. Tidak ada kotoran, semua indah. Bahkan baru punya "krenteg" maka yang kita butuhkan langsung ada. Mangga pun langsung tumbuh. 

Ketiga, orang ateis tadi ditampar pipinya oleh ulama.  Ia kesakitan. Kenapa sakit, padahal sama-sama bendanya antara telapak tangan dan pipi. Kenapa sakit? Maka meski terbuat dari api, setan pun akan dapat merasakan sakit dengan siksaan api neraka. 

Demikianlah, salah satu akidah ahlussunah wal jamaah terkait dengan cara cara manusia mengenal Allah (ma'rifatullah). 

Wallahu a'lam bishawab. 

Ditulis kembali oleh: Pierre Suteki.

Materi Kajian Subuh Masjid At Taufiq Srondol Wetan, Banyumanik Semarang bersama Ust. Jakfar Shodiq Al Munawar, Ngaji Kitab Nashaihudiniyah, Jumat, 28 Mei 2021. 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar