Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perbedaan (Ikhtilaf) dalam Islam

Topswara.com -- Perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah berfirman : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48) 

Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua

Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori  tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir. 

Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua: 

Pertama, Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq  (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain. 

Kedua, Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya. 

Dalam Islam perbedaan itu boleh tergantung pada topiknya. Ada yang harus diperhatikan yaitu ikhtilaf dalam hal ushul maupun furu'. Terkait Ushul, ada 2 jenis, yaitu Ushulul aqidah dan ushulus syariah. Dalam hal keduanya tidak boleh ada perbedaan (ikhtilaf), jika ada perbedaan maka bisa membatalkan Islamnya. Misalnya ada yang menghalalkan zina, khamar dan berjudi. 

Jika terkait dengan furu' baik furu' akidah maupun syariah ini boleh. Furu' aqidah misalnya tentang jumlah nabi jika ada perbedaan itu wajar. Ada yang mengatakan bahwa terdapat 313 rasul dan 124 ribu nabi. Furu'ul syariah misalnya soal doa qunut dalam sholat subuh. 

Mengapa perbedaan terjadi? Ada sekitar 10 sebab yang menjadi faktor terjadinya ikhtilaf. Beberapa di antaranya, yaitu: 

Pertama, perbedaan karena qiraati (bacaan)
a. Membasuh dalam berwudhu (apa maksud membasuh? Mengguyur, atau mengusap saja?)
b. Menyentuh wanita (kulit, atau bersetubuh) 

Kedua, hadis itu adalah apa yang diucapkan, dipahami, dilakukan oleh Rasul sehingga jumlahnya bisa berjuta-juta hadist dan boleh jadi tidak semua sahabat mengetahui. Beberapa contoh dapat diberikan, misal: 

(1) Soal dalam hukum waris, apakah ada hak waris untuk nenek jika cucunya meninggal. Hal ini perlu diperhatikan mengingat Al Quran tidak mengaturnya. Ada 2 sahabat Rasululloh, yakni Mughirah dan Muhammad bin Salman yang pernah mendengar bahwa Rasulullih memberikan pernyataan bahwa seorang nenek mendapat 1/6 harta waris dari cucunya.  

(2) Contoh lain pada zaman Khalifah Umar bin Khathab: Abu Musa silaturahim ke Khalifah Umar. Abu Musa mengucapkan salam 3 kali namun tidak ada yang menjawab,  lalu Abu Musa memutuskan untuk pulang. Setelah bergegas pulang, ia dikejar oleh Umar bin Khathab. Setelah ketemu ia ditanya Umar kenapa balik pulang. Abu Musa menjawab bahwa Rasululloh bersabda barang siapa orang yg silaturahim dan telah mengucapkan salam sebanyak 3 kali  namun tidak jawab, maka hendaknya ia pulang. Umar merasa tidak tahu ada penjelasan Rasul tentang hal ini. Umar menyatakan akan menghukum Abu Musa jika berbohong. Abu Musa akhirnya merasa takut dan menceritakan kepada para sahabatnya dan para sahabat berani bersaksi bahwa Rasul pernah bersabda tentang itu. 

(3) Contoh yang lain dalam hal pendapat Syafi'i. Ia belajar kitab Imam Malik di Madinah. Imam Syafi'i sewaktu muda sudah diberi hak oleh gurunya untuk memberikan fatwa. Ia banyak menemukan hadist baru di Mesir sehingga pendapat-pendapatnya banyak yang diubah. Jadi ada perbedaan pendapat yg terdahulu (qaul qodim) dan yang kemudian (qoul jadid). 

Sebagaimana juga telah diketahui, Imam Syafi’i sebagai ulama yang banyak berguru kepada ulama-ulama besar seperti Imam Malik dan murid-murid Imam Abu Hanifah tentunya memberikan implikasi terhadap metode istimbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i, dan beliau adalah murid paling pandai yang berguru kepada Imam Malik ketika beliau tinggal di Madinah. Namun ketika beliau ke Iraq, beliau juga belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah, maka mazhab fiqih yang beliau kembangkan di Iraq adalah perpaduan antara dua kekuatan tersebut. 

Semua keistimewaan mazhab Malik di Madinah dipadukan dengan keunikan mazhab Hanafiyah di Iraq, dan hasilnya adalah sebuah mazhab canggih, yaitu mazhab al-Imam al-Syafi’i dan perkembangan selanjutnya dikenallah istilah qaul qadim dan qaul jadid Imam Syaf’i. 

Jika terjadi perbedaan, lalu bagaimana sikap kita. Sikap yang paling benar adalah kita bersikap tasamuh, toleran. Dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita. 

Menyikapi adanya keniscayaan terjadi ikhtilaf, bolehkah seseorang atau kelompok orang merasa paling benar? Imam Syafii berpendapat: 

Pertama, jika kita berpendapat justru harus merasa benar, jika merasa salah diam saja, cari ilmu dulu. 

Kedua, tetapi dalam hal berpendapat seseorang harus merasa bahwa ada kemungkinan pendapatnya salah sehingga mau mendengar orang lain. 

Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata, “Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”. 

Kita harus memahami prinsip bahwa setiap  tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) bisa disebut sebagai bagian dari tafarruq (perpecahan).  Setiap ikhtilaf  bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi  tafarruq atau iftiraq antara lain karena: 

Pertama, faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnyata’ashub (fanatisme) 

Kedua, salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). 

Ketiga, tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.

Semoga kita tidak mengalami ukhtilaf ushul karena dapat membuat kita keluar dari Islam, bahkan tersesat. Terhadap ikhtilaf furu', kita harus bersikap tausi'ah dan tawasul (melonggarkan diri dan toleran) sehingga kita tidak bercerai berai. 

Wallohu'alam bishowab.
Wassalau'alaikum wr. wb. 

Tabik..!!!

Ditulis kembali oleh Suteki
(Digabung dengan beberapa artikel) 

Kajian Subuh di Masjid At Taufiq Srondol Wetan Banyumanik Semarang. Ngaji Kitab Al Fikrul Islami bersama Ust. Choirul Anam. 
Ahad, 18 April 2021. 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar