Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengapa Penistaan Agama semakin Marak?


Topswara.com -- Umat Muslim harus kembali berduka. Di awal Ramadhan tahun ini, jagat media sosial kembali dihebohkan dengan ujaran kebencian dan penistaan agama yang dilakukan oleh seorang YouTuber yang bernama Joseph Paul Zhang. Ia mengatakan bahwa Allah dikurung di Ka’bah dan mengklaim dirinya sebagai nabi ke-26. Tak cukup sampai di situ, ia pun mengatakan bahwa nabi ke-25 sesat dan cabul. (republika.co.id, 21/04/2021).

Sebagai umat Islam, tentu kita sangat marah dan geram dengan kasus penistaan yang terjadi berulang kali. Ironisnya, kejadian ini bahkan terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Masih segar dalam ingatan bagaimana perasaan kaum Muslim tercabik-cabik oleh penistaan yang dilakukan terhadap Al-Qur'an. Begitu pun penistaan terhadap Rasulullah dan syariat Islam, yaitu cadar dan azan.

Melihat fenomena ini, apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah cukup jika kita hanya diam dan pasrah karena argumentasi bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya tak butuh pembelaan? Padahal, apa yang kita lihat hanyalah fenomena gunung es yang muncul ke permukaan. Artinya, kasus penistaan agama yang terjadi di lapangan tentu lebih banyak lagi. 

Seolah seperti lingkaran setan, kasus serupa muncul kembali karena hukuman yang diberikan tak memberi efek jera. Mirisnya lagi, banyak kasus penistaan yang bahkan hilang dari pemberitaan dan pelakunya masih bebas berkeliaran tanpa merasa berdosa. Mengapa kasus penistaan ini semakin marak terjadi?

Penistaan Agama Tumbuh Subur dalam Demokrasi Sekuler

Jika kita menganalisis lebih dalam, kasus penistaan agama ini menjadi sesuatu hal yang dianggap wajar di dalam sistem demokrasi sekuler. Kasus ini tentu bukan hanya dipicu oleh kebencian atau oknum personal. Namun, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

Jargon kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan bertingkah laku yang diusung oleh demokrasi memungkinkan standar kebenaran bersifat relatif karena disandarkan pada akal manusia yang bersifat terbatas. Oleh karena itu, wajar jika muncul banyak polemik di tengah masyarakat.

Ada yang berargumentasi bahwa tindakan demikian bukanlah bentuk penistaan, tetapi hanya merupakan ekspresi kebebasan untuk menyatakan pendapatnya. Ada pula yang menyatakan bahwa oknum yang melakukan penistaan jangan dibawa ke ranah hukum dan cukup diberikan pembinaan saja. Itulah gambaran ketika standar kebenaran dan keadilan distandarkan kepada sudut pandang manusia, yaitu akan senantiasa menimbulkan pertentangan.

Paham kebebasan (liberalisme) ini memang menjadi racun yang mematikan bagi kaum Muslimin. Atas dasar pemahaman ini, para penista agama merasa aman untuk melakukan tindakan merendahkan Allah, Rasul-Nya, Al-Qur'an, dan syariat Islam. Dengan berlindung di bawah payung HAM, seseorang bisa bertindak sekehendak hatinya selama tidak merugikan orang lain.

Begitu pun sekularisme menjadi pangkal semakin tumbuh suburnya penistaan agama. Kejadian seperti ini bahkan sering dijadikan momentum oleh para pembenci Islam untuk menyesatkan umat dengan narasi moderasi Islam. Umat Islam digiring untuk menghindari fanatisme atau berlebih-lebihan kepada ajaran Islam. Tentu kita sepakat bahwa fanatisme dalam beragama memang tak dibenarkan.

Namun, yang menjadi permasalahan bahwa fanatisme di sini disematkan kepada umat Islam yang ingin melaksanakan syariat Islam secara kafah. Maka, jelas framing negatif yang diaruskan adalah agar umat Islam meninggalkan Islam sebagai ideologinya. 

Adapun produk undang-undang yang dihasilkan sistem kapitalisme demokrasi saat ini terbukti tak mampu menjadi solusi tuntas terhadap kasus penistaan agama. Jangankan memberikan efek jera, justru semakin memberi ruang untuk munculnya penista agama lainnya. Oleh karena itu, apa solusi tuntas untuk menghilangkan penistaan agama ini hingga ke akar-akarnya?

Syariat Islam Menjaga Umat dari Penistaan Agama

Berbicara tentang toleransi, sejatinya umat Islam tak perlu untuk didikte. Toleransi beragama yang digambarkan dalam sistem demokrasi justru hanyalah sebuah ilusi. Bahkan, kasus penistaan terhadap agama menjadi buah dari ketiadaan peran negara dalam melindungi akidah umat.

Gambaran tersebut sangat kontras dengan yang terjadi pada negara khilafah islamiyah. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi khalifah yang berlaku tegas dengan memerangi orang-orang yang mengaku nabi palsu. Karena, kita pun sudah tahu bahwasannya Rasulullah SAW merupakan nabi terakhir sampai akhir zaman. Oleh karena itu, ketika diterapkan syariat Islam secara kafah oleh negara maka akidah umat akan terhindar dari paham-paham yang bertentangan dengan Islam.

Kebebasan berpendapat yang semakin kebablasan di media sosial akan difilter oleh Departemen Penerangan di dalam khilafah agar berbagai informasi yang beredar di tengah masyarakat tidak ada yang bertentangan dengan ideologi Islam. Konten pornografi, ujaran kebencian hingga penistaan agama akan dilarang untuk beredar di tengah masyarakat. Maka, tidak mungkin ada masyarakat yang berani membuat konten yang melanggar syariat-Nya.

Begitupun kelompok dakwah yang berfungsi sebagai kontrol di dalam masyarakat senantiasa menjalankan perannya untuk melakukan edukasi sekaligus koreksi kepada penguasa jika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Seperti halnya kasus penistaan agama ini, jika pemerintah abai dan hanya diam saja maka kelompok dakwah wajib untuk melakukan muhasabah agar para penguasa bisa menjalankan perannya.

Ketegasan khalifah Abdul Hamid II pada Kekhilafahan Utsmaniyah terhadap penista agama patut kita contoh. Tanpa rasa ragu dan takut beliau melakukan ultimatum terhadap rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi Muhammad. Akhirnya, kerajaan Inggris pun membatalkan pertunjukan tersebut.
Kejadian ini memberikan hikmah bahwa dalam sistem khilafah, seorang khalifah benar-benar harus menjalankan fungsinya sebagai junnah atau pelindung bagi kaum muslimin. Khalifah juga wajib untuk menjaga kemuliaan akidah dan syariat Islam dari para penista. Tak boleh sedikit pun khalifah memberi ruang bagi mereka untuk melakukan kesewenang-wenangan.

Ada seorang wanita Yahudi yang menghina Nabi, dan mencela beliau. Kemudian orang ini dicekik oleh seorang sahabat sampai mati. Namun, Nabi SAW menggugurkan hukuman apa pun darinya [sahabat itu].” (HR. Abu Daud 4362 dan dinilai Jayid oleh Syaikhul Islam)

Hadis di atas jelas menyampaikan pada kita bahwa penghina Rasul SAW hukumannya adalah hukuman mati. Sistem sanksi yang diterapkan di dalam sistem Islam akan memiliki efek jera karena berfungsi sebagai jawazir (pencegah) dan jawabir (penebus). Selain itu, tentu hukuman ini sangat adil sesuai dengan pandangan Sang Pembuat Hukum, yaitu Allah SWT. Bukan, keadilan semu berdasarkan standar manusia.

Khatimah

Penistaan agama akan terus berulang terjadi selama sistem kehidupan yang diterapkan saat ini adalah ideologi kapitalisme sekuler yang senantiasa menyandarkan kebenaran berdasarkan kepada akal dan hawa nafsu manusia. Adapun sistem Islam secara tegas memiliki mekanisme yang mampu menghilangkan penistaan agama hingga ke akar-akarnya. Semua itu didukung penerapan syariat Islam yang lahir dari Sang Pencipta, Allah SWT. Oleh karena itu, jika kita mengingkan kehidupan yang aman dan tenteram serta toleransi dan keadilan yang sejati maka semua itu hanya akan terwujud dengan penerapan syariah Islam secara kafah dalam institusi khilafah islamiyah. []

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
(Aktivis Dakwah) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar