Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membasmi Korupsi PNS di Sistem Demokrasi, Mungkinkah?


Topswara.com -- Bicara korupsi, tak pernah ada habisnya.  Seolah saat ini menjadi suatu yang lumrah. Termasuk di jajaran pejabat dan PNS. Diperkuat oleh pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahyo Kumolo pada rapat kerja bersama Komisi II DPR di Jakarta, Kamis (18/4/2021).  Menurutnya, tiap bulan ada PNS dipecat karena korupsi (Liputan6, 18/4/2021). Bahkan,  tiap bulan rata-rata 20 sampai 30 persen PNS diberhentikan dengan tidak terhormat karena korupsi (Republika, 19/4/2021). Mengapa korupsi tidak mudah dibasmi?

Korupsi, Riwayatmu Kini

Makna korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Lalu, mengapa PNS melakukan korupsi? 

Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei tentang hal ini terhadap seluruh PNS di lembaga-lembaga negara di tingkat pusat dan provinsi yang tersebar di 14 provinsi. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari populasi tersebut. Survei dilakukan pada 3 Januari hingga 31 Maret 2021. 

Hasilnya, 49 persen PNS melakukan korupsi karena kurangnya pengawasan. 37 persen karena kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang. Sedangkan 34,8 persen keberadaan campur tangan politik dari yang lebih berkuasa. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji rendah. Sebesar 24,4 persen menilai, korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Dan 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin. Faktor-faktor lain yang dinilai lebih sedikit adalah karena tidak ada ketentuan yang jelas, jarang ada hukuman jika ketahuan, pelaku tidak paham, didukung atasan, persepsi hak PNS dan takut dikucilkan.

Menanggapi hal ini, Tjahyo mengatakan bahwa pemerintah telah berupaya menangani PNS pelaku korupsi dengan menurunkan jabatan sampai memecat secara tidak terhormat. Kemudian pemerintah memroses pelaku ke pengadilan, mendapat hukuman penjara dan membayar denda (Lihat: UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 5 -12 jo UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).  Adapun hukuman mati bagi pelaku sampai saat ini belum pernah dilaksanakan. Tjahyo juga menambahkan adanya peraturan wajib lapor kekayaan bagi PNS sebagai tindakan pencegahan.   

Namun, semua tindakan pemerintah terhadap perilaku korupsi terkesan parsial dan setengah hati. Pasalnya di tengah gencarnya seruan antikorupsi, gerakan penindakan korupsi justru makin hari makin lemah. Setidaknya ada dua sebab. Pertama, lembaga pemberantas korupsi dilemahkan kewenangannya dengan merevisi UU KPK (berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK). 

Kedua, pemerintahan saat ini banyak memberikan pengampunan kepada para terpidana korupsi. Misalnya, pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2019, jumlah narapidana korupsi yang mendapatkan remisi total mencapai 338 orang. Padahal hukuman yang diberikan terbilang ringan. Data ICW menyebutkan, sepanjang tahun 2018 lalu rata-rata vonis pelaku korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Kebijakan ini menunjukkan bahwa tidak ada komitmen serius dari pemerintah dalam memberantas korupsi.

Padahal, semua pihak mengetahui dampak korupsi sangat besar. Kerugian yang dialami negara pada tahun 2019 menurut KPK diperkirakan mencapai Rp 200 triliun. Angka yang luar biasa (mediaumat.news, 14/02/2020).

Korupsi, Akibat Penerapan Demokrasi Sekuler

Jika faktor terbesar penyebab maraknya korupsi pada PNS adalah kurangnya pengawasan, mengapa membudaya pada seluruh lapisan masyarakat?  Bahkan, bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan ada gejala bersifat sistemik. Terkait erat dengan sistem kehidupan yang diterapkan di Indonesia dan sebagian besar negara dunia saat ini.

Ia adalah sistem demokrasi. Sistem yang bermuara pada ideologi sekularisme. Sebuah ideologi yang menolak agama dalam mengatur kehidupan. Asas semua aktivitasnya adalah manfaat materi. Nilai kebahagiaan dan kesuksesan hidup distandarkan pada materi. Sehingga pandangan dan gaya hidup individu, masyarakat dan negara hanya bersandar pada perolehan materi. Wajar, jika karakter para aparat negara pun berstandar pada kelimpahan materi. 

Dampak aturan sekuler dalam kehidupan bernegara adalah seluruh kebijakannya dibuat oleh penguasa dan wakil rakyat. Semua keputusan diambil atas asas manfaat materi.  Sementara, kesepakatan bermanfaat atau tidak sangat bergantung sudut pandang pihak berkuasa. Akibatnya, jika dianggap sudah tidak menguntungkan bagi penguasa, UU yang telah disahkan sangat mudah diganti dengan UU yang baru.  Padahal faktanya, aparat negaralah, yakni PNS, justru banyak menjadi pelaku korupsi. Oleh karena itu, mustahil memberantas korupsi dalam sistem demokrasi.     

Islam Mencegah dan Membuat Jera Pelaku Korupsi

Islam adalah syariat yang sempurna.  Aturannya bukan ditetapkan oleh penguasa, tetapi bersumber dari Allah Pencipta alam semesta. Sehingga aturannya tidak seenaknya bisa diubah sesuai nafsu manusia. 

Syariat Islam yang diterapkan dalam sistem Islam, mempunyai cara efektif untuk mencegah korupsi. Menurut Budihardjo, S.H.I. (mediaumat.news, 26/06/2019), setidaknya ada enam langkah menjawab persoalan PNS saat ini. Pertama, penerimaan calon aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas. Bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, calon PNS wajib memenuhi kriteria kemampuan (kapabilitas /kifayah) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).

Sabda Nabi SAW, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari)

Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barang siapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Hadis dan perkataan Umar bin Khaththab di atas, menjelaskan pentingnya kemampuan (kifayah) pada aparat negara dalam menjalankan tugasnya. Sementara kepribadian Islam sangat penting dalam hal keyakinan pegawai negara bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mengawasi.  Sehingga ketat tidaknya pengawasan tidak berpengaruh terhadap godaan berkhianat. Begitu pula faktor kedekatan, pengaruh politis, takut dikucilkan, maupun adanya kebiasaan korup pada sebagian orang dalam instansi, tidak akan berpengaruh terhadap seorang PNS yang kokoh keimanannya. 

Pun, berkepribadian Islam mendorong PNS memahami harta mana yang halal dan mana yang tidak boleh dimiliki.  Sebab, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Hal ini perlu dilakukan sebagai kontrol negara terhadap pemahaman PNS tentang aturan instansi yang sesuai syariat Islam. Kontrol bahwa PNS bekerja sesuai prinsip pelayan umat. Rasulullah pernah bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal…” (HR. Muslim dari Syadad bin Aus)

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. 
Sabda Nabi SAW, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR. Ahmad). 

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.” Inilah bentuk pencegahan dalam syariat Islam, agar PNS tidak berlaku korup dengan alasan perlu tambahan gaji.

Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Kelima, pemimpin wajib memberikan teladan. Pemimpin negara maupun instansi harus memberikan teladan kepada seluruh rakyat dan pegawainya. Sebab, sudah menjadi karakter manusia, ia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. 

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad, Ad-Dârimi, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân, Al-Baghawi)

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Badan pengawasan, baik keuangan atau lainnya, dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang juga berkemampuan dan bersyakhsiyah Islam. Sehingga evaluasi dan pengawasan terhadap seluruh aparat negara berjalan baik. 

Lalu, bagaimana Islam mengatasi PNS yang masih juga melakukan korupsi, setelah semua upaya pencegahan dilakukan negara?

Dalam syariat Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Sebuah tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya (Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi, hlm. 299). 

Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi, hlm. 89).

Hadis ini menyatakan bahwa perbuatan khianat bukan termasuk pencurian. Oleh karena itu, sanksi untuk pelaku khianat (khaa`in) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bermacam-macam, tergantung berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Dari teringan seperti nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi, hlm. 239-309).

Dalam syariat Islam, sanksi yang diberikan pada pelaku maksiat mempunyai dua fungsi. Pertama, membuat jera pelaku dan mencegah PNS lain untuk melakukan korupsi.  Kedua, dapat menebus dosa pelaku di dunia, sehingga di akhirat nanti ia tidak lagi menanggung siksa. Akan tetapi, dengan syarat sanksi tersebut diberlakukan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara keseluruhan.

Khatimah

Demikianlah, sangat jelas bahwa hanya sistem Islam yang mampu mengatasi kasus korupsi termasuk pada aparat negara. Sehingga, wajib bagi kita umat Islam terus berjuang menegakkannya kembali dan membuang sistem demokrasi. []

Oleh: Dewi Masitho, M.Si. (Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar