Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bela Islam di Tengah Kegelapan


Topswara.com -- Meskipun sudah sering mendengarnya, terus terang saya kaget ketika Bang Daming menceritakan sikap para komisioner Komnas HAM tentang homoseksual, karena ini langsung dari orang dalam. Perjuangannya sebagai penyandang tunanetra yang sering diremehkan juga sangat inspiratif lho.

Bela Islam Di Tengah Kegelapan
Dr. Saharuddin Daming, S.H., M.H. Komisioner Komnas HAM Periode 2007-2012


Tidak aneh bila pegiat hak asasi manusia (HAM) atau komisioner Komisi Nasional HAM dengan dalih tidak mau merampas hak Tuhan menolak hukuman mati bagi pembunuh atau pun dengan dalih menegakkan HAM membela mati-matian penistaan agama Islam yang dilakukan kelompok aliran sesat Ahmadiyah. 

Tapi kalau menyatakan bahwa “qishas itu  tidak melanggar hak Tuhan karena Allah SWT telah mendelegasikannya kepada manusia” atau  menyatakan “yang dilakukan Ahmadiyah itu termasuk pelanggaran HAM,” itu baru luar biasa. 

Tapi mana ada sih pegiat HAM  yang omongannya seperti aktivis Islam itu? Jangan salah, ternyata ada. Saharuddin Daming namanya, ia bukan hanya pegiat HAM biasa, tetapi seorang komisioner Komnas HAM. Dalam berbagai kesempatan, Bang Daming, panggilan akrabnya, menyatakan  hal yang luar biasa tersebut. 

Human right (HAM) mainstreamnya memang dikembangkan oleh mainstream sekuler,” ungkapnya kepada Media Umat, Senin (25/7/2011) siang di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Makanya, setiap Sidang Paripurna Komnas HAM digelar, berdebatan sengit kerap kali terjadi.  

Kalau tidak ada titik temu, maka voting. Kalau sudah voting, tentu yang membela Islam ini  kalah. “Semua komisioner ada 11, ada dua biasanya yang sependapat dengan saya,” aku Bang Daming. Tetapi, ketika dirinya menyatakan bahwa “homoseks itu melanggar HAM” yang sependapat dengannya hanya bertambah satu. 

Karena mayoritas mendukung pendapat sekuler, maka Bang Damin pun kalah. ”Saya kalah karena dikalahkan oleh mekanisme, tidak apa-apa yang penting saya kalah terhormat,” ungkapnya. 

Sebelum diangkat DPR menjadi komisioner Komnas HAM untuk periode 2007-2012, ia tidak menyangka bakal sering berdebat dalam persoalan-persoalan di atas. Karena sejatinya, dulu ketika masuk Komnas HAM, dirinya hanyalah ingin membela HAM para penyandang cacat yang didiskriminasi oleh hukum dan budaya yang berlaku di negeri ini. Diskriminasi itu sangat kuat, bahkan lelaki yang kedua bola matanya mengalami kebutaan total sejak kelas 6 SD ini kerap kali menjadi korban. 


Perjuangan Bang Daming

Putra bungsu dari lima bersaudara tersebut lahir pada 28 Mei 1968 di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Pada usia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kejadian inilah yang mendorongnya untuk membantu ibunya dan keempat kakaknya mencari uang, sepulangnya dari sekolah. Hingga, akhirnya ketika ia duduk di kelas 5 SD, keluarganya mampu untuk membeli sebuah rumah panggung khas Bugis.

Rumah yang baru dibeli tersebut masih harus diperbaiki karena ada beberapa bagian struktur rumah dan atap yang lepas. Ketika melakukan pembongkaran inilah, mata kanannya, secara tak sengaja, kemasukan serpihan halus atap nipah. Secara refleks, tangannya pun mengucek-ucek matanya itu. Semakin dikucek malah semakin gatal dan perih. Hingga mata kanannya itu mengalami kebutaan total. 

Bertumpu pada mata kirinya, ia melanjutkan kegemarannya untuk membaca buku. Dalam sehari, dapat membaca 12 judul buku. Sayangnya, kegiatan ini tidak didukung oleh penerangan yang memadai. Maka setahun kemudian, mata kirinya juga menjadi buta total. Dokter memvonis sistem saraf dari otak ke retina matanya lumpuh. Betapa perih dan hancur perasaan Daming dengan nasib malang yang menimpanya. 

Menyadari hal itu, Narti (kakak keduanya) mencoba menghibur dan memotivasi Daming agar tidak larut dalam kenestapaan. Setiap sore sepulang kerja dari tugas sebagai seorang perawat, Narti mendatangi adiknya dengan penuh perhatian mulai dari soal agama hingga persoalan politik, semuanya merupakan topik perbincangan kakak beradik ini. 

Narti pun menghadiahkan sebuah radio kepada Daming. Selain berfungsi sebagai sarana hiburan untuk mengusir kekalutan yang kerap muncul tiba-tiba, juga berguna sebagai media informasi. Apalagi Daming adalah tipe orang yang sangat getol mengikuti perkembangan dunia di luar dirinya. 

Meski sempat menolak, Daming pun akhirnya melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB). Setelah menamatkan pendidikan di SLB-A Yapti Makassar tahun 1985, ia melanjutkan pendidikan secara integrasi di SMA, karena tidak puas dengan bentuk layanan di tempat ini, maka pada saat kenaikan kelas ia kemudian pindah ke SMA lain.

Namun di tempat barunya itu, mulanya ia disambut dengan sikap sinis, heran dan bingung di kalangan siswa dan guru-guru. Betapa tidak, karena Daming merupakan tunanetra pertama dan satu-satunya  yang bersekolah di sana. Mereka tidak percaya kalau tunanetra sepertinya dapat mengikuti pendidikan serta bersaing dengan peserta didik non tunanetra di sekolah umum. 

Keraguan tersebut akhirnya buyar berganti salut dan kekaguman setelah ia melewati semester pertama. Selain berhasil meraih peringkat satu di kelasnya, ia juga dapat menggondol prestasi belajar tertinggi untuk tingkat rayon menyisihkan para peserta yang seluruhnya adalah kalangan awas. Hebohnya lagi karena prestasi seperti itu terus dikoleksinya hingga tamat pada 1988.  

Kenyamanannya kembali terusik ketika tim pengawas SMA dari tingkat provinsi bertandang ke sekolahnya, saat itu ia sedang berada di kelas tiba-tiba wakil kepala sekolah mendatangi dan menuntunnya ke kantin belakang sekolah agar tidak terlihat oleh tim pengawas. 

Sebab ada keyakinan di kalangan pengelola sekolah waktu itu bahwa peserta didik yang berkelainan, hanya boleh bersekolah di SLB. Karena kebijaksanaan pimpinan SMA tersebut menerimanya sebagai peserta didik,  adalah suatu kesalahan yang dapat berkonsekuwensi dijatuhkannya sanksi pada sekolah tersebut.

Begitu pula ketika ia bermaksud untuk ikut mendaftar penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) yang merupakan metode penjaringan mahasiswa baru tanpa tes, panitia lokal yang kebetulan adalah wali kelasnya sendiri tidak memperkenankannya untuk mendaftar. 

“Sudahlah Nak, kau tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, selain tidak mungkin diterima, juga toh tidak bisa jadi pegawai sekalipun sarjana. Jangankan tunanetra, orang yang sehat dan lebih pandai dari pada Ananda sekarang ini banyak menganggur. Lebih baik cari jalan pintas saja seperti kursus pijat atau musik biar Ananda lebih cepat dapat penghasilan,” ujar wali kelasnya meyakinkan.    

Karena tidak diperkenankan mendaftar PMDK, diam-diam ia menempuh jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Agar tidak dipersulit oleh panitia penerimaan akibat keadaannya sebagai seorang tunanetra, ia kemudian meminta bantuan seorang guru di SLB A Yapti  untuk mewakilinya mengambil dan mengembalikan formulir.

Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil sehingga ia resmi terdaftar sebagai peserta Sipenmaru tahun 1988. Keberadaannya di lokasi Sipenmaru mengundang perhatian tinggi dari panitia, jurnalis dan para peserta sendiri.

Lagi-lagi karena peristiwa tersebut merupakan hal yang pertama kali dalam sejarah penyelenggaraan seleksi penerimaan mahasiswa baru pada perguruan tinggi negeri di Makassar. Tak pelak lagi, tingkat obyektifitas ujian Daming dapat disebut sebagai yang tertinggi lantaran banyaknya orang yang antusias menyaksikan tata cara tunanetra mengikuti Sipenmaru, yang soal-soalnya dibacakan secara bergilir oleh panitia itu.

Setamat strata satu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada tahun 1994, ia mulai aktif di LSM dan organisasi pemberdayaan penyandang cacat kemudian melanjutkan ke pendidikan advokat. 

Seperti pengalaman sebelumnya,  dalam proses pendaftaran lagi-lagi dihambat oleh panitia ujian walau akhirnya diperbolehkan setelah berdebat panjang dengan pimpinan Pengadilan Tinggi di Makassar selaku pihak yang berwenang untuk menyelenggarakan ujian advokat ketika itu.

Hasilnya? Daming dinyatakan tidak lulus. Ia pun tidak terima, karena dirinya meyakini ketidaklulusannya itu karena faktor kecacatannya, bukan faktor kemampuan. Karena ia merasa dengan mudah menjawab semua pertanyaan yang didiktekan kepadanya. Ia langsung mengajukan protes ke Mahkamah Agung. Tindakan ini membuahkan hasil, ia berhasil dilantik menjadi advokat dengan status lulus susulan. 

Dengan perjuangannya meyakinkan banyak pihak dalam dunia pendidikan dan HAM, dirinya berhasil menamatkan Magister Hukum di Universitas Hasanuddin pada tahun 2002 dan menjadi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin pada tahun 2009.

Meski, secara formal menempuh pendidikan hukum sekuler, Daming tidak mau larut dalam cara berpikir sekuler. Ia selalu berusaha membela agamanya dari segala macam penistaan dan penodaan. Karena menurutnya, hanyalah orang bodoh bila membela HAM sampai melanggar ajaran Islam.[] 

Joko Prasetyo

Dimuat pada rubrik SOSOK Tabloid Media Umat edisi 64 (awal Agustus 2011)


Keterangan foto
Dua narasumber saya:
Bang Daming (kiri) dan Kang Iwan (kanan)
Sumber foto: 
https://www.iwanjanuar.com/2-jam-bersama-komisioner-komnas-ham/
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar