Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pulang



Topswara.com-- Krekek… kik…kik… kreak, keluh engsel besi pagar ibu kos yang hanya mau bergeser sedikit. Namun jemari lentik itu tetap memaksa hingga tersembullah manset putih yang melekat erat pada pergelangan tangannya. “Biarlah tak perlu ditutup lagi, memang biasanya tidak pernah ditutup kok,” ujar seorang gadis manis berkerudung hitam yang turut berjalan, mengantar hingga ke pagar.
 
Yang ditegur hanya tersenyum, sambil menepuk-nepuk tas dipundaknya sendiri ia berkata, “Teh, buku ini segera akan kupinjamkan kepadanya. Agar ia juga paham. Jazakillah atas pinjamannya.”
 
Waiyyaki…” jawab si kerudung hitam.
 
Kemudian si peminjam buku melambaikan tangan dan mengucapkan salam, setelah mendengar balasannya ia pun bergegas.
 
Kakinya mengayun cepat. Menyusul orang-orang yang berjalan di depan. Sesekali pantovel hitam dan ujung kulot kayasnya menyembul dari jilbab yang menjulur hingga menyapu jalan itu. Ia terus menyusuri gang yang menghubungkan antara tempat indekos temannya dengan kampus.
 
Dilaluinya jembatan got, yang airnya menggenang tertahan sampah, yang menghubungkan gang tersebut dengan jalan raya. Penasaran. Ia melihat sekerumunan orang plus polisi. Tampak sepada motor ringsek di pinggir jalan seberang warteg Bu Ida, tempat ia mengimpor kalori bila di rumahnya tidak sempat sarapan. Sedangkan di tengah jalan berserakan kaca bubuk dan genangan kecil darah beku. “Sepertinya telah terjadi kecelakaan,” simpulnya sambil mendekat ke arah kerumunan.

Semakin mendekat dahinya makin kerung. Bola matanya yang jernih itu terus menatap tajam ke arah bebek besi yang tergolek. Bibir yang merah merekah seketika berubah menjadi putih dan kering. “Rijal…, mungkinkah ia?” ujarnya lirih setelah melihat motor itu.
 
Tajam, matanya menatap motor yang seluruh lampunya pecah itu. Kemudian ia menoleh kanan-kiri. Setelah tidak menemukan yang dicari, akhirnya bibir yang berubah menjadi pucat tersebut bertanya pada salah seorang dari kerumunan, “Korbannya mana Pak?”
 
Yang ditanya menjawab “Oh sudah dibawa ke rumah sakit”
 
“Kondisinya?”
 
“Entahlah, terakhir saya lihat sih masih pingsan dan dari telinganya keluar darah,”
jawab saksi mata.
 
Kontan saja, jantung gadis itu berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Kemudian ia berbalik ke arah rumah sakit terdekat. Ia teringat awal perjumpaan dengan Rijal Rojali.

*****

Saat itu, semua mahasiswa baru, yang mengikuti kuliah ta’aruf (ospek/orientasi dan pengenalan kampus), diharuskan membawa 2 balon gas. Selangkah sebelum memasuki gedung serbaguna, tempat kuliah ta’aruf diselenggarakan, dengan iba ia berikan kedua balon tersebut kepada seorang anak kecil yang merengek menginginkan balon yang dipegangnya itu.
 
Ia pun bergegas, kembali ke gerbang kampus untuk membeli balon lagi. Namun sayang, dua balon terakhir baru saja berpindah tangan, dari satu-satunya tukang balon yang masih mangkal di depan kampus tersebut ke seorang lelaki yang juga hendak mengikuti kuliah ta’aruf. “Mang balonnya dua!” pinta gadis itu.
 
“Habis Neng!” jawab penjual balon.
 
Alhamdulillah,” celetuk lelaki pembeli balon terakhir yang masih berdiri di depan penjual balon sambil merogoh saku dan menyodorkan dua ribu rupiah ke tukang balon.
 
Kok sentimen gitu sih?” protes si gadis.
 
Lho benarkan segala puji itu untuk Allah SWT, apakah karena tidak kebagian balon segala pujian bukan untuk Allah lagi?” jawab si lelaki sambil mengulum senyum.
Si gadis tersipu, pipinya merona merah.
 
Wanita tersebut nampak gelisah, ia berkata kepada dirinya sendiri namun cukup terdengar oleh lelaki itu dan si penjual balon, “Bagaimana ya?”
 
“Nih, ambilah!” si lelaki berkata demikian sambil menjulurkan tangan kanannya yang memegang erat kedua ujung tali yang mengikat balon gas, tepat ke depan dada yang saat itu masih belum ditutupi jilbab.
 
Sambil menggelengkan kepala, wanita itu berkata, “Nanti kamu bagaimana?”
Ah soal gampang, tak usah dipikirkan!” jawab si lelaki. Balon pun berpindah tangan. Lelaki itu menolak uang yang disodorkan si gadis.
 
Bibit suka tertabur di hati sang dara.
 
Bangbung ranggaek!” ujar lelaki itu perlahan sambil membalikkan badan hendak men-starter bebek 110 cc-nya itu. Mendengar ungkapan tersebut si gadis langsung menarik punggung kemeja putih Rijal. Lelaki itu pun nyengir, sembari membalikan badan, tangannya menggapai jemari yang merenggut kemejanya. Gadis itu pun menarik surut tangannya. Ia menjulurkan tangan yang satunya lagi, “Nih, ambil lagi balonnya!”
 
Rijal tersenyum keheranan sambil mengambil kembali kedua balon tersebut.
 
Pabalik letah!” kata si gadis merasa satu sama.
 
Rijal pun terpingkal sambil menggebuki jok motornya. Ia baru sadar perkataannya itu menyinggung perasaan perempuan tersebut. Rijal berusaha menghentikan tawanya, sambil menyerahkan kembali balon itu. Sodoran tangannya ternyata ditolak. “Kalau tidak diterima, saya lepas lho!” gertak Rijal.
 
Gadis yang saat itu masih memakai kerudung gaul yang kedua ujungnya hanya dililitkan ke punggung sehingga sering kali kulit langsat mulusnya yang tepat di atas dada terlihat mengangkat telunjuk kanan dan menempelkannya di pipi kanan lalu membuang wajah ke arah kiri, dan berdesis, “Huh, egepe!”
 
Tawa Rijal meledak lagi.
 
“Lho kok sepi ya?” tanya si gadis, sedetik setelah wajahnya dipalingkan ke arah sekitar.
 
Waduh, pasti sudah masuk nih!” jawabnya sendiri.
 
“Bagaimana dong?” masih tanyanya juga, sambil kembali menghadapkan dirinya ke Rijal.
 
Lelaki yang kini duduk dalam posisi siap tancap gas di jok motornya itu, dengan entang menjawab, “au ah gelap”.
 
Si gadis celingukan, ia merasakan ada yang hilang di antara Rijal dan motornya. Akhirnya ia bertanya, “Mana balonnya?”
 
Tuh!” jawab Rijal lebih enteng lagi, sambil mendongakkan kepala ke langit, kedua tangannya tetap memegang stang motor.  
 
Lho kok? Nanti panitia ta’aruf ngamuk bagaimana?” tanya si gadis sambil mengerutkan dahi.
 
Egepe!” balas Rijal.
 
Keduanya terdiam. Seperempat detik kemudian, “Ayo naiklah!” tawar Rijal sambil menderu-derukan gas.
 
“Bener nih?” ujar si gadis, sedikit tidak percaya tercampur rasa senang.
 
Rijal menganggukkan kepala. Si gadis tersenyum membuat hati Rijal berdebar. Motor pun melaju perlahan, angan melayang rasakan dunia ini milik mereka berdua (dan yang lainnya ngontrak?).
 
Jangankan sanksi dari panitia ta’aruf lantaran datang terlambat dan tidak membawa balon, dosa karena ber-khalwat pun tidak mereka pikirkan, jelas-jelas sanksinya jauh lebih berat. Saat itu memang mereka belum tahu bahwa berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram merupakan suatu pelanggaran dalam ajaran Islam.
 
Hanya mereka berdua yang telat dan tidak mengumpulkan balon. Rijal berusaha keras agar sanksi untuk sang putri dilimpahkan semua padanya. Rupanya usaha tersebut merupakan katalisator berseminya cinta di hati putri ayu yang baru saja diboncengya itu.
 
Bibit suka di hati wanita itu kini tumbuh menjadi kecambah. Namun apakah lelaki itu pun menyukai gadis ini? Itulah masalahnya. Pasalnya sejak saat itu Rijal Rojali tidak pernah menemuinya lagi. Ia pun malu, walau sekedar untuk menyengaja agar berpapasan di jalan kampus dan menyapa.
 
Perempuan itu lebih memilih menghindar atau menundukan kepala dan pura-pura tidak melihat bila dari kejauhan sudah terdengar deru kuda besi lelaki idaman. Hingga tiga tahun kemudian, tepatnya hari ini, dua jam sebelum ia menemukan motor tersebut tergeletak, ringsek di pinggir jalan seberang warteg Bu Ida, baru ia menemukan indikasi positif dari lelaki itu.
 
*****

Belum sampai tiga puluh langkah ia berjalan, wanita yang sedang dicoba ini berkata dalam hatinya, “Bisa jadi ia bukan Rijal, motor Trendy 110 cc…, teman sekelasku saja ada tiga orang yang mengendarai motor merek itu, belum lagi mahasiswa lainnya, juga orang lain yang melewati jalan ini.”
 
Air mukanya berubah menjadi ceria, ada harapan di matanya yang berbinar, ada kemungkinan korban kecelakaan itu bukan Rijal, simpulnya.
 
Ia pun balik badan 180 derajat, berlari kecil menuju tempat semula dengan sedikit berteriak ia bertanya kepada seorang polisi yang masih berada di TKP, “Bapak tahu identitas si korban?”
 
“Rijal Rojali! Begitulah nama dalam SIM, KTP dan kartu identitas lainnya yang ditemukan dalam dompet di saku belakang celana katun coklatnya,” jawab polisi itu.
 
Mendengar nama itu, wajahnya berubah total menjadi pucat pasi, lemas sekujur tubuh. Ia pun berbalik kembali dan berjalan ke arah rumah sakit dimaksud, ia terlihat lunglai. “Masyaallah.” ujarnya dalam benak sembari terus mengayunkan langkah. Terbayang jelas kejadian dua jam lalu, terakhir kalinya ia bertemu dengan Rijal.

*****

“Naiklah!” pinta lelaki yang menunggangi Trendy 110 cc, berhenti tepat di depan seorang wanita yang baru saja keluar dari ruang kuliah.
 
“Apa-apan sih kamu, bikin kaget orang saja!” gerutu gadis tersebut, yang memang benar-benar kaget. Kagetnya lebih disebabkan karena ia sama sekali tidak menyangka, ternyata yang menawarkan tumpangan padanya adalah lelaki yang ia idamkan sejak kuliah ta’aruf dulu, bukan lantaran lelaki itu datang dari arah belakang, menyalib dan berhenti tepat di depannya.
 
“Sa…sa..yang sekali, Ka..kau bukan mahram a..a..taupun suamiku!” tolak si gadis agak gugup, jantungnya pun berdetak kencang. Kemudian ia melangkah perlahan melewati Rijal.
 
“Rifka, Kau sudah menikah???” teriak Rijal.
 
Gadis itu menggelengkan kepala tanpa menoleh ke belakang, sambil terus melangkahkan kakinya.
 
“Sudah punya pacar?” tanya lelaki itu lagi.
 
Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik kemudian menjawab dengan ketus, “Haram itu!”
 
Rijal berlari kecil menghampiri Rifka, setelah mencoba men-starter motornya namun gagal, lalu bertanya, “Mengapa, kan…” Perkataannya terputus klakson mobil kapsul merah yang lajunya, dari tempat parkir ke gerbang keluar kampus, terhalangi Trendy yang melintang di tengah jalan.
 
Assalamu’alaikum, Rifka…Alhamdulillah, kita bertemu di sini. Tadinya mau saya telepon,” ujar seorang wanita berkerudung dan berjilbab hitam.
 
“ Eh Teteh, wa’alaikumus salam…” jawabnya.
“Sekarang saja diskusinya, di ‘kosan Teteh ya?”
 
Dalam hati, Rifka mengeluh, mengapa kakak kelas, sekaligus guru ngajinya, datang pada saat ini.
 
“Lho kok diam saja, ayo dong… karena sore ini teteh menggantikan Teh Mira isi pengajian ibu-ibu.” pinta wanita itu.
 
Rifka pun mengangguk walaupan agak berat hati.
 
Mobil pun berlalu seiring dengan menghilangnya Rifka. Rijal jadi celingukan mencari-cari gadis ehmnya itu.

*****

Sembari menyusuri jalan ke rumah sakit, Rifka berandai-andai. “Apakah karena aku, ia celaka. Ia mengendarakan motornya sambil memikirkanku sehingga terjadi musibah itu. Keluar darah dari telinga, berarti kepalanya mengalami benturan yang keras sehingga… ah jangan-jangan dia gegar otak dan … Rijal meninggal.”
 
“Kalau saja aku tadi langsung naik ketika ia tawari tumpangan, mungkin kini aku sedang asyik bersamanya. Ia tidak melamun saat mengendarakan motor yang mengantarkannya pada kematian. Tentu sudah kulakukan bila saja tidak pernah bertemu dengan Teh Ai atau aktivis Muslimah lainnya. Aku akan asyik-asyikan seperti dulu lagi tanpa risih apalagi merasa berdosa. Berdosa… ber… do… sa…” ujar Rifka dalam hati kemudian teringat dosa.
 
Ia menghentikan langkah. Merasakan lemas yang menjalar, menyerang ke seluruh sendi. Kemudian ia duduk seperti duduknya orang yang sedang duduk di antara dua sujud hanya saja wajahnya ditutup oleh kedua telapak tangannya yang berkeringat dingin.
 
“Dosa, astaghfirullah aku telah berdosa. Mestinya aku bersyukur telah Allah SWT. pertemukan dengan orang yang berilmu, yang membinaku dengan baik, yang menjelaskan akidah dan aturan hidup yang benar yang mengajakku berjuang melanjutkan kembali kehidupan islami di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukum Islam secara kaffah,” ujarnya dalam hati mengingat pertemuannya dengan aktivis Muslimah.
 
“Ah bodohnya aku mengapa tadi tidak kujelaskan pada Rijal syariat Islam yang mengatur hubungan pria-wanita seperti yang telah kubaca dari kitab Nizhamul Ijtima’iy fil Islam, Sistem Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam, karya Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhaniy,” sesalnya dalam hati.
 
Terbayang jelas dalam benaknya isi buku itu yang membahas sistem pergaulan dalam Islam, pergaulan pria dan wanita terpisah, mereka diperbolehkan bertemu dan berkomunikasi dalam hal-hal yang dikecualikan, misalnya dalam perdagangan, itu pun yang dibahas hanya masalah barang/jasa yang diperjualbelikan saja, setelah transaksinya selesai, mereka harus berpisah lagi. Islam telah mengharamkan pacaran dan perzinaan sebagaimana juga telah menghalalkan khitbah dan pernikahan.
 
“Mengapa tadi tidak kukatakan pada Teh Ai jangan dulu pergi sebelum kujelaskan aturan Islam tersebut pada Rijal, bila perlu ia sendiri yang menjelaskan pada lelaki itu. Agar ia jelaskan sekalian mengenai tempat khusus dan tempat umum. Rumah dan kendaraan pribadi adalah tempat khusus, tidak boleh berduan dengan lelaki yang bukan mahram ataupun bukan suaminya!” sesalnya dalam hati.
 
Astaghfirullah mengapa tadi saya berpikir sebodoh itu. Bukankah matinya seseorang telah ditentukan waktunya oleh Allah SWT, tak ada satu makhluk pun yang dapat mempercepat ataupun memperlambat datangnya ajal. Jadi, kalaupun dia telah meninggal saat ini, itu bukan berarti karena tabrakan, melainkan sudah datang ajalnya. Ia akan tetap meninggal walaupun ia duduk di sisiku bercengkrama. Na’uzubillah, berarti meninggal dalam keadaan bermaksiat kepada Allah,” gumamnya menginsyafi.
 
Gadis itu berdiri hendak melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Ia terperangah matanya menatap tajam kepada sosok yang kira-kira berjarak seratus meter di depan, yang berjalan ke arahnya. Rifka seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya. Sosok itu semakin dekat dan semakin jelas. Ia mengenakan kemeja putih. Tas gendong yang digantungkan di bahu kirinya. Jaket hitam ditenteng tangan kanannya. Celana katun coklat? tidak lelaki itu tidak mengenakan celana panjang melainkan sarung kotak-kotak hijau.
 
Assalamu’alaikum…!” teriaknya dari kejauhan.
 
“Wa’alaikum salam,” jawab gadis yang keheranan itu.
 
Sepatu pantovel dan ujung celana kayasnya terlihat lagi karena kedua tangannya sedikit mengangkat jilbab kemudian ia berlari sambil berteriak, “Rijal…!”
 
Yang diteriaki bukannya turut berlari menyambut, ia malah mengerutkan dahi kebingungan. Kemudian kedua tangan Rifka dijulurkan ke depan dan terus berlari ke arahnya.
 
Heup… heup… heup…!” cegah lelaki bersarung cap Gajah Berdiri tersebut.
 
Buk… suaru tubuh tubrukan, saking kerasnya sampai mundur beberapa langkah dan nyaris kehilangan keseimbangan. Untung hanya jaketnya yang jatuh. “Rijal, Kau masih hidup”, lirih Rifka sambil kedua tangannya menggerayangi wajah lelaki yang semakin keheranan, namun senang juga, karena sambutannya begitu luar biasa, seolah-olah menyambut suami yang baru saja pulang dari medan jihad.
 
“Stt…, Rifka kita kan belum menikah?” Rijal mengingatkan.
 
“Ups, astaghfirullah,” ujar gadis itu sambil buru-buru menarik kembali kedua tangannya dan segera mundur satu atau dua meter dari hadapan Rijal.
“Maaf, saya khilaf,” ujar gadis itu yang kini menunduk dan terpancarlah rona merah dari wajahnya karena malu.
 
Tujuh detik kemudian. “Hai, hai sudahlah!” ujar Rijal memecah kesunyian.
 
“Rijal apa yang kau katakan tadi?”
 
“Hai, hai sudahlah!”
 
“Yang sebelumnya!”
 
“Oh, ‘heup’. Heup itu berhenti.”
 
“Ih bukan. Itu saya sudah tahu. Yang setelahnya, yang saya maksud.”
 
“Kita kan belum menikah.”
 
“Nah itu.”
 
“Lantas mengapa?”
 
“Belum…?” tanya Rifka sembari mengerutkan dahi dan kedua matanya menatap tajam kedua mata Rijal yang teduh.
 
Lelaki itu pun sedikit nyengir untuk menyembunyikan rasa ge’er. Kemudian wanita tersebut menundukkan pandangan dan berkata dengan perlahan namun cukup jelas terdengar oleh lawan bicaranya, “Belum…, berarti mau?”
 
Rijal tersenyum, senangnya bukan main, lupalah musibah beberapa waktu yang lalu. Setelah shalat Zhuhur ia hendak mengambil celananya yang tertinggal di tempat wudhu. Lelaki ini kaget lantaran tidak ada satu celana pun tergantung di tembok tempat wudhu pria. Kemudian ia berlari ke halaman masjid, tidak ada satu motor pun terparkir di sana. “Innalillahi wa innailaihi rajiun. Ya Allah, motorku…” ujar Rijal dengan tatapan kosong ke tempat parkir motornya yang kini sudah raib itu.
 
Ia pun berniat hendak melaporkan kehilangan motor ke kantor polisi. Sehingga ia pun berjalan kembali ke arah kampus karena kantor polisi terdekat berada di samping kampusnya.
 
“Bila kau tidak keberatan, aku pasti akan menikahimu,” dengan mimik yang serius Rijal berkata demikian.
 
Mendengar itu: kecambah cinta yang tadinya benih kini bertangkai dan berdaun, dipenuhi kelopak bunga yang mempersiapkan diri untuk mekar.
 
Hallooow…” ujar Rijal, memecah lamunan Rifka.
 
Kemudian Rifka berkata, “Stt, katakanlah insya Allah. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di antara kita setelah ini, bagaimana kalau…, “
 
Belum juga Rifka selesai berkata, Rijal menimpali. “Ya… ya… ya, insya Allah. Tapi Kau bilang pacaran itu haram. Jadi bagaimana aku bisa mengenalimu? Saya kan tidak mau beli kucing dalam karung.”
 
Kini giliran Rifka yang tersenyum. “Islam telah mengharamkan pacaran dan perzinaan sebagaimana juga Islam telah menghalalkan khitbah dan pernikahan. Kita akan berdosa dan mendapat azab dari Allah SWT, bila melakukan yang haram dan sebaliknya kita akan mendapatkan pahala dan ridha-Nya bila kita menuruti perintah Allah dan Rasul-Nya”, ujar gadis itu menjelaskan.
 
Kemudian ia mengambil buku dari tasnya dan langsung disodorkan pada Rijal, “Ini, bacalah!”
 
Kemudian Rijal mengulurkan kedua tangannya dan mengambil buku tersebut.
 
Sekitar dua ratus meter dari tempat mereka berdua, tampak seorang lelaki merebut tas yang dipegang seorang ibu. “Jambret… jambret… jambret… tolong jambret…!” teriak seorang wanita itu histeris sambil jingkrak-jingkrak dan telunjuk kananya diacungkan pada jambret yang berlari ke seberang jalan.
 
“Tunggu sebentar! Saya akan menangkapnya,” ujar Rijal pada Rifka yang tanpa menunggu jawaban langsung mengejar penjambret.
 
“Hai tunggu dulu, awas mobil. Rijal…!” Teriak Rifka lebih keras dari teriakan wanita tadi.
 
Braaaaak…, keras sekali suara tumbukan besi berdempul dengan tulang berbalut daging dan kulit, menyusul suara decitan gesekan ban dengan aspal yang tidak mampu menghentikan lajunya mobil pick up yang meluncur deras, sebelum menyentuh Rijal dan menyeretnya hingga beberapa meter.
 
Buku di tangan Rijal pun terpental melambung tinggi, berputar dan pluk jatuh tepat di depan Rifka. Air mata tak terasa meluncur perlahan di permukaan kulit pipi lembut, yang kini seakan-akan darah mogok mengalir ke jaringan pembuluh darah yang tersebar di pipinya itu.
 
Kemudian air mata yang menunjukkan perubahan suasana hati tersebut berhenti sejenak di ujung dagu untuk siap-siap terjun ke bawah. Tetes air mata yang menggantung itu tampak berkilau memantulkan sinar matahari. Sedetik kemudian jatuh tepat di atas buku Kado Pernikahan, karya Mohammad Fauzil Adhim, yang membahas seputar khitbah, pernikahan, dan pendidikan anak yang Islami.
 
Kerongkongannya merasakan haus yang amat sangat. Berkali-kali ia berusaha menelan ludah yang sudah tidak ada lagi di mulutnya. Dengan lirih terdengar suara keluar melalui sepasang bibir yang juga mengering dan pucat, “Innalillahi wa innailaihi rajiun…”[]
 
Sumedang, 2002
Oleh: Joko Prasetyo (Om Joy), terinspirasi kisah nyata

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar