Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Meragukan Delapan Komitmen Calon Kapolri Baru di Tengah Industri Hukum

Pierre Suteki 


Topswara.com-- Laman media Kompas.com, tanggal 20/1/2021 mewartakan bahwa calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo menyampaikan delapan komitmennya bila dilantik memimpin institusi Polri nanti. Delapan komitmen itu terdiri dari: 

1. Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan atau PRESISI).
2. Menjamin keamanan untuk mendukung program pembangunan nasional.
3. Menjaga soliditas internal.
4. Meningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI-Polri, serta bekerja sama dengan APH dan kementerian/lembaga lain untuk mendukung dan mengawal program pemerintah.
5. Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreativitas yang mendorong kemajuan ekonomi Indonesia.
6. Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan.
7. Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restorative justice dan problem solving.
8. Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinekaan. 

Mungkinkah Calon Kapolri Baru definitif sungguh-sungguh  mampu merealisikan kedelapan komitmennya dalam menjalankan tugas pokok kepolisisan RI sementara selama ini yang dikenal dalam penegakan hukum kita adalah industri hukum?

Industri hukum menjadikan pemerintah sebagai extractive institutionsebagai lambang negara kekuasaan bukan negara hukum. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif yang akan membuat wajah penegakan hukum itu menjadi bopeng. 

Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng itu dapat dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya: 

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma. 
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda). 

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Menkopolhukam tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri. 

Menko Polhukam Mahfud MD  dalam ILC tanggal 11 Pebruari 2020 menyebut industri hukum masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Dia menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya. Ia mencontohkan dagang hukum bisa berupa mengalihkan perdata ke pidana, pidana ke perdata. Bahkan ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri supaya dapat menceraikan istrinya sendiri. 

Industri hukum yang dimaksud Mahfud yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Sindiran ini dilontarkan Mahfud MD kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Kalau ada INDUSTRI HUKUM berarti ada: 

1. Police Corporate
2. Prosecutor Corporate
3. Court Corporate
4. Prison Corporate dan
5. Advocate Corporate 

Bukankah begitu? Yang terakhir akan terjadi: Indonesia Corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah maunya Negara Hukum  Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?

Mengapa kita menyangsikan 8 Komitmen Calon Kapolri baru tersebut di muka? Saya tertarik dengan analisis jurnalistik yang dibuat oleh Wartawan FNN Luqman Ibrahim Soemay tanggal 19 Januari 2021. Luqman secara eksplisit meragukan kemampuan kemauan dan komitmen Calo Kapolri tersebut untuk membawa penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik. Mengapa demikian? Karena menurut Luqman harus diakui bahwa Calon Kapolri mempunyai masalah nyata, yang tidak bisa disederhanakan, juga tidak bisa dibiarkan. Akan sangat membahayakan bangsa dan negara ini ke depan. Apa masalah nyata Sigit itu? Menurut Luqman,  Bareskrim yang dikomandani  itulah  yang memiliki rekam jejak "bopeng"-nya penegakan hukum di Indonesia sehinggabterjebak dalam industri hukum yang tadi saya singgung. 

Beberapa rekam jejak yang disodorkan oleh Luqman Ibrahim Soemay dan ditengarai menjadi penyebab keraguannya terhadap komitmen Calon Kapolri baru dalam menyukseskan tugas dan fungsi pokok Polri adalah sebagai berikut: 

Pertama,  Bareskrim yang dikomandani oleh Calon Kapolri inilah yang menyelidiki peristiwa penembakan oleh anggota Polda Metro Jaya terhadap enam warga negara, laskar Anggota Front Pembela Islam (FPI) di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Bahkan penyelidikannya itu telah sampai level rekonstruksi peristiwa. Di akhir investigasinya Komnas Ham menyimpulkan telah terjadi unlawfull killing (extrajudicial killings) terhadap anggota laskar FPI. 

Kedua, Bareskrim yang dikomandani Sigit inilah yang memanggil dan memeriksa Edy Mulyadi, wartawan senior dari Portal Berita FNN.co.id. yang ditugaskan oleh redaksi FNN.co.id untuk menginvestigasi pembunuhan yang terjadi di kilometer 50 tol Japek itu. Pemeriksaan penyidik bareksirim terhadap Edy Mulyadi dilakukan tanpa melalui persidangan etik atas konten berita di Dewa Pres. Padahal Dewan Pers adalah institusi yang ditugaskan negara untuk mengadili pelanggaran atas kode etik jurnalistik dan pers sebelum diperiksa oleh penyelidik kepolisian. 

Edy Mulyadi  malah dipanggil dan diperiksa Bareskrim begitu saja. Apa Sigit tidak tahu bahwa bahwa orang yang dapat dijadikan saksi dalam satu perkara itu adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri peristiwa tersebut? Masa Kabareskrim tidak tahu prinsip hukum yang sangat sesederhana seperti itu? Kabareskrim tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, atau memang arogan? 

Ketiga, Bareskrim juga yang melakukan penangkapan terhadap Jumhur Hidayat, Dr. Sahganda Nainggolan dan Anton Permana. Apakah Kabareskrim tidak tahu protokol penangkapan? Apakah penangkapan ini diperintahkan langsung oleh Jendral Idham Aziz, Kapolri, sehingga Kabareskrim tidak berdaya menolaknya? Jumhur, Sahganda dan Anton diborgol tangannya. 

Bandingkan dengan empat laskar anggota FPI yang dimuat petugas Polisi di mobil tanpa diborgol tangan atau kakinya. Padahal menurut versi Kapolda Menro Jaya Fadil Imran, telah didahului dengan tembak-menembak. Apa begitu hukum yang berlaku di Bareksrim yang dipimpin oleh Sigit,  Komjen yang sudah dicalonkan oleh Jokowi jadi Kapori ini? 

Keempat, sejauh ini Sigit diam soal temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) atas pembunuhan yang menjijikan terhadap empat orang anggota Laskar FPI. Padahal Komnas HAM sudah menyebut peristiwa itu “unlawfull killing”. Orang tahu temuan ini diumumkan Komnas HAM jauh setelah Bareskrim melakukan rekonstruksi atas peristiwa itu. Orang atau publik tahu itu. 

Kalau saja Komnas tidak mengumumkan temuannya, tentu Bareskrim yang Sigit pimpin akan bekerja sesuai dengan reskonstruksi yang telah dilakukan itu. Bekerja berdasarkan rekonstruksi jelas maknanya. Enam orang FPI itu mati secara sah, alias menurut hukum. Mengapa? Sesuai dengan pernyataan resmi Irjen Pol. Fadil Imran, Kapolda Metro, mereka melawan petugas. 

Kecuali tidak diumumkan, dan itu kami ragukan, sampai sejauh ini, Bareskirm yang dipimpin Sigit, sang calon Kapolri ini, tidak berbuat apapun. Tidak terlihat tanda-tanda Bareskrim yang dipimpim Sigit sedang berkerja menyidik peristiwa pembunuhan yang unlawful tersebut. 

Kelima, apakah calon Kapolri ini, tidak tahu bagaimana Dr. Ahmad Yani, SH.MH. mau ditangkap Bareskrim, atau apapun namanya itu? Apa Sigit tidak tahu pemanggilan terhadap Dr. Ahmad Yani, SH.MH harus dilakukan dengan mengerahkan para penyidik atau petugas malam-malam ke kantornya di Jalan Matraman? Mengantar surat panggilan kok banyak orang? Apa begitu hukumnya Pak Sigit? 

Keenam, apakah kewenangan Sigit sebagai Kabareskrim begitu terbatas? Sehingga tidak ada satu tindakan yang nyata-nyata terlihat oleh publik dalam merespons penanganan orang-orang yang dituduh melakukan pembakaran di halte Busway Sarinah Thamrin pada demo UU Cipta Kerja? Dari video yang beredar di masyarakat, para pelaku pembakaran halte Buway Sarinah Thamrin itu berjalan penuh percaya diri? Tidakkah pada peristiwa itu, Najwa Shihab, Jurnalis yang menggawangi acara Mata Najwa mengedarkan video yang memperlihatkan adanya orang lain di luar mereka yang telah ditangkap itu? Apakah mereka yang terekam di gambar yang diedarkan Najwa Shihab itu telah diselidiki? Apakah yang telah Kabareskrim Sigit lakukan terkait pembakaran halte Busway itu? 

Pada prinsipnya Luqman meragukan komitmen Calon Kapolri dengan dalih bahwa kalau soal-soal yang "seelementer" itu saja tidak mampu direalisasikan oleh Sigit dalam pekerjaan teknis, apa yang bisa bangsa ini harapkan dari Sigit sebagai Kapolri yang mampu mendekorasikan republik tercinta ini dengan keadilan hukum? Apa Sigit mengerti dan faham kalau Republik Indonesia ini telah mengharamkan ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk hukum? 

Berdasar analisis Luqman Ibrahim Soemay di muka, tampaknya kita memang perlu meragukan komitmen Calon Kapolri khususnya untuk "bringing justice to the people" dalam penegakan hukum karena menurut Luqman telah ada fakta  yang menorehkan tinta hitam dalam penegakan hukum yakni misalnya terbukti adanya nyawa anak-anak FPI diambil dengan cara paling jijik, tak beradab, bar-bar itu, jorok, primitif. Fakta ini berhasil menjungkir-balikkan “Polisi Promoter” yang sangat dibanggakan Prof. Dr. Tito Karnvan Ph.D sewaktu menjabat sebagai Kapolri, namun terkesan tidak mampu untuk menggetarkan nurani Sigit, lalu apa maknanya? 

Luqman pun selanjutnya menanyakan apakah tidak wajar orang berhipotesa bahwa nyawa-nyawa akan melayang lagi dalam perkara yang belum dapat diduga? Mungkinkah nyawa-nyawa anak bangsa akan diambil dengan cara-cara yang menjijikan, jorok, primitif, tidak beradab, dan bar-bar oleh petugas-petugas polisi, di masa Sigit menjadi Kapolri akan semakin sering terjadi? 

Komitmen penjabat Kapolri, siapa pun orangnya, tampaknya akan sulit untuk diwujudkan ketika kita masih tetap terjebak dan berkubang dalam industri hukum. Kita perlu keluar dari kubangan yang menjijikan, jorok, primitif dan barbarian ini.

Sebagai negara hukum, Indonesia membutuhkan sebuah sistem hukum di mana negaralah yang mempunyai otoritas penuh dalam menegakkan penerapan hukum. Negara berdaulat penuh untuk melaksanakan seluruh hukum, negara tidak boleh dalam kendali atau intervensi sebuah kelompok tertentu (oligarkh) dalam melaksanakan penegakan hukum. Dan maka dari itu pula para polisi, jaksa atau hakim, pengacara di dalam sistem hukum yang baik, yang diberi amanah untuk mengadili suatu perkara haruslah dari orang-orang yang berderajat sebagai manusia terpilih yang  memahami betul perkara dan hukum-hukum yang telah dibentuk dengan cara terbaik sehingga tidak gegabah bahkan keliru dalam menjatuhkan suatu vonis. 

Dengan penerapan hukum yang berlandaskan kebenaran dan keadilan yang tegas seperti ini akan secara nyata dapat melindungi umat/masyarakat dari berbagai tindakan kejahatan serta memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat atau para penegak hukum dari praktik-praktik penyimpangan dalam penegakan hukum termasuk terlibat dalam praktik industri hukum. 

Maka kata kuncinya adalah akhlak! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang harus, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan. 

Jika benar, Calon Kapolri tunggal Pak Sigit dilantik menjadi Kapolri, saya tetap berharap Kapolri baru ini mampu menghentikan praktik industri hukum dimulai dari institusi yang dipimpinnya. Buktikan bahwa Polri berkarakter promoter dan presisi, bukan sebaliknya non-promoter dan non-presisi. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang,  Kamis: 21 Januari 2021
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar