Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Eks-HTI Dilarang Mengikuti Pilkada dan Pilpres?



Jika berita bertitel: "Draf RUU: Eks HTI Setara PKI, Dilarang Ikut Pilpres-Pilkada" yang dimuat dalam CNN Indonesia.com tanggal 23 Januari 2021 ini benar, sungguh  saya turut prihatin. DPR harus paham PUTUSAN MK No. 011-017/PUU-I/2003. 

Rumusan pasal UU No. 12/2003, yang memicu permohonan judicial review menyatakan bahwa "calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat”, pada huruf g, yakni: 

“bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibatlangsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.” 

Amar putusan MK atas perkara No. 011-017/ PUU-I/2003, sebagai berikut: 

1. Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan;
2. Menyatakan Pasal 60 huruf g bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 60 huruf g tidak mempunyai kekuatan  hukum mengikat. 

Apakah DPR akan mengabaikan Putusan MK ini? Lalu bagaimana eks HTI akan dilarang untuk ikut Pilkada dan Pilpres?  Meski perkiraan saya pun, ada atau tidak adanya UU eks HTI juga tidak "ngiler" menjadi anggota legislatif. Hanya persoalannya, kita ini negara hukum sehingga DPR dan Presiden harus taat hukum, termasuk taat pada Putusan MK. Tidak bisa "nggugu karepe dhewe", semaunya sendiri. 

Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar Hak dipilih dan Dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diberikan kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaimana tersebut di muka. 

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (24/2/2003) petang, menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya."  
Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya. 

Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang- undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja. 

Tidak Tepat: Menyamakan Khilafah Ajaran Islam dengan Komunisme. 

Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. 

Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena  itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll. 

Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta. 

Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah (HTI) disamakan dengan pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama Islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. 

Syahdan! Namun, demikianlah yang terjadi di Indenesia. Karena kepentingan tertentu yang berdalih demi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika membuat para pengambil kebijakan publik terkesan "ngawur" dan "ugal-ugalan" karena tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang absah dan dapat dipertanggungjawabkan bahkan kebijakan itu diambil berdasarkan kemauan politik. 

PKI itu jelas dilarang, sesuai dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 jo UU No. 27 Tahun 1999. Itu pun telah dilakukan moderasi terhadap organisasi yang radikal tersebut melalui Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003. Sekali lagi saya myatakan bahwa Putusan MK 2003 itu menyatakan bahwa Pasal 60  Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. 

Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Kita tahu persis bagaimana peran DPR, dan DPRD dalam pembentukan hingga pelaksanaan suatu UU. Mantan PKI saja boleh dipilih, mengapa mantan anggota HTI yang telah dibubarkan pula oleh Pemerintah dipersekusi, dicabut haknya dalam politik pemerintahan. Adilkah? 

Sekali lagi saya tegaskan, jika terhadap para bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya diberikan hak dipilih (dalam konteks yang lebih luas), tetapi mengapa mantan anggota HTI dilarang menggunakan hak politik dan menduduki jabatan tertentu di pemerintahan? Hal ini yang saya katakan diskriminatif, represif dan otoriter dalam penegakan hukum. Adilkah menegakkan hukum sembari melakukan pelanggaran hukum dan HAM? Atas dasar ini apakah kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di negeri ini telah terjadi pelanggaran HAM yang berkedok hukum? Tabik...!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Sabtu: 23 Januari 2021
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar