Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Nikah Dini: Narasi Perlindungan dalam Balutan Sekuler


Topswara.com -- Program Duta Generasi Berencana (GenRe) yang digagas BKKBN terus dikampanyekan sebagai strategi pencegahan pernikahan dini. Ditegaskan bahwa remaja diarahkan untuk menunda pernikahan, menjauhi seks bebas, dan membangun perencanaan hidup (RRI, 26/11/2025). 

Sementara itu, Antara News (24/11/2025) memuat pernyataan Pemprov Kalimantan Selatan bahwa pernikahan dini dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dan pelanggaran konvensi hak anak.

Secara praktik, kebijakan ini terlihat progresif. Negara hadir sebagai regulator dan fasilitator: menetapkan batas usia pernikahan, memperketat dispensasi, menjalankan edukasi kesehatan reproduksi, serta menghubungkan program dengan pencegahan stunting dan putus sekolah. 

Namun di titik inilah persoalan ideologis muncul. Dalam kerangka negara sekuler, problem pernikahan dini dipandang semata sebagai isu teknis: statistik kesehatan, risiko sosial, dan outcome ekonomi. Yang diabaikan adalah dimensi terdalamnya: krisis makna pernikahan dan kegagalan pembentukan mentalitas generasi.

Islam memandang pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan bagian dari ibadah dan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. 

Allah SWT berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu… jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nûr: 32)

Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu (al-bâ’ah), maka hendaklah ia menikah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata mampu dalam hadits ini tidak semata bermakna biologis atau usia, tetapi kesiapan memikul tanggung jawab yang utuh: fisik, mental, finansial, sekaligus spiritual. 

Islam tidak menjadikan umur sebagai ukuran tunggal, tetapi kesiapan melaksanakan taklif syar’i. Bahkan kaidah fiqih menegaskan bahwa menolak mudarat harus didahulukan daripada menarik maslahat. 

Menikah tanpa kesiapan justru bertentangan dengan tujuan syariah dalam menjaga jiwa, keturunan, dan ketenteraman keluarga.

Di sinilah letak perbedaan mendasarnya. Islam tidak hanya memberikan hukum, tetapi membentuk kepribadian pemuda agar siap tunduk pada hukum tersebut. Islam menanamkan akidah sejak dini, menjadikan halal-haram sebagai standar berpikir, dan menjadikan ridha Allah sebagai orientasi hidup. 

Seorang pemuda dalam Islam dididik untuk memahami bahwa setiap tindakan berada dalam koridor pertanggung jawaban di hadapan Allah. Ia belajar menundukkan syahwat dengan iman, menata emosi dengan takwa, serta menguatkan tanggung jawab dengan kesadaran bahwa hidup ini adalah amanah.

Dalam sistem pendidikan Islam, pemuda tidak sekadar diajari “takut risiko”, tetapi dikuatkan rasa takut akan dosa. Mereka tidak hanya dibekali informasi biologis, tetapi ditanamkan kesadaran ruhiyah. Inilah yang melahirkan kepribadian Islam: pola pikir dan pola sikap yang tunduk pada hukum syarak. 

Ketika kepribadian ini tertanam, keputusan untuk menikah atau menunda tidak lahir dari tekanan aturan negara, tetapi dari kesadaran sbagai hamba Allah yang siap atau belum siap memikul amanah.

Sebaliknya, dalam sistem sekuler, negara mendorong penundaan tetapi tidak membangun kesiapan. Negara menekan angka, tetapi tidak menguatkan ruh. Remaja diarahkan takut menikah karena risiko medis dan beban ekonomi, bukan karena kesadaran akan amanah syar’i. 

Akibatnya lahirlah generasi yang kelak “siap menikah secara administratif”, tetapi lemah dalam tanggung jawab dan kepemimpinan keluarga.

Lebih jauh, negara cenderung berlepas tangan setelah akad terjadi. Tidak ada sistem yang benar-benar menjamin keluarga baru bisa hidup kokoh. Tekanan ekonomi, mahalnya pendidikan, dan sulitnya lapangan kerja dibiarkan tanpa solusi struktural. 

Pernikahan dini pun diposisikan sebagai biang masalah, padahal akar sesungguhnya adalah sistem yang gagal memanusiakan pernikahan sebagai institusi suci.

Karena itu, persoalan utamanya bukan semata usia pernikahan, tetapi kegagalan sistem dalam membentuk manusia yang siap menjalankan hukum Allah. Ketika generasi dipercepat dewasa secara biologis oleh arus liberal, namun dilemahkan secara mental dan spiritual, maka pernikahan muda ataupun tua akan tetap rapuh.

Program seperti Duta GenRe patut diapresiasi sebagai ikhtiar teknis. Namun tanpa perubahan paradigma dari sekadar pencegahan menuju pembentukan kepribadian Islam yang tunduk pada syariat ia hanya akan menjadi tambal sulam. Sebab bagi Islam, pernikahan bukan persoalan sosial semata, melainkan bagian dari bangunan peradaban.

Jika negara sungguh ingin menyelamatkan generasi, maka yang dibutuhkan bukan hanya regulasi dan kampanye, tetapi keberanian meninggalkan sekularisme dan mengembalikan ideologi Islam sebagai fondasi kebijakan. Tanpa itu, pernikahan dini akan terus diperdebatkan, sementara krisis kesiapan generasi tetap tumbuh. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar