Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hutan Dibeli Publik? Dampak Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- Di tengah tingginya bencana alam di Indonesia, terutama yang kini paling parah melanda wilayah Sumatera, Pandawara Group kembali mencuri perhatian publik dengan ide besar dan tak biasa. 

Bukan sekadar kampanye, lima pemuda pegiat lingkungan ini memunculkan gagasan untuk membeli hutan-hutan di Indonesia melalui donasi masyarakat. (Yoursay.suara.com, 07/12/25).

Mereka membuka jalur donasi dan menyeru “seluruh warga” untuk ikut ambil bagian dalam upaya menjaga kelestarian hutan. (yoursay.suara.com, 07/12/25). Respons publik pun bergema, sejumlah figur publik bahkan menyatakan kesiapannya mendukung secara materi, sebagai wujud nyata kepedulian terhadap lingkungan. 

Inisiatif ini muncul di tengah keprihatinan atas kerusakan hutan, deforestasi, dan dampak lingkungan yang semakin nyata, membuat banyak orang bertanya: “Apakah kepedulian individu dan komunitas saja cukup, atau dibutuhkan perubahan sistemik?”

Dampak Sistem yang Salah: Ketika Alam Hanya Dipandang Komoditas

Gerakan seperti ini muncul sebagai respons atas kegagalan sistem dominan saat ini dalam melindungi bumi. Di bawah sistem kapitalis dan sekuler, hutan, laut, dan alam sering dianggap sebagai komoditas ekonomi: objek eksploitasi, investasi, dan konsumsi. 

Hutan dijual, ditebang, dialihfungsikan demi keuntungan jangka pendek. Hal ini menyebabkan krisis ekologi: banjir, longsor, rusaknya habitat, serta hilangnya biodiversitas; sekaligus krisis kemanusiaan: rakyat lokal kehilangan mata pencaharian, masyarakat adat kehilangan tanah warisan, dan generasi mendatang kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan alam yang lestari.

Ketika sistem hanya mengedepankan keuntungan dan pasar, maka keberlanjutan, tanggung jawab moral, dan kepedulian terhadap makhluk lain menjadi terpinggirkan. Kini, banyak pihak yang menyadari bahwa sekadar regulasi parsial, yakni ijin yang ketat, moratorium, sanksi administratif tidak cukup. 

Karena akar masalah ada pada paradigma bahwa alam dilihat sebagai barang dagang, bukan sebagai amanah Ilahi yang harus dijaga, diwariskan, dan dimanfaatkan secara adil dan bertanggungjawab.

Dalam Islam, seluruh alam , yakni hutan, laut, gunung, binatang, manusia adalah ciptaan Allah dan merupakan amanah. Manusia diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi: menjaga, memelihara, dan mengelola dengan adil. 

Alam bukan milik sekelompok elit, bukan objek investasi semata, melainkan titipan yang harus dijaga haknya bagi generasi sekarang dan mendatang.

Al-Qur’an dan sunnah mengajarkan bahwa memelihara alam adalah bagian dari iman dan tanggung jawab sosial. Zalim kepada makhluk lain adalah dosa besar. Oleh karena itu, eksploitasi yang membabi-buta, kerusakan lingkungan, dan kerugian massal dipandang sebagai pelanggaran amanah.

Islam juga mengajarkan prinsip keadilan: bahwa kekayaan alam dan sumber daya harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan seluruh umat, tidak hanya untuk segelintir elit. Negara atau pemimpin Islam, bila tegak dalam naungan syariat memiliki kewajiban menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pemeliharaan alam.

Gerakan seperti Pandawara adalah bukti bahwa masyarakat merindukan perubahan, tetapi perubahan sejati tidak cukup pada aksi komunitas, melainkan memerlukan kerangka sistemik. Di sinilah konsep Daulah Islam menjadi relevan sebagai solusi jangka panjang dan menyeluruh.

Dalam Daulah Islam, hutan dan sumber daya alam tidak dijual ke perusahaan swasta sebagai komoditas spekulatif. Mereka dikelola sebagai milik umum (‘milkiyah ‘ammah’), diurus oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan semua , bukan untuk keuntungan segelintir pihak.

Setiap tindakan yang merusak alam, menebang pohon sembarangan, atau merusak habitat tanpa izin syar’i disanksi sesuai hukum Islam. Ini mencegah eksploitasi masif dan mendorong penghormatan terhadap lingkungan sebagai bagian dari tugas moral.

Keuntungan dari sumber daya alam, hasil pengelolaan hutan, kayu, hasil hutan non-kayu, konservasi dibagi secara adil: untuk kemaslahatan rakyat, kesejahteraan masyarakat lokal, pendidikan, layanan kesehatan, dan pembangunan berkelanjutan. Tidak ada monopoli, tidak ada oligarki.

Warga tidak hanya jadi penonton. Di Daulah Islam, setiap Muslim memiliki hak dan tanggung jawab atas bumi. Gerakan seperti patungan membeli hutan bisa terintegrasi dengan mekanisme wakaf, infaq, sadaqah memudahkan umat berpartisipasi menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah kolekti
Gerakan patungan membeli hutan yang digagas Pandawara Group menunjukkan bahwa hati banyak orang masih tersentuh, Dimana hasrat menjaga alam dan masa depan anak cucu belum padam. 

Tetapi jika kita benar-benar ingin alam ini lestari, manusia damai, dan generasi selamat, kita butuh lebih dari kepedulian sementara. Kita butuh sistem yang menyeluruh, Dimana sistem yang menempatkan alam dan manusia sebagai amanah Allah, bukan sebagai komoditas semata.

Daulah Islam bukan sekadar idaman masa lalu; ia adalah jawaban atas krisis kemanusiaan dan ekologis saat ini. Semoga kita diberi kekuatan untuk mewujudkan peradaban di atas keadilan Ilahi di mana hutan dijaga, manusia dihormati, dan bumi kembali menjadi rumah yang aman untuk semua makhluk.


Oleh: Yolanda Anjani, S.Kom.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar