Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Teman Ideologis Bukan Sekadar Ada, tetapi Menguatkan Jalan Hidup


Topswara.com -- Hidup itu sebenarnya sederhana, Sob. Yang bikin ruwet justru manusia, lebih tepatnya, manusia yang salah masuk circle. Apalagi jenis teman yang kalau datang bawa vibes kayak angin ribut masuk sebentar, ninggalin kekacauannya lama. 

Makanya enggak semua orang cocok dijadikan teman. Kualitas itu jauh lebih bernilai daripada kuantitas. Mau teman satu geng isi 20 orang tetapi semuanya bikin mentalmu loyo kayak baterai HP 1 persen, apa gunanya? Mending satu dua orang yang kalau kamu curhat bilang, “ayo kita hadapi dengan iman, bukan dengan drama.”

Rasulullah SAW sudah kasih warning premium soal pertemanan. Beliau bersabda, “seseorang itu mengikuti agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa ia berteman.”  (HR. Abu Dawud). 

Ini bukan sekadar pengingat, ini alarm hidup. Teman itu kayak GPS, kalau salah pilih, kita ikut nyasar. Kalau temannya ahli gosip, lisannya ikut gatal. Kalau temannya ahli kebaikan, hatinya ikut lembut. Circle itu menentukan arah dan arah menentukan nasib.

Ibnu Qayyim rahimahullah membagi teman menjadi tiga. Pertama, seperti makanan: dibutuhkan setiap saat. Kedua, seperti obat: dibutuhkan kadang-kadang. Ketiga, seperti penyakit: harus dijauhi sebelum menjalar ke akal sehat. 

Masalah zaman now, kategori “penyakit” justru sering dipromosikan sebagai “bestie forever”. Dikit-dikit nongkrong, pulang-pulang dompet boncos, mental capek, iman tiris. Kadang untuk jaga gaya, utang makin subur, SPP anak jadi korban. Nah, kalau sudah begini, jelas bukan circle yang berkah.

Ibnu Taimiyah juga mengingatkan bahwa hati itu super gampang meniru. Kamu awalnya tenang, adem, anteng. Lalu masuk circle yang hobinya panik nasional, akhirnya kamu ikut stres cuma gara-gara sendok hilang. Begitulah cepatnya pengaruh lingkungan.

Di titik ini, pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani masuk dengan sangat tajam. Dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I, beliau menjelaskan bahwa manusia terbentuk dari mafahim (pemahaman), maqayis (standar menilai), dan qana’at (keyakinan).

Lingkungan, termasuk teman, sangat menentukan arah tiga hal ini. Circle yang hidupnya cuma berputar pada materi, drama percintaan, dan gaya hidup sekuler, akan menyeret pemahaman kita ke arah yang sama, pelan tapi pasti.

Sebaliknya, circle yang ideologis yang menjadikan Allah sebagai standar kebenaran akan membentuk karakter yang kuat. Teman jenis ini bukan cuma teman nongkrong, tapi teman yang membangun bi’ah islamiah, lingkungan yang menumbuhkan ketakwaan. 

Bukan cuma bilang, “sabar ya sob,” tetapi juga mengajak ngaji, mengingatkan tujuan hidup, menegur saat salah, menguatkan saat lemah, dan mendampingi dalam dakwah.

Inilah teman ideologis, mereka bukan hanya hadir, tetapi mengarahkan. Teman yang baik itu bukan sekadar yang nemenin ketawa sampai perut kaku. Bukan yang cuma ngajak healing tiap minggu atau ngajak belanja biar “self reward”. 

Teman yang baik itu yang nyelipin nasihat tanpa bikin telinga panas, yang bilang, “yuk ngaji bareng,” bukan “yuk gibah bareng.” Yang kalau kamu down, dia bilang, “Allah cukup,” bukan “udah balas aja, biar puas.” 

Dia enggak cuma nemenin di masa senang, tapi hadir di masa rapuh, nahan tanganmu biar enggak jatuh ke maksiat, bukan nambah bensin ke emosimu.
Teman ideologis juga bukan cuma soal nasihat. Dia ada saat kamu butuh. Baik materi atau non-materi. Ada yang bantu tenaganya, ada yang bantu pikirannya, ada yang bantu finansial kalau darurat. 

Teman seperti ini enggak pelit perhatian. Bukan tipe yang cuma muncul kalau butuh tumpangan. Bukan yang cuma ingat saat event foto bareng. Tetapi teman yang memikul bareng, menangis bareng, berdoa bareng, berjuang bareng dan Ini bukan pertemanan biasa. Ini pertemanan yang jalan lurusnya sama.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa manusia hanya akan kuat jika berada dalam komunitas yang menguatkan akidahnya. Teman yang baik itu bukan hanya yang membuatmu nyaman, tapi yang membawamu ke arah tujuan hidup sebagai hamba Allah.

Karena circle itu bukan sekadar tempat berbagi cerita, tapi tempat membangun orientasi hidup. 

Kalau circle mu jualannya dunia, hatimu ikut terjual. Kalau circlemu berjuang untuk Islam, jiwamu ikut terangkat. Jadi sob, kalau ada orang bilang, “Ih kok pilih-pilih teman sih?” Jawab dengan elegan:
“Ini bukan pilih-pilih. Ini menjaga iman dan mental. Dua-duanya mahal.”

Karena kenyamanan mental itu bukan hadiah random dari hidup, tapi hasil dari keberanian memilih siapa yang berhak masuk dalam lingkaranmu. Ingat, di akhirat nanti ada dua tipe teman, yaitu yang narik kamu ke surga dan yang narik kamu ke neraka. Masa iya kita mau diseret kayak karung beras ke tempat yang tidak kita inginkan?

Makanya, pilihlah teman yang bukan hanya menyenangkan, tetapi menegakkan. Bukan sekadar menghibur, tapi mengarahkan. Bukan yang cuma bilang “semangat”, tetapi yang bilang “ayo istiqamah ngaji dan dakwah”.

Pilih teman yang ngajak ngaji, bukan ngajak gibah. Yang ngajak taat, bukan ngajak tersesat.

Karena ujungnya, ketika dunia runtuh, yang tersisa bukan keramaian circle, tetapi ketenangan hati dan itu hanya lahir dari circle ideologis, circle yang benar.[]


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar