Topswara.com -- Pesawat boleh sama, landasan bisa seragam, namun siapa yang mengatur langit menentukan arah bangsa. Bandara bukan sekadar terminal udara, tetapi pintu geopolitik yang menentukan siapa mengatur arus manusia, logistik, hingga data keamanan.
Karenanya, ketika pemerintah kian membuka peluang pengelolaan bandara oleh pihak asing, sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan sekadar layanan, tetapi kedaulatan negeri.
Ketua DPRD Kalsel, menghadiri penerbangan perdana Banjarbaru–Kuala Lumpur dari Bandara Syamsuddin Noor (Jurnal Kalimantan, 20/10/2025). Ia menyebutnya momentum bagi pertumbuhan ekonomi dan pariwisata. Narasinya terdengar optimistis.
Namun kita perlu bertanya: kemajuan ini untuk siapa? Apakah jalur udara internasional benar menguatkan ekonomi rakyat, atau justru membuka pintu penetrasi modal dan budaya asing?
Sebelumnya, Kementerian BUMN telah menggandeng operator asing dalam pengelolaan beberapa bandara besar seperti di Bali dan Jawa (CNBC Indonesia, 22/01/2024). Pola yang sama kini merambah daerah dengan dalih modernisasi.
Inilah wajah baru kolonialisme: ketika kontrol atas langit dan bandara berpindah tangan, negara kehilangan alat strategis. Padahal bandara adalah simpul pertahanan, imigrasi, logistik, dan diplomasi.
Negara besar tidak pernah menyerahkan kendali itu kepada asing. Mengapa kita begitu mudah membuka gerbangnya?
Liberalisasi bandara lahir dari paradigma kapitalistik yang menuhankan investasi. Negara hanya fasilitator pasar, bukan penjaga kedaulatan. Segala hal dikomersialkan, termasuk udara.
Ketika bandara diposisikan sebagai komoditas, logika keuntungan mengalahkan keamanan dan kemaslahatan. Banyak negara berkembang tampak modern, tetapi sejatinya menjadi pelayan kepentingan global.
Islam memandang bandara dan jalur udara secara berbeda. Dalam pandangan Khilafah, bandara adalah milik umum, aset strategis umat yang dikelola negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Negara menjadikannya gerbang dakwah, ibadah, dan perdagangan halal.
Langit bukan ruang bebas bagi intervensi global, tetapi wilayah hukum Islam yang wajib dijaga. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka.” Tanggung jawab itu mencakup keamanan udara, darat, dan laut.
Sejarah mencatat bagaimana perdagangan internasional di masa Abbasiyah berlangsung dinamis tanpa tunduk pada kekuatan asing. Baghdad menjadi pusat logistik dunia, menghubungkan Andalusia hingga Cina. Jalur dagang terbuka, tetapi tetap dalam kendali negara.
Begitu pula Utsmani yang menguasai Selat Bosphorus, gerbang kapal Eropa Asia, namun kontrol pajak dan keamanan tetap di tangan Sultan. Prinsipnya jelas: terbuka untuk perdagangan, tertutup bagi dominasi.
Dalam visi khilafah, bandara bukan hanya sarana mobilitas, tetapi simbol wibawa Islam. Dari sanalah umat berangkat menunaikan haji, berdagang, menuntut ilmu, atau membawa dakwah ke negeri lain.
Sistem imigrasinya menjaga kehormatan pendatang; sistem perdagangannya mengawasi agar barang yang masuk tidak merusak akidah atau ekonomi. Jalur udaranya bukan jalan turis liberal semata, tetapi jalur peradaban. Teknologi, keamanan, dan pelayanan ditempatkan sebagai bagian dari ibadah.
Islam tidak menolak perdagangan, tetapi menolak sistem yang menindas. Dalam Khilafah, perdagangan antarnegara dilakukan tanpa menjual aset strategis umat. Akses dagang bagi negara yang memusuhi Islam dapat ditutup, sementara kerja sama dengan negeri netral dibuka selama tidak mengancam kedaulatan.
Sebaliknya, kapitalisme menjadikan langit dan laut umat Islam sebagai jalur keluar-masuk kepentingan asing. Penjajahan gaya baru hadir melalui investasi, kerja sama, dan modernisasi.
Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
Dalam konteks modern, “api” mencakup energi dan fasilitas vital publik termasuk bandara. Menyerahkannya kepada asing berarti melanggar syariat dan melepas urat nadi umat.
Indonesia adalah negeri besar yang berhak atas langitnya sendiri. Kedaulatan udara tidak boleh menjadi komoditas. Kita butuh paradigma Islam yang menjaga kehormatan negeri, bukan sistem kapitalistik yang menukar kedaulatan dengan investasi.
Langit merdeka hanya terwujud bila negeri ini kembali pada sistem yang merdeka Islam yang menegakkan syariat dan menolak penjajahan dalam bentuk apa pun.
Wallahu’alam.
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar