Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remaja Korban Bullying, Lemah Mental atau Lemah Sistem?


Topswara.com -- Jumat malam (31/10), sebuah pondok pesantren di Aceh dikejutkan oleh kebakaran besar. Api diduga berasal dari kamar asrama putra lantai dua yang terbuat dari kayu sehingga mudah merembet dan membakar seluruh bangunan, termasuk kantin dan rumah pembina. Para santri panik memadamkan api, sementara kerugian ditaksir mencapai Rp2 miliar.

Hasil penyelidikan mengejutkan: kebakaran ternyata dilakukan oleh seorang santri sendiri. Ia nekat membakar asrama karena sakit hati akibat ejekan teman-temannya. 

Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi menegaskan perlunya pemulihan dan pendampingan psikologis bagi pelaku yang masih berstatus anak, sekaligus memastikan hak pendidikannya tetap terpenuhi meski menjalani proses hukum.

Kasus serupa juga terjadi di Jakarta. Seorang siswa tega meledakkan bom rakitan di sekolahnya sendiri karena menjadi bahan ejekan. Densus 88 mengungkap pelaku merakit bom melalui tutorial internet dan membawa tujuh bom, tiga di antaranya gagal meledak. 

Penelusuran menunjukkan ia sering menonton konten kekerasan ekstrem, gore, serta mengakses dark web.

Dua kasus ini memperlihatkan betapa bullying telah mengakar dalam kehidupan remaja. Ejekan fisik, latar belakang keluarga, hingga nilai pelajaran menjadi hal yang dianggap lumrah. 

Korban bullying kerap menanggung tekanan mental berat, sementara keluarga dan sekolah sering tidak menyadari luka psikologis yang mereka pendam. 

Akibatnya, sebagian remaja memilih jalan kekerasan sebagai bentuk pelampiasan, apalagi media sosial kini menjadi tempat subur tersebarnya konten brutal yang dianggap sebagai inspirasi atau pembenaran.

Fenomena ini menunjukkan adanya masalah sistemik dalam dunia pendidikan. Krisis adab, hilangnya fungsi sekolah sebagai pembentuk karakter, serta pengaruh media sosial turut memperparah keadaan. 

Pendidikan makin dipersempit menjadi sekadar “pabrik” pencetak tenaga kerja dengan orientasi nilai dan kompetensi teknis, bukan pembentukan kepribadian dan moral.

Sistem sekuler kapitalistik yang menekankan materi ikut melemahkan aspek pembinaan karakter hingga gagal membentuk pribadi yang kokoh secara ruhiyah.

Padahal dalam konsep pendidikan Islam, tujuan utama adalah membentuk kepribadian Muslim yang beriman, berakhlak, dan bertanggung jawab. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi proses pembinaan intensif yang membentuk pola pikir dan pola sikap islami. 

Peserta didik diarahkan untuk dekat kepada Allah, membiasakan akhlak mulia seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab, serta memahami perannya sebagai khalifah di bumi.

Kurikulum berbasis akidah Islam menjadikan adab sebagai fondasi utama. Penanaman iman, pembiasaan adab, dan penguatan spiritualitas menjadi kunci pembentukan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral dan emosional.

Pendidikan seperti ini hanya dapat terwujud ketika negara berperan sebagai penjamin utama pembinaan karakter dan pelindung generasi dari kerusakan sosial.

Maka jelas, saat remaja melampiaskan luka akibat bullying dengan tindakan ekstrem seperti pembakaran atau bom rakitan, persoalannya bukan sekadar lemahnya mental individu. 

Lebih dalam, ada sistem pendidikan dan lingkungan sosial yang gagal melindungi dan membina mereka. Solusinya adalah pendidikan yang kembali ke fitrahnya: membentuk manusia beradab, bertauhid, dan kuat secara kepribadian.


Aprilia Arista Ayu 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar