Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemuda Banua dan Ilusi Ketahanan Pangan di Bawah Bayang Kapitalisme


Topswara.com -- Sebuah acara besar digelar di Banjarbaru. Polda Kalimantan Selatan menggandeng pemuda untuk program ketahanan pangan, dalam rangka mendukung Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045. 

Lengkap, dari Kapolda, Danrem, Danlanud, hingga BNNP Kalsel. Semua sepakat bahwa ketahanan pangan adalah pilar bangsa dan sumber kekuatan strategis (detik.com, 28/10/2025).

Sekilas terdengar luar biasa. Pemuda Banua dilibatkan, pangan dijadikan simbol kemandirian, dan pembangunan dipromosikan sebagai jalan menuju kemakmuran. 

Namun, di balik semua jargon itu, apakah pemuda benar-benar sedang diajak membangun negeri, atau hanya dijadikan alat untuk menopang sistem yang sudah terbukti gagal?

Setiap kali negara bicara tentang “ketahanan pangan”, narasinya selalu sama: produksi ditingkatkan, distribusi dijaga, harga distabilkan. 

Namun jarang sekali dibahas akar persoalannya: siapa yang menguasai lahan, siapa yang mengendalikan harga, dan siapa yang mengambil untung. 

Petani hanya menjadi pelaksana, pemuda menjadi relawan, sementara korporasi besar tetap menguasai rantai pasok. Maka yang tahan bukan rakyatnya, tapi oligarki yang menguasai pangan.

Sistem kapitalisme memang selalu tampil manis di permukaan. Ia berbicara tentang pemberdayaan, tapi ujungnya adalah eksploitasi. Ia berbicara tentang kesejahteraan, tapi keuntungannya menetes ke segelintir elit. 

Kapitalisme tidak membangun kemandirian umat, ia membangun ketergantungan agar rakyat terus butuh bantuan, agar negara terus bergantung pada investasi, dan agar pemuda terus sibuk dalam program tanpa sempat menggugat arah.

Padahal pemuda seharusnya bukan pekerja proyek, tetapi pelopor perubahan. Bukan bagian dari sistem yang gagal, tapi generasi yang menolak tunduk pada kepalsuan. Karena hari ini, program ketahanan pangan lebih banyak digunakan untuk menambal krisis yang justru diciptakan oleh sistem itu sendiri. 

Tanah dijual kepada korporasi, air diprivatisasi, benih dipatenkan, lalu rakyat disuruh menanam demi “kemandirian nasional”. Ironi yang menyakitkan.

Sementara Islam menawarkan jalan yang sama sekali berbeda. Dalam pandangan Islam, pangan bukan komoditas, tetapi amanah. Negara dalam sistem Islam tidak berdiri sebagai pengatur pasar, tetapi pelindung rakyat. 

Khalifah bertanggung jawab langsung memastikan setiap perut rakyatnya kenyang, bukan sekadar menyalurkan bantuan. Islam menempatkan tanah sebagai milik umum yang harus dikelola untuk kemaslahatan umat, bukan diprivatisasi. Air tidak boleh dijualbelikan, dan sumber daya pangan tidak boleh menjadi alat monopoli.

Di masa kekhilafahan, ketahanan pangan bukan sekadar slogan politik. Ia adalah buah dari keadilan sistem. Khalifah Umar bin Khaththab menanggung langsung rakyatnya di masa paceklik, bukan dengan proyek sosial, tetapi dengan kebijakan yang menjamin distribusi. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghapus pajak yang mencekik petani dan menyalurkan kekayaan hingga zakat sulit disalurkan karena kemiskinan hampir lenyap. Inilah sistem yang dibangun di atas iman, bukan kepentingan. Di bawah hukum Allah, bukan kalkulasi pasar.

Maka pemuda Banua hari ini harus bertanya: ketika diajak bersinergi atas nama ketahanan pangan, sebenarnya sedang membangun kemandirian umat, atau sedang menjaga stabilitas kapitalisme? 

Sebab selama arah kebijakan pangan masih tunduk pada mekanisme pasar global dan korporasi tetap menjadi pengendali utama, maka semua program hanya akan jadi kosmetik politik.

Ketahanan pangan sejati tidak akan lahir dari slogan, tetapi dari perubahan sistem. Bukan dengan mengulang cara yang sama di bawah ideologi yang sama, tapi dengan mengganti arah seluruh paradigma. Islam tidak bicara tentang ketahanan pangan sebagai target ekonomi, tetapi sebagai amanah syar’i.

Negara wajib menjamin distribusi yang adil dan produksi yang diberkahi. Negara wajib memastikan bahwa tidak ada satu pun rakyat yang lapar karena kelalaian penguasa. Inilah ketahanan sejati bukan karena stok melimpah, tetapi karena keadilan ditegakkan.

Pemuda Banua harus sadar, perjuangan hari ini bukan hanya soal pangan, tetapi soal arah peradaban. Mereka bisa memilih untuk menjadi penggerak proyek, atau pembangun peradaban. Menjadi pekerja sistem, atau pelanjut risalah. Karena bangsa ini tidak akan bangkit dengan slogan, tetapi dengan sistem yang benar. Dan sistem yang benar itu hanyalah yang bersumber dari Allah SWT.

Ketahanan sejati bukan soal berapa banyak yang kita tanam, tetapi kepada siapa kita tunduk. Bukan pada pemerintah yang berideologi kapitalis, tetapi kepada hukum Allah yang menuntut keadilan. 

Dan selama hukum itu belum tegak, selama sistem Islam belum menjadi dasar kehidupan, maka semua ketahanan hanyalah ilusi dan pemuda yang sadar tak akan pernah rela menjadi bagian darinya. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar