Topswara.com -- Sungguh miris dengan kejadian pelajar usia SMP yang terjerat pinjol dan judol. Siswa salah satu sekolah SMP di Kulon Progo ini berawal dari bermain game online yang mengharuskan dirinya top up.
Hal ini membuat dia ketagihan dan berpikir untuk meminjam melalui pinjol dan diteruskan dengan judol. Kasus ini diungkap oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kulon Progo, Nur Hadiyanto.
Kasus ini terungkap berawal dari laporan sekolah karena siswa tersebut tidak masuk tanpa keterangan apapun (tribunnews.com, 25/10/2025).
Dijumpai pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2024 menyatakan sebanyak lebih dari 197 ribu anak terlibat judol. Per 12 September 2025, data Kejaksaan Agung menyampaikan hal serupa.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti menilai munculnya kasus siswa SMP terjerat pinjol dan judol disebabkan oleh kesalahan pendidikan saat ini. Banyaknya kasus ini disebut menunjukkan bila benteng pendidikan dan keluarga Indonesia rapuh dalam menghadapi tantangan digital (detik.com, 29/10/2025).
Kapitalisme Bentuk Pola Pikir Rusak
Kemajuan teknologi dan informasi pada masa sekarang ini merupakan sebuah keniscayaan. Maka paparan platfrom digital pastilah bersentuhan dengan pelajar sebagai gen Z yg mereka lebih melek teknologi daripada generasi sebelumnya.
Bahkan sering dijumpai platfrom judol dan pinjol mampir di situs-situs pendidikan. Hal ini menimbulkan rawannya pelajar terpapar akan judol dan pinjol.
Sebuah lingkaran setan antara judol dan pinjol akan terus berlangsung bila tidak segera diberantas. Orang yang sudah ketagihan judi pasti dia akan cari seribu cara untuk mendapatkan uang lagi yang akan dia pertaruhkan.
Pinjaman online menjadi pilihan bagi mereka karena sangat mudah untuk mendapatkannya. Hanya dengan bermodal HP dan kuota uang pun bisa cair masuk ke rekening. Sungguh menjadi jebakan setan yang menggiurkan bagi orang yang butuh dana segar.
Menjadi PR besar bagi dunia pendidikan saat ini untuk membentengi pelajar dari judol dan pinjol. Orang tua juga harus memberikan pengawasan yang kuat terhadap anak-anak mereka. Sekolah sebagai tempat menimba ilmu juga perlu memberikan benteng kuat dalam mendidik siswanya.
Pendidikan karakter dan literasi digital belum mampu menuntaskan masalah ini. Sebab, adanya perspektif di pikiran mereka yang terjebak judol untuk cepat kaya dengan jalan yang mudah. Kapitalisme membentuk mereka berpikiran rusak.
Modal kecil yang mereka miliki ingin dimaksimalkan di ruang perjudian agar mendapatkan hasil yang besar tanpa mempertimbangkan halal dan haram.
Islam Menutup Akses Judol dan Pinjol
Telah jelas diatur dalam Islam keharaman dalam bermain judi dan pinjaman berbunga. Pemahaman tentang keharamannya harus ditanamkan pada ummat Islam secara mendalam. Termasuk dalam hal ini adalah pelajar.
Maka, dunia pendidikan pun harus berperan dalam menanamkan karakter kuat berbasis akidah Islam dalam kurikulumnya.
Negara dalam konteks Islam tidak cukup hanya sebagai regulator saja. Dia berperan dalam menutup semua akses keharaman yang menimbulkan kerusakan. Akan sangat mudah bila hal ini dilakukan oleh negara. Sehingga tidak ada lagi celah bagi platfrom digital yang nakal untuk beraksi.
Peran strategis negara dalam membuat peraturan yang tegas sangat dibutuhkan. Maka akan tercipta aspek jera bagi pemain judol dan pinjol. Negara juga wajib untuk membentuk sistem yang mampu membentuk generasi yang shalih, berkepribadian Islam yaitu dengan mewujudkan sistem pendidikan Islam. []
Oleh: Imro’atun Dwi P., S.Pd.
(Aktivis Dakwah di Bantul, DIY)

0 Komentar