Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membongkar Narasi Antisemitisme, Siapa yang Sebenarnya Semit?


Topswara.com -- Di tengah konflik Palestina Israel, sering muncul tudingan dari pihak pro-Israel yang menuduh siapa pun yang mengkritik tindakan Israel sebagai antisemit. 

Narasi ini begitu kuat, seolah semua penolakan terhadap penjajahan di Palestina adalah bentuk kebencian terhadap ras Yahudi. 

Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, istilah Semit sendiri memiliki sejarah yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekadar label etnis atau agama.

Asal-usul Istilah “Semit”

Istilah Semit pertama kali muncul pada abad ke-18, diciptakan oleh orientalis Jerman August Ludwig Schlözer. Ia menggunakannya bukan untuk menunjuk ras, tapi untuk mengelompokkan bahasa-bahasa yang dianggap berasal dari keturunan Shem (putra Nabi Nuh).

Bahasa-bahasa itu mencakup Arab, Ibrani, Aram, Akkadia, Fenisia, dan Ge’ez artinya, bangsa Arab, Yahudi, Asyur, Etiopia, dan Fenisia semuanya termasuk bangsa Semit. Jadi, ketika seseorang menyerang atau membenci orang Arab, secara linguistik itu juga termasuk antisemitisme.

Namun, abad ke-19 membawa perubahan makna. Seorang jurnalis Jerman bernama Wilhelm Marr menciptakan istilah Antisemitismus (1879) untuk memberi kesan “ilmiah” terhadap kebencian terhadap Yahudi di Eropa. 

Sejak saat itu, istilah antisemit disempitkan maknanya dari kebencian terhadap bangsa Semit secara umum menjadi kebencian terhadap Yahudi secara khusus. Kesempitan makna inilah yang kemudian dimanfaatkan dalam politik modern.

Ketika Kritik Disebut Kebencian

Setelah berdirinya Israel pada 1948, retorika antisemitisme dipakai secara politik. Siapa pun yang menolak pendudukan Israel atas tanah Palestina, sering dilabeli antisemit. 

Padahal yang ditolak bukan identitas etnis Yahudi, tetapi politik kolonial dan pendudukan militer disitu. Inilah yang membuat istilah antisemitisme kehilangan makna akademisnya dan berubah menjadi alat pembungkam kritik.

Ironisnya, bangsa Palestina sendiri secara historis adalah bagian dari rumpun Semit. Bahasa Arab mereka masih satu keluarga dengan bahasa Ibrani. Jadi, ketika orang Arab atau Palestina dikatakan “antisemit”, tuduhan itu sebenarnya tidak masuk akal karena mereka juga bagian dari bangsa Semit.

Menelusuri Identitas Yahudi

Pertanyaan berikutnya: apakah orang Yahudi benar-benar “bangsa asli” Palestina kuno? Di sinilah muncul pandangan sejarawan Israel Shlomo Sand, lewat bukunya The Invention of the Jewish People (2008).

Sand menolak ide bahwa Yahudi modern adalah satu “ras” yang terus-menerus mempertahankan darah keturunan dari zaman kuno. Menurutnya, “bangsa Yahudi” adalah konstruksi modern, diciptakan lewat nasionalisme abad ke-19 untuk membangun legitimasi negara Israel.

Di bagian awal bukunya, Sand membuka dengan kisah Bernardo dan Shulek dua figur alegoris yang mewakili dua tipe asal identitas Yahudi Israel modern:

Bernardo: orang Catalonia (Spanyol) non-Yahudi yang bermigrasi ke Israel 1948 dan kemudian “menjadi Yahudi” secara administratif.

Shulek: Yahudi miskin dari Polandia yang kehilangan istrinya di Holocaust dan kemudian hijrah ke Israel.

Dua tokoh ini (entah benar-benar nyata atau semi-fiktif) berfungsi sebagai simbol:
Bahwa “ke-Yahudi-an” di Israel bukan sesuatu yang diwariskan secara murni, melainkan dibentuk oleh sejarah, migrasi, birokrasi, dan politik identitas.

Membalik Narasi Kolonial

Bila kita gabungkan semua ini, maka narasi yang sering dipakai oleh para pembela penjajahan Israel bahwa mereka “hanya kembali ke tanah leluhur”tidak bisa diterima mentah-mentah. 

Akar sejarah bangsa Yahudi memang pernah berada di kawasan Palestina kuno, tapi begitu juga bangsa-bangsa Semit lainnya. Selama ribuan tahun, wilayah itu menjadi ruang hidup bersama bagi Arab, Yahudi, Aram, dan Fenisia.

Jadi, perjuangan rakyat Palestina bukanlah gerakan anti-Semit, tapi perlawanan terhadap kolonialisme modern yang menggunakan mitos etnis dan agama sebagai legitimasi politik.

Penutup

Menyebut kritik terhadap Israel sebagai antisemitisme adalah kesalahan logika sekaligus penyempitan makna sejarah.
Maka, jika seseorang yang mengatakan bahwa seorang pembela palestina dikatakan sebagai "antisemitisme". Maka justru penjajahan satu kelompok Semit terhadap kelompok Semit lainnya adalah bentuk antisemitisme yang paling nyata.


M. Izzudin Al-Qosam 
(Mahasiswa Mesir)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar