Topswara.com -- Analisis tentang apakah budaya jongkok di Pesantren bisa dianalogikan dengan feodalisme Jawa perlu dibaca melalui dua lensa sekaligus: logika klasik sebagaimana dirumuskan dalam Tahdzib Al-Mantiq, dan logika modern sebagaimana dipakai oleh pemikir seperti John Stuart Mill dan Stephen Toulmin.
Tujuannya bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk menilai apakah analognya kuat atau hanya berada di permukaan.
Dalam kajian logika, dua fenomena bisa memiliki beberapa jenis relasi. Ada relasi identik yaitu dua hal benar-benar sama secara hakikat dan fungsi. Ada relasi mirip sebagian atau konvergen yaitu dua hal memiliki beberapa kesamaan tetapi tidak sepenuhnya.
Ada relasi analogi yaitu dua hal sebenarnya berbeda, tetapi memiliki pola tertentu yang bisa dipakai sebagai perbandingan. Dan ada relasi kontras, yaitu kelihatan mirip secara lahir tetapi sebenarnya berbeda secara substansi.
Di dalam Tahdzib Al-Mantiq, ini dibahas dalam bagian Al-Nisbah: apakah suatu konsep itu benar-benar setara, atau hanya memiliki keserupaan sebagian sifat tanpa berbagi inti makna.
Dalam logika Barat, Mill menjelaskan bahwa analogi hanya bisa dipakai ketika kesamaan atribut itu relevan dengan sifat yang ingin disimpulkan.
Jika kita bandingkan feodalisme Jawa dengan adab Pesantren, kita memang bisa melihat satu sisi kesamaan pada level tampaknya.
Feodalisme di istana Jawa memakai aturan-aturan hormat seperti jongkok, tidak boleh berdiri lebih tinggi dari raja, dan berbagai gestur yang mempertegas kelas sosial. Sebagian pesantren memiliki praktik seperti menunduk, berjalan pelan, atau bahkan jongkok di depan kiai.
Namun ketika motif dan struktur yang mendasari dua fenomena ini dibedah, perbedaannya terlihat jelas. Feodalisme berdiri di atas supremasi kelas dan kedudukan; adab pesantren berdiri di atas penghormatan kepada ilmu dan relasi transfer ilmu. Dengan bahasa logika, illat atau sebabnya berbeda, sehingga analoginya menjadi lemah.
Logika modern merumuskan sebuah pola sederhana: jika dua hal memiliki kemiripan penampakan tetapi penyebab, tujuan, dan motifnya berbeda, maka hubungan keduanya hanyalah analogi permukaan, bukan kesamaan hakikat.
Feodalisme dan adab pesantren memang sama-sama punya gestur hormat, tetapi gestur itu lahir dari dunia batin yang berbeda. Karena itu, menyamakan keduanya tidak tepat; yang bisa dilakukan hanyalah membuat analogi dangkal yang hanya menjelaskan kemiripan tampak, bukan kesamaan struktur sosial.
Jika kita mengatakan bahwa keduanya dianalogikan, maka secara logika kita harus menerima konsekuensinya: analognya tidak kuat. Dalam tradisi klasik, ini disebut qiyas ma’al-fariq, yaitu analogi yang patah karena illatnya tidak sama.
Dalam istilah logika modern, ini disebut weak analogy. Mill menjelaskan bahwa analogi hanya valid jika atribut yang disejajarkan benar-benar berkaitan dengan sifat yang ingin disimpulkan.
Karena gestur hormat tidak serta-merta berarti feodalisme, maka kemiripan itu tidak bisa dipakai untuk menilai struktur sosial pesantren.
Kritikmu tentang adab berlebihan seperti jalan jongkok juga masuk akal secara logika. Kamu tidak sedang menolak konsep hormat kepada guru. Kamu sedang mengkritik bentuk tertentu yang dianggap berlebihan. Dalam logika, ini disebut pembedaan antara bentuk dan substansi.
Artinya, nilai menghormati ilmu tetap dijaga, tetapi bentuk ekspresinya bisa dievaluasi. Toulmin menjelaskan bahwa argumen seperti ini sah ketika klaimmu didukung oleh data dan prinsip penalaran yang jelas: tidak ada dalil atau illat yang mewajibkan bentuk tertentu, sehingga bentuk itu dapat dikritisi tanpa menghapus nilai hormat itu sendiri.
Pertanyaan apakah budaya jongkok di pesantren merupakan warisan feodalisme Jawa tidak bisa dijawab secara hitam putih. Bisa saja ada pengaruh budaya karena keduanya lahir dari masyarakat yang sama secara geografis.
Namun secara logika, kemiripan bentuk tidak otomatis menjadikan keduanya sama secara struktur atau tujuan. Dunia batin, nilai dasar, dan legitimasi otoritasnya berbeda. Karena itu, hubungan antara keduanya adalah analogi permukaan, bukan kesamaan hakikat.
Kesimpulannya, menyamakan adab pesantren dengan feodalisme tidak valid secara metodologis. Menganalogikan boleh dilakukan selama disadari bahwa yang dibandingkan hanyalah kemiripan gestur, bukan motivasi, struktur sosial, atau landasan nilai.
Kritik terhadap adab ekstrem seperti berjalan jongkok sah secara logika karena itu kritik terhadap bentuk, bukan terhadap penghormatan pada ilmu.
M. Izzudin Al-Qosam
(Mahasiswa Mesir)

0 Komentar