Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Air untuk Rakyat: Hanya di Iklan, Bukan Kenyataan


Topswara.com -- “Air untuk rakyat.” Slogan yang terdengar merdu di iklan dan pidato pejabat. Namun ketika kita menengok fakta di lapangan, kenyataannya jauh berbeda. 

Banyak mata air kini tidak lagi dikelola masyarakat, melainkan dikuasai korporasi besar lewat sumur bor yang menembus akuifer dalam. Warga sekitar yang dahulu menikmati aliran mata air, kini justru kesulitan mendapatkan air bersih.

Polemik pengelolaan sumber air untuk produk Aqua di Cianjur dan Sukabumi yang disidak Dedi Mulyadi pada Oktober 2025 menjadi salah satu gambaran nyata (tempo.com, 22/10/2025). 

Indonesia Halal Watch bahkan mengingatkan potensi sanksi berat jika praktik pemanfaatan air itu merugikan masyarakat. Air yang turun dari langit sebagai rahmat, naik ke pasar sebagai komoditas. Labelnya “air mineral untuk rakyat”, tetapi rakyat hanya menjadi pembeli bukan pemilik.

Masalah air hari ini bukan sekadar isu lingkungan atau teknis produksi. Ia adalah cermin dari sistem ekonomi yang menuhankan laba. 

Kapitalisasi air menunjukkan bagaimana sumber kehidupan diubah menjadi barang dagangan. Ketika air tidak lagi dilihat sebagai hak dasar manusia, tetapi peluang keuntungan, kezaliman menjadi konsekuensi.

Dampak sistem ini terlihat jelas:

Pertama, kerusakan ekologis. Eksploitasi air tanah besar-besaran menyebabkan turunnya muka air tanah, sumur warga mengering, dan muncul potensi amblesan. Ini bukan “dampak sampingan”, tetapi kerusakan nyata akibat kerakusan kapital.

Kedua, ketimpangan akses. Ironisnya, warga sekitar pabrik air minum sering kekurangan air bersih. Di Cianjur, banyak warga mengeluh sumur mengering sementara truk air keluar-masuk pabrik tanpa henti.

Ketiga, air diperlakukan sebagai barang elit. Narasi “sustainable water” digaungkan, tetapi yang benar-benar berkelanjutan adalah laba perusahaan.

Keempat, regulasi lemah. Lembaga yang seharusnya menjaga sumber daya air tampak tak berdaya menghadapi kekuatan modal.

Kelima, negara berubah menjadi pengatur pasar, bukan pengurus rakyat. Ketika hidup diatur pasar, yang menang adalah modal bukan manusia.

Islam tidak membenarkan air diperlakukan sebagai aset dagang yang bebas dimiliki. Rasulullah ï·º bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah). Air adalah hak publik, harus dikelola negara untuk seluruh rakyat — kaya maupun miskin, di kota atau desa.

Allah berfirman: “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS Al-Anbiya: 30). Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa air adalah sumber kehidupan seluruh makhluk. 

Maka ketika air dikuasai segelintir korporasi, mereka dapat menentukan siapa mendapatkan akses dan siapa tidak. Ini bukan sekadar isu ekonomi ini persoalan penguasaan atas hidup manusia.

Dalam Islam, negara bukan calo kepentingan pemodal. Negara adalah penjaga amanah, pelindung hajat hidup rakyat. Privatisasi sumber air bukan sekadar tidak dianjurkan tetapi dilarang secara prinsip. Air wajib dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk menambah grafik keuntungan.

Negara tidak cukup hanya membuat regulasi; negara harus memastikan keadilan mengalir. Ketika alam dieksploitasi tanpa batas, yang rusak bukan hanya lingkungan, tetapi kehidupan sosial, ekonomi, bahkan kelancaran ibadah masyarakat. Syariat tidak mengenal kompromi terhadap kebijakan yang mengorbankan rakyat demi profit.

Bisnis dalam Islam berdiri di atas kejujuran dan amanah, bukan citra palsu atau kampanye “hijau” yang menutupi eksploitasi. Regulasi bukan sekadar dokumen, tetapi pagar syar’i untuk mencegah penindasan dan memastikan kekayaan umum tidak jatuh ke tangan segelintir elite.

Sistem Islam juga menutup celah bagi investor asing menguasai sumber vital. Sebab ketika sumber kehidupan umat diserahkan pada modal asing, yang tergadai bukan hanya air, tetapi kedaulatan. Allah berfirman, “Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS An-Nisa: 141).

Sejarah mencatat, di masa kemunduran khilafah, konsesi kepada negara Barat menyebabkan mereka ikut mengatur negeri Muslim. Islam tidak membolehkan izin eksklusif atas sesuatu yang halal dinikmati semua orang, baik untuk asing maupun lokal, bila itu menutup akses publik.

Slogan “air untuk rakyat” boleh saja menghiasi layar televisi. Tetapi selama sistem kapitalisme memegang kendali, slogan itu hanya menjadi narasi pemasaran. Rakyat bukan menikmati rahmat Allah mereka membelinya.

Selama air tunduk pada logika pasar, rakyat akan terus haus bukan karena kemarau, tetapi karena keadilan yang tidak mengalir.[]


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar