Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membedah Narasi Golden Age dari Pesantren


Topswara.com -- Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, dalam pembukaan Musabaqah Qira'atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional 2025, melontarkan sebuah narasi besar yang patut dicermati. 

Beliau menyatakan bahwa MQK adalah “anak tangga pertama” menuju kembalinya "The Golden Age of Islamic Civilization" (Zaman Keemasan Peradaban Islam), dan pesantren diyakini sebagai “benteng paling kuatnya Indonesia” untuk memulai kebangkitan tersebut. (Kemeneg.go.id 2 Oktober 2025).

Pernyataan ini diperkuat dengan seruan untuk melakukan integrasi dan "perkawinan" antara 'iqra' (ilmu umum/kitab putih) dan 'Bismirabbik' (kitab turats/kitab kuning) sebagai kunci lahirnya insan kamil. 

Narasi ini, meskipun terdengar optimis, memerlukan analisa mendalam agar tidak menjadi upaya pengalihan isu yang justru menjauhkan umat dari cita-cita peradaban Islam yang hakiki.

Terdapat kecenderungan untuk mendistraksi fokus santri dari posisi strategis mereka sebagai pusat pencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam (warosatul anbiya’). 

Santri kini diarahkan untuk menjadi duta budaya dan motor kemandirian ekonomi. Peran-peran ini, meskipun tampak positif secara sosial dan ekonomi, berpotensi kontraproduktif jika menggeser prioritas utama santri, yaitu pendalaman ilmu syariat dan perjuangan menegakkan Islam secara kaffah.

Seruan untuk mengintegrasikan 'kitab kuning' dan 'kitab putih' (ilmu agama dan ilmu umum) perlu dicermati agar tidak menjadi upaya pengokohan sekulerisme di dunia pesantren. 

Ilmu umum (ilmu alam, teknologi, ekonomi) harus dipandang sebagai cabang ilmu yang dikendalikan oleh panduan syariat, bukan sebagai entitas independen yang setara dan "dikawinkan" dalam kerangka pandangan hidup sekuler. 

Jika ilmu umum didasarkan pada metodologi dan nilai-nilai sekuler liberal, maka integrasi ini hanyalah pengokohan sekulerisme di jantung pendidikan Islam.

Selain itu, pengarahan santri sebagai agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekulerisme serta duta Islam moderat (wasathiyah) yang dipahami dalam konteks politik global saat ini, berisiko membelokkan arah perjuangan yang sejati. 

Konsep wasathiyah seringkali disempitkan menjadi moderasi politik yang menoleransi sistem sekuler dan menjauhi perjuangan politik Islam yang fundamental. 

Pesantren, dengan lima unsur sejatinya (masjid, kiai, santri, kitab turats, habit), memang merupakan komponen vital dalam melahirkan ulama, ilmuwan, dan pejuang. Namun, ia hanyalah institusi pendidikan dan moral. 

Sejarah membuktikan bahwa Zaman Keemasan Peradaban Islam (yang dicontohkan dengan munculnya ilmuwan seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali) terwujud sepenuhnya hanya di bawah naungan sistem politik Islam yang menyeluruh. Maka peradaban Islam sejati hanya akan terwujud dalam sistem khilafah.

Mengapa? Karena khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang secara syar’i dan historis mampu menghilangkan sekat nasionalisme sekuler yang memecah belah umat Islam. Khilafah juga menjamin penerapan seluruh hukum Islam, yang merupakan ruh dan energi peradaban.

Disamping itu juga memberikan dukungan penuh untuk ilmuwan (ulama, fuqaha, dan mutakhasis) dan menjadikan syariat sebagai master science yang mengarahkan semua ilmu lainnya.

Oleh karena itu, perjuangan untuk mengembalikan The Golden Age tidak boleh berhenti pada seruan moral, kemandirian ekonomi pesantren, atau ajang MQK, tetapi harus terarah pada perjuangan dakwah politik Islam yang bertujuan untuk menegakkan kembali Peradaban Islam yang hakiki di bawah naungan Khilafah Islamiah. 

Inilah visi yang harus dipegang teguh oleh warosatul anbiya agar cita-cita kebangkitan umat tidak terdistorsi menjadi agenda sekuler-liberal yang justru mengokohkan keterbelakangan umat dari syariat-Nya. 

Walalhu'alam.


Oleh: Lia Julianti 
Aktivis Dakwah Tamansari
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar