Topswara.com -- Hari ini aku menemani Mbak Safa ikut Al-Falah Olimpiade Bahasa Inggris tingkat Jawa Timur. Suasananya meriah, khusus Bahasa Inggris pesertanya ada 54 anak dari kelas 7, 8, dan 9. Semuanya datang dengan wajah optimis, membawa harapan besar.
Dan hasilnya? MasyaAllah, luar biasa. 90 persen mendapat nilai 120 alias benar semua termasuk Mbak Safa. 9 persen mendapat nilai 116 alias salah 1 dan hanya 1 persen yang mendapat nilai 104. Akhirnya panitia harus menentukan pemenang bukan dari isi jawaban, tetapi dari durasi pengerjaan.
Bayangin, yang seharusnya diselesaikan dalam 90 menit, juara satunya bisa selesai dalam waktu 22 menit saja, juara dua 25 menit dan juara tiga 28 menit. Sedangkan Mbak Safa 29 menit, beda tipis banget.
MasyaAllah, anak-anak Indonesia itu cerdas, enggak perlu diragukan. Mereka punya potensi luar biasa, daya pikir cepat, daya hafal tajam, dan semangat bersaing tinggi. Tetapi, di tengah kagum itu, ada satu pertanyaan yang bikin hati enggak tenang, yaitu kecerdasan ini akan dibawa ke mana?
Kalau cerdas tetapi hidupnya diarahkan pada standar sekuler liberal, hasilnya bisa jadi petaka. Anak-anak pintar justru dipakai untuk jadi “mesin” kapitalis, bikin aplikasi yang merusak moral, jadi tenaga kerja murah di luar negeri, atau ikut-ikutan jadi pion bagi kepentingan asing. Singkatnya, cerdas tetapi salah arah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nizham al-Islam (Sistem Islam)
bahwa Islam adalah ideologi yang menyeluruh (mabda) dan tidak bisa dipisahkan dari urusan kehidupan. Sekularisme yang menjauhkan agama dari politik, hukum, dan ekonomi disebut sebagai pangkal keterpurukan umat.
Beliau menegaskan bahwa masalah utama umat hari ini adalah karena mereka tidak hidup dengan aturan Islam. Umat ini tercabut dari akarnya, dipaksa hidup dengan standar sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar jika kecerdasan anak-anak hanya jadi komoditas, bukan modal untuk membangun peradaban.
Padahal, sejarah membuktikan, generasi emas Islam lahir ketika syariat Allah benar-benar diterapkan. Lihatlah masa kekhilafahan era Abbasiyah, anak-anak Muslim belajar sains, filsafat, kedokteran, astronomi, tapi semua terikat iman. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga ulama.
Imam Syafi’i hafal Al-Qur’an di usia 7 tahun, menulis kitab besar di usia muda. Al-Khawarizmi menemukan aljabar, tetapi tetap tunduk pada Allah. Ibnu Sina menulis kitab kedokteran yang dipakai dunia selama ratusan tahun, tetapi shalatnya tetap tegak. Itu semua lahir karena sistem Islam mendidik generasi dengan dua kekuatan, yaitu akal yang terasah dan iman yang kokoh.
Jadi, yang dilakukan Daulah Islam untuk melahirkan generasi emas adalah, pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam.
Setiap ilmu harus dikaitkan dengan tauhid. Anak belajar sains, tetapi tahu semua hukum alam adalah ciptaan Allah. Anak belajar bahasa, tetapi sadar lisannya harus digunakan untuk dakwah dan kebenaran.
Kedua, keteladanan keluarga. Orang tua bukan hanya menyuruh anak rajin belajar, tetapi juga mendidik mereka shalat, jujur, amanah. Anak belajar bukan dari teori, tapi dari contoh nyata.
Ketiga, menciptakan lingkungan yang Islami. Generasi enggak bisa tumbuh sehat kalau lingkungan penuh pornografi, narkoba, hedonisme. Harus ada aturan sosial yang melindungi anak dari racun sekuler.
Keempat, perlu peran negara untuk menjadi payung pendidikan Islam. Inilah poin terpenting. Sistem Islam alias khilafah memastikan pendidikan gratis, berkualitas, dan terarah. Semua anak dididik jadi insan bertakwa, bukan sekadar mesin ekonomi.
Inilah yang ditekankan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa tanpa sistem Islam, umat hanya jadi “tumbal” peradaban Barat. Anak-anak Indonesia jelas punya potensi. Safa dan teman-temannya sudah membuktikan, mereka bisa bersaing dengan cepat, tangkas, dan pintar. Tetapi kita nggak boleh berhenti di “kagum”. Kalau mau mereka jadi generasi emas, kita harus kembalikan standar pendidikan kepada Islam.
Jadi Sob, cerdas itu keren, tetapi lebih keren kalau cerdas plus bertakwa. Pintar itu hebat, tetapi lebih hebat kalau pintarnya dipakai untuk meninggikan kalimat Allah.
Generasi emas bukan sekadar generasi nilai 100, tetapi generasi yang hidup dengan syariat. Karena tanpa Islam, anak-anak ini cuma akan jadi “angka” di papan skor, bukan cahaya yang menerangi peradaban. Tetapi dengan Islam, insya Allah, mereka akan jadi pewaris kejayaan umat, generasi emas yang dirindukan dunia dan surga.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar